Satu bentuk pembelaan yang militan telah dilakukan Infantino saat ini. Ia membela posisi Jazirah sebagai tuan rumah turnamen di negara yang dikritik secara pedas karena aktivitas dan komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) dan tindakan tidak bermartabat kepada pekerja asing di sana.
Selama kurang lebih satu jam konferensi pers bertemakan pledoi Presiden FIFA berlangsung. Satu ucapan yang mungkin paling berkesan bagi dunia, yakni ketika ia mengatakan, "Hari ini saya memiliki perasaan yang sangat kuat. Hari ini saya merasa Qatar, saya merasa Arab, saya merasa Afrika, saya merasa gay, saya merasa cacat, saya merasa pekerja migran." Ya, itulah pledoi dengan nada empati sang Presiden FIFA.
Dari barisan kata-katanya itu, terlihat bahwa Infantino tidak sedang mengatakan bahwa dirinya telah menjadi sama dengan semua tuduhan tentang Qatar, tetapi hatinya merasakan seperti hati penduduk Qatar; dan ia mengerti apa artinya diskriminasi sebagai orang asing di negara asing.
Polemik berwajah diskriminasi itu berawal dari pernyataan terkait film dokumenter ZDF terkait pemain sepak bola nasional Qatar Khalid Salman bahwa gay itu membahayakan mental. Dalam sudut pandang Presiden FIFA itu jelas-jelas bahwa cara menilai orang seperti itu tidak lain merupakan satu bentuk kemunafikan.
Side effect dan double effect polemik bola dunia Qatar 2022
Alur polemik ini, bagi saya punya dua efek, yakni side effect, efek samping dan double effect, efek ganda. Pertama, soal efek samping: Pernyataan bernada diskriminasi itu menjadikan ukuran bahwa penilai tidak bisa melihat diri dan sejarah bangsanya sendiri. Konsekuensinya adalah ajang sepak bola akan dipolitisasi sedemikian, sehingga atmosfer persaudaraan tidak tampak akrab.
Kedua, efek ganda: Eropa akan menjadi sorotan terkait masa lalu dan tentu saja terkait LGBT yang tidak sedikit tumbuh subur di sana. Sangat mungkin bahwa media Qatar akan memberikan tanggapan terkait itu, supaya penilai tidak hanya asal omong, tapi harus dengan rasa tanggung jawab.Â
Efek ganda yang satunya adalah bahwa posisi sudut pandang Presiden FIFA bisa menjadi satu target bully karena dia adalah warga Eropa yang coba menjadi pahlawan di tanah Jazirah.
Meskipun demikian, saya percaya bahwa apa yang dilakukan Presiden FIFA itu lebih karena rasa kemanusiaan yang dimilikinya. Bisa saja dari pernyataan dan pertanyaan refleksi Presiden FIFA menjadikan Eropa sendiri perlu bertanya diri, seberapa besar ruang pengakuan (Anerkennung) dan penerimaan (Akzeptanz) terkait kemajuan dan perkembangan Qatar.
Catatan kritis, antara bola dunia Qatar dan dosa Eropa
Eropa dalam hal ini diajak oleh Presiden FIFA supaya belajar dari negara-negara lain yang begitu maju dan berkembang secara khusus dalam dunia sepak bola. Dalam hal ini, sikap politis dan opsi keberpihakan Presiden FIFA memang pantas diapresiasi dunia.