Mari singkirkan benci dan anti sana sini, karena kita semua adalah masyarakat Indonesia. Suksesi calon Presiden 2024 boleh berjalan dengan konsekuensi-konsekuensinya, tapi cinta dan respek kita pada sesama manusia tetap saja menjadi hitungan dalam membangun brand kita sebagai orang-orang populer | Ino Sigaze.
Belakangan ini wajah media sosial Indonesia dibanjiri dengan gebrakan tim sukses calon Presiden 2024. Â Gebrakan tim sukses calon Presiden saat ini bisa dilihat melalui beredarnya postingan baik itu postingan viral, maupun yang biasa-biasa tentang tokoh tertentu.
Skenario dan rancangan pemenangan tokoh sudah menentukan cara yang tepat dan aktual melalui sarana penggunaan media sosial. Penggunaan sarana media sosial itu terkadang berlebihan mempresentasikan ketokohan tertentu yang jelas-jelas oleh publik semuanya bisa diakses terkait rekam jejak digital mereka.
Ya, tidak peduli sesuai kenyataan apa gak, yang penting bagi tim sukses adalah menulis dan berbicara sebanyak mungkin nama jagoan mereka. Barangkali di sana ada logika, semakin banyak nama tokoh tertentu ditulis pada dinding media sosial, maka sama dengan naiknya brand tokoh tertentu secara signifikan.
Rupanya, masyarakat kita perlu diperkenalkan dengan apa yang dinamakan titik nausea, atau titik jenuh. Titik ini selalu dalam rentang waktu dan sejarah hidup manusia. Baik itu secara pribadi, maupun secara kolektif, orang akan mengalami titik jenuh itu.
Terasa sekali saat ini, muncul titik jenuh untuk membaca dan mendengar berita-berita yang disebarkan oleh tim sukses masing-masing. Mengapa terasa ada titik jenuh?
Ada beberapa alasan, mengapa ada kejenuhan di sana dan bagaimana cara untuk menyingkirkannya:
1. Informasi yang disebarkan secara masif tanpa kepadatan isi
Selama dua minggu ini, saya mencermati berita-berita melalui Facebook, terasa bahwa ada banyak sekali berita-berita yang sebenarnya tidak punya landasan gagasan yang kuat dengan dasar kebenaran yang bisa dipercaya.
Rupanya prinsip mereka membesar-besarkan ketokohan seseorang. Sayang sekali bahwa konsep tentang ketokohan saat ini bukan lagi soal siapa yang paling populer di media sosial, tetapi siapa yang bekerja dengan tulus untuk kepentingan rakyat kebanyakan.
Isi dari berita dan informasi saat ini dilupakan oleh sebagian orang karena target mereka adalah memancing reaksi yang bisa mendatangkan komentar-komentar sebanyak mungkin.
Bukankah hal seperti itu adalah bagian dari kedangkalan? Ya, tentu saja. Kalau isi berita itu menjadi begitu dangkal, maka akibatnya bahwa kejenuhan dan penolakan. Orang akan jenuh dengan berita tentang tokoh yang sama-sama saja.Â
Dampak lebih lanjut dari kejenuhan itu adalah orang menolak presentasi tentang tokoh itu. Mengapa? Ya, bisa saja mereka tahu tentang siapa orang yang menjadi populer itu.
Jadi, cara mengatasi kejenuhan adalah dengan mempertimbangkan isi dari informasi dan berita-berita promosi itu sendiri.
2. Konsep tentang popularitas tanpa kesaksian yang cukup
Orang populer dalam konteks media sosial saat ini sebenarnya bukan asal tenar, tetapi lebih terkait dengan kualitas kerja seseorang. Lebih berkaitan dengan konsep dan hasil nyata.
Dalam konteks suksesi kepemimpinan saat ini, sebetulnya popularitas seseorang akan diukur melalui janji-janji dan pemenuhan janji-janjinya.Â
Nah, jika saja calon pemimpin yang punya janji bagus dan menarik, tapi tanpa realisasi, maka masif bagaimanapun dukungan dan promosi tim sukses sekalipun, terasa begitu gampang akan jadi pudar. Ya, sama seperti panas setahun, bisa dihapus dengan hujan sehari.
Nah, mengapa orang tidak peduli dengan kualitas pribadi tokoh tertentu? Tentu saja banyak alasannya, bagi tim sukses bisa saja menjagokan tokoh tertentu karena dia sendiri ada dalam satu pengalaman tidak puas karena kepentingannya tidak diakomodir negara ini.
Alangkah bagusnya ketika tim sukses itu adalah relawan yang tidak diakomodir oleh tokoh tertentu, jadi dia bekerja benar-benar tulus karena keyakinan pribadinya bahwa tokoh yang diandalkannya adalah orang baik dan punya kepedulian pada masyarakat.
3. Bahasa suksesi dan promosi tidak cukup memadukan kekuatan etika, data, gambar dan bukti
Tuntutan sosial di tengah kemasifan informasi  terkait suksesi dan promosi ketokohan saat ini menuntut adanya keseimbangan antara etika sosial, kata, data, gambar dan bukti.
Artinya, tingkat kepercayaan masyarakat saat ini bukan hanya diukur dengan opini gorengan dan provokasi, baik itu yang berpihak pada pemerintah, maupun yang memilih jadi oposan, tetapi lebih dari itu masyarakat mengharapkan refleksi, argumentasi dan logika yang bisa diterima secara rasional karena punya kandungan standar kebaikan bersama (bonum commune).
Kehilangan kekuatan bahasa, dengan paduan selaras bersama dengan etika, data, gambar dan bukti itulah yang menjadikan meningkatnya kejenuhan tidak hanya pada media promosi itu sendiri, tetapi juga lebih parah lagi berdampak pada kejenuhan pada tokoh yang dipromosikan.
Berbicara tentang suksesi kepemimpinan, mata kita akan terbuka pada cara-cara hebat pemimpin dunia di negara lain. Saya masih ingat bagaimana Joe Beiden pada masa kampanye saat itu.Â
Ada satu video, Joe Beiden berbicara dengan penduduk imigran di USA, ia memperlihatkan betapa ia punya kemampuan untuk bisa berbicara dan akrab dengan siapa saja, tanpa membedakan usia, warna kulit dan lain sebagainya.
Video itu akhirnya mendatangkan simpati yang luar biasa dan orang akhirnya mengagumi calon presiden USA saat itu. Nah, berangkat dari hal kecil itu, melalui tulisan ini sebenarnya saya ingin mengajak masyarakat Indonesia supaya dalam mendukung suksesi kepemimpinan ini, orang perlu memperhatikan beberapa hal ini:
1. Kepadatan isi berita dan informasi tanpa melupakan pesan inspiratif yang menggugah hati
2. Keindahan bahasa yang lahir dari kultur keindonesiaan yang santun, beretika secara baik dan benar
3. Mari membangun Brand diri sebelum membangun brand orang yang kita jagokan.Â
4. Tanggung jawab untuk menjaga wajah demokrasi harus menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia.
Pada prinsipnya siapa saja boleh berbagi informasi apa saja, tentang apa saja dan untuk mempromosikan siapa saja, tetapi hal yang perlu diingatkan adalah soal isi dari pesan dan informasi tanpa melupakan proses membangung branding melalui tata bahasa dan etika yang berlandaskan pada adat dan budaya keindonesiaan kita.
Salam berbagi, ino, 9.11.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H