Going to periphery
Pilihan pergi ke pinggir itu nyata pilihan 5 pria yang pernah saya lihat. Tidak ada pilihan lain yang paling aman bagi mereka, selain di stasiun kereta, garasi mobil, dan depan bangunan Müller.
Berteduh semalam di pinggir pertokoan, di pinggir bangunan tua, di pinggir parkiran rupanya merupakan pilihan ideal mereka. Tidak masuk akal bukan? Tapi, semua telah mereka lalui, mulai dari suhu ekstrim minus 10 derajat.
Filosofi kehidupan 5 pria yang memilih pergi ke pinggiran (going to periphery) mungkin kali ini mesti dipikirkan lagi oleh pemerintah. Musim dingin ekstrim mungkin akan lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Mereka mungkin saja tidak punya solusi dan tidak punya suara pengeras yang berteriak minta selimut dan penghangat.
Siapa yang harus menolong mereka? Tentu saja pemerintah.Â
Pemerintah Jerman selalu punya dana dan perhatian untuk orang-orang seperti itu, persoalannya adalah bahwa mereka tidak mau diatur dan tidak mau tinggal pada fasilitas yang disediakan pemerintah.Â
Lalu, harus nuduh siapa yang salah? Inilah kenyataan dunia kita. Kebebasan pribadi dihargai hingga terasa tidak manusiawi. Bagi saya kenyataan itu lebih merupakan realitas inspiratif yang punya sisi terbuka pada refleksi tentang kehidupan dan kebebasan manusia di tengah krisis ini.
Tentu pilihan untuk pergi ke pinggiran adalah pilihan literasi seorang penulis. Realitas dilematis antara kebebasan pribadi dan kebijakan pemerintah adalah kenyataan menarik untuk dilukis dalam tulisan.
Akhirnya saya hanya bisa menyimpan fakta di kota ini dalam tulisan kecil kali ini. Sebuah narasi dan refleksi kecil tentang 5 pria yang tidak punya rumah tetapi mereka tampak punya kehangatan, yang bisa saja berbanding terbalik dengan sekian juta orang yang punya rumah, tetapi tidak merasakan kehangatan di sana.
Salam berbagi, ino, 11.11.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H