Dalam ranah gagasan seperti itu, bisa saja apa yang dilakukan Anies itu terlalu dini dan terlalu menggebu-gebu. Bahkan bisa saja dikatakan keluar dari ranah etika.
Suksesi kepemimpinan kapan saja dan di mana saja selalu punya etika dan konsekuensinya.
Tapi, setiap orang di negara Demokrasi selalu punya alasan yang membenarkan sikap dan tindakannya. Demokrasi selalu menjadi tameng untuk berdalil. Ya, bisa-bisa saja.Â
Cuma perhatian masyarakat umumnya tidak hanya sekedar tentang cara berdemokrasi, popularitas yang diraih dari kerja nyata, tetapi juga ada soal janji-janji masa lalu yang perlu dipertanggungjawabkan.
Konten kreator yang mengumbar pertanyaan "siapa presidennya" itu tidak pernah tertutup untuk anak-anak. Saya membayangkan pada saat ujian ketika ditanya, siapa presiden Indonesia, anak-anak bisa saja menjawab "Anies Baswedan." Apakah guru atau tim pemeriksa membenarkan jawaban anak-anak itu?
Ya, anak-anak mendengar pertanyaan dan jawaban itu sampai saat ini tentang teriakan siapa presidennya dan riuh jawaban, "Anies." Apakah itu bukan merupakan suatu kekonyolan? Suksesi kepemimpinan mestinya merujuk kepada proses edukasi bagi anak bangsa ini sehingga menjadi cerdas berdemokrasi.Â
Semua ada waktunya, ada waktunya disebut sebagai presiden di sebuah negara, ada waktunya disebut sebagai calon presiden pada konstelasi pemilu yang akan datang. Oleh karena itu, sebenarnya ada pula waktunya untuk diam dan tidak mengatakan hal yang bukan sebenarnya.Â
Anies sebenarnya berada di posisi sebagai calon presiden dari partai Nasdem dan BUKAN PRESIDEN. Presiden kita adalah Bapak Ir. Joko Widodo dan calon presiden untuk konteks pemilu tahun 2024, ya tentu saja banyak.
Saya jadi ingat dalam dunia tinju. Ada banyak sekali video yang memperlihatkan aksi-aksi selebrasi awal sebelum berlaga di atas ring. Ada yang begitu tenang, tetapi ada juga yang punya selebrasi ekstrim menganggap lawannya lemah, menari-nari dan mengejek. Perhatikan, umumnya yang punya selebrasi ekstrim, berlebihan itu kalah secara sangat memalukan.
Nah, barangkali ilustrasi ini akan menjadi suatu kebenaran pada saatnya nanti, ya terkait suksesi kepemimpinan di kancah Pilpres 2024 nanti. Kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti.Â
Ketenangan, kejujuran, dan opsi keberpihakan seorang calon pemimpin harus menjadi lebih jelas dari sekedar mencari pengakuan sosial dan politik (Social and Political Recognition).Â
Pengakuan sosial dan politik bisa saja datang ketika mata dunia melihat kenyataan-kenyataan dan rekam jejak yang bisa dibuktikan secara objektif.
Jejak digital calon pemimpin saat ini, mungkin tidak bisa lagi dibohongi karena sudah tidak bisa terhapus dari ingatan media yang sekali tertulis akan tetap tertulis.