Bukankah hal seperti itu adalah bagian dari kedangkalan? Ya, tentu saja. Kalau isi berita itu menjadi begitu dangkal, maka akibatnya bahwa kejenuhan dan penolakan. Orang akan jenuh dengan berita tentang tokoh yang sama-sama saja.Â
Dampak lebih lanjut dari kejenuhan itu adalah orang menolak presentasi tentang tokoh itu. Mengapa? Ya, bisa saja mereka tahu tentang siapa orang yang menjadi populer itu.
Jadi, cara mengatasi kejenuhan adalah dengan mempertimbangkan isi dari informasi dan berita-berita promosi itu sendiri.
2. Konsep tentang popularitas tanpa kesaksian yang cukup
Orang populer dalam konteks media sosial saat ini sebenarnya bukan asal tenar, tetapi lebih terkait dengan kualitas kerja seseorang. Lebih berkaitan dengan konsep dan hasil nyata.
Dalam konteks suksesi kepemimpinan saat ini, sebetulnya popularitas seseorang akan diukur melalui janji-janji dan pemenuhan janji-janjinya.Â
Nah, jika saja calon pemimpin yang punya janji bagus dan menarik, tapi tanpa realisasi, maka masif bagaimanapun dukungan dan promosi tim sukses sekalipun, terasa begitu gampang akan jadi pudar. Ya, sama seperti panas setahun, bisa dihapus dengan hujan sehari.
Nah, mengapa orang tidak peduli dengan kualitas pribadi tokoh tertentu? Tentu saja banyak alasannya, bagi tim sukses bisa saja menjagokan tokoh tertentu karena dia sendiri ada dalam satu pengalaman tidak puas karena kepentingannya tidak diakomodir negara ini.
Alangkah bagusnya ketika tim sukses itu adalah relawan yang tidak diakomodir oleh tokoh tertentu, jadi dia bekerja benar-benar tulus karena keyakinan pribadinya bahwa tokoh yang diandalkannya adalah orang baik dan punya kepedulian pada masyarakat.
3. Bahasa suksesi dan promosi tidak cukup memadukan kekuatan etika, data, gambar dan bukti
Tuntutan sosial di tengah kemasifan informasi  terkait suksesi dan promosi ketokohan saat ini menuntut adanya keseimbangan antara etika sosial, kata, data, gambar dan bukti.