Yang dibuang dan yang dikumpulkan
Sebuah cerita tentang sepatu tanpa pemilik pada sudut toko sepatu. Kedua, kemungkinan yang muncul dari kenyataan sepatu hitam itu adalah tentang mentalitas orang Eropa terkait barang bekas. Barang bekas bagi mereka adalah barang yang mungkin masih layak dipakai oleh orang lain.
Jadi, mereka tidak begitu saja membuang barang bekas, tetapi mereka menempatkan pada tempat yang menarik untuk dilihat. Di Jerman setahu saya hampir di setiap kota, ada toko dengan nama Oxfam.Â
Toko itu adalah jenis toko yang menerima barang-barang bekas apa saja. Mulai dari pakaian, perlengkapan rumah, perhiasan, buku-buku dan souvenir lainnya. Mereka menerima itu kemudian membersihkannya dan menjual kembali dengan harga yang  murah.
Hasil dari penjualan itu akan dipakai untuk sumbangan ke seluruh dunia.Ya, untuk kepentingan misi bantuan orang tidak mampu, untuk sekolah, untuk orang-orang yang terkena bencana dan lain sebagainya.
Budaya dan pemahaman tentang barang bekas yang ternyata masih dibutuhkan orang lain, sebenarnya masih bisa diltemukan di mana saja bukan? Ada gak di Indonesia?
Akan tetapi, yang paling sering saya lihat sampai di kampung saya adalah orang-orang dari kota dengan sirine dan suara ".....besi tua, besi tua" Dia adalah seorang pemulung besi tua.
Mengumpulkan kembali besi tua memang pekerja sulit, tetapi patut diacungkan jempol. Di sana ada penghargaan dan kreativitas tentang yang sudah dibuang dan yang akan diubah menjadi baru.
Gagasan itulah yang bagi saya sangat penting dan menarik. Meskipun demikian, saya tahu bahwa umumnya orang sulit sekali membuang barang kepunyaannya, sekalipun itu sudah tidak dipakainya lagi.
Der Sammler, pengumpul
Pada suatu titik saya pernah merenungkan ini, bahwa manusia ini adalah makhluk yang pengumpul (Sammler). Â Dari percikan foto tentang sepatu di kota itu, saya akhirnya punya mimpi tentang sebuah buku dengan judul "Der Sammler"