Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seragam Baju Adat, Nasionalisme tanpa Mono-Culture dan UMKM

21 Oktober 2022   15:18 Diperbarui: 23 Oktober 2022   18:06 1353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seragam baju adat, nasionalisme tanpa monokultur dan umkm | Dokumen pribadi oleh Ino

Tiba-tiba waktu itu saya ingin menyimpan kenangan saat mengenakan seragam adat. Tahun 1998 pertama kalinya mengenakan seragam adat pada usia remaja karena tuntutan pendidikan saat itu; Celana hitam, baju putih dengan romping bermotifkan sarung adat Ende-Lio.

Kenangan itu tiba-tiba saja muncul kembali saat membaca "Baju Adat untuk seragam sekolah." Ya, suatu pengalaman pribadi selama dua tahun mengenakan seragam baju adat. Suatu waktu yang berjalan bersama dengan rasa bahwa ternyata kami berbeda, tetapi tetap satu Indonesia.

Dua tahun dalam lembaga pendidikan persiapan sebelum ke Seminari Tinggi saat itu merupakan kesempatan belajar bukan saja soal ilmu pengetahuan murni, tetapi juga tentang menghargai perbedaan, keanekaragaman suku, bahasa, budaya dan adat istiadat. 

Sejak zaman itu, saya mengenal corak, motif dan warna khas dari masing-masing daerah di NTT. Tidak hanya soal seragam adat, tetapi juga dalam kurun waktu dua tahun itu, kami diberikan kesempatan untuk mengekspresikan budaya kami masing-masing melalui tarian dan nyanyian dan karya seni lainnya.

Seragam adat dan benih Nasionalisme

Nasionalisme sebagai suatu rasa mulai tumbuh saat itu dalam diri saya. Sebuah nasionalisme yang tumbuh dari kenyataan perbedaan-perbedaan yang dihargai, diterima dan dicintai di Indonesia. Rasa itu tumbuh hingga sampai pada kesadaran bahwa itulah negeri dari mana saya berasal. Negeri dari mana saya lahir.

Tidak heran dalam bahasa latin ada konstruksi gramatik yang berkaitan dengan kata nation. Dalam bentuk pasif partisip disebut natus sum yang berarti saya dilahirkan. Ya, dari seragam adat itulah saya mengenal dari mana saya berasal.

Berangkat dari pengalaman itu, sebenarnya seragam adat itu bagus untuk menanamkan semangat nasionalisme. Seragam adat itu menjadi semacam simbol budaya yang mengingatkan tentang Bhineka Tunggal Ika.

Dalam perjalanan waktu, tampak ada kesadaran di kalangan masyarakat umum tentang pentingnya identitas budaya itu.

Nah, sejak saat itu misalnya di NTT umumnya dan Kabupaten Ende misalnya, ada kebijakan daerah bagi PNS untuk mengenakan baju dengan motif adat Ende satu hari dalam seminggu.

Entah orang lain mengatakan apa terkait hal itu. Saya melihatnya sangat positif, bahkan para Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu terlihat menjadi lebih elegan dan berwibawa.

Tentu saja, di sana ada unsur-unsur seperti kesenian, keterampilan masyarakat dalam mendesain tenunan yang patut dihargai.

Kenyataan dan pemahaman seperti itu, tentu saja sama ketika kebijakan terkait seragam adat itu berlaku juga untuk sekolah dasar dan menengah.

Kritik monokultur Hans-Geor Gadamer

Memang pada sisi yang lain, dalam konteks sekolah dasar dan menengah, akan lebih terlihat soal monokultur. Hal ini terjadi karena umumnya jarang sekali ada anak-anak dari daerah lain yang sekolah di kabupaten lain, kecuali karena tugas orangtua mereka.

Oleh karena itu, ketika ada kebijakan seragam adat itu berlaku, maka sebaiknya perlu adanya kegiatan bersama antardaerah. Tujuannya adalah bahwa siswa-siswi bisa melihat perbedaan dan belajar menerima keindahan budaya lain.

Mereka harus dibebaskan dari konsep monokultur. Saya jadi ingat dengan konsep filosofis dari Hans-Georg Gadamer tentang bahaya dari monokultur:

To defend a mono-culture is akin to positing a single, definite horizon and is thus to deny the very difference that initiates understanding in the first place (Mempertahankan monokultur sama dengan menempatkan cakrawala tunggal yang pasti dan dengan demikian menyangkal perbedaan yang memulai pemahaman di tempat pertama).

Jika setiap jenjang pendidikan yang punya kebijakan seragam adat itu menyadari bahaya dari monokultur, maka mereka pasti akan mencari cara untuk menghindari kemungkinan terburuknya dengan menciptakan kemungkinan perjumpaan dengan budaya lain.

Seragam adat dalam kancah UMKM

Sementara itu, dari sisi yang lain lagi sebenarnya kebijakan seragam adat itu tentu sangat menguntungkan masyarakat yang bergelut dengan dunia tenun adat. Tenun adat bagi masyarakat NTT itu merupakan suatu mata pencaharian.

Masyarakat di pesisir pantai umumnya menopang kehidupan dan ekonomi rumah tangga mereka hanya dengan bertenun. Bahkan tenun untuk konteks masyarakat NTT bisa dikategorikan ke dalam UMKM.

Semakin banyak instansi yang menerima kebijakan seragam adat itu, maka semakin menjadikan UMKM mereka bertumbuh. Peningkatan pendapatan daerah juga pasti akan meningkat melalui kebijakan itu. Nah, kalau kenyataannya seperti itu, salahkah pemberlakukan kebijakan seragam adat?

Kebijakan itu tentu saja punya tujuan bagus tentunya, apalagi dalam konteks global terkait promosi wisata budaya Tanah Air Indonesia. Sekali lagi seragam adat itu merupakan "kesempatan dan peluang untuk.." dan bukan halangan untuk..."

Konteks kemandirian ekonomi Indonesia saat ini semestinya punya orientasi seperti itu, tidak hanya menjaga keutuhan nasionalisme bangsa, tetapi menciptakan kemandirian ekonomi di pasar tradisional.

Dalam sela-sela liburan kemarin, saya pernah dua kali melakukan blusukan kecil di pasar Mbongawani-Ende. Di sana saya melihat ibu-ibu penjual tenun adat. Tenun-tenun adat hasil karya tangan mereka ternyata sangat indah.

Saya sempat mengambil beberapa foto secara sembunyi termasuk foto tenunan dengan motif Pancasila. Saya suka sekali dengan motif itu. Coba bayangkan mereka tidak pendidikan khusus soal seni dan nasionalisme, tetapi daya imajinasi mereka sampai sejauh itu.

Satu motif Pancasila karya tangan ibu penjual tenun ikat di pasar Mbongawani-Ende | Dokumen pribadi oleh Ino
Satu motif Pancasila karya tangan ibu penjual tenun ikat di pasar Mbongawani-Ende | Dokumen pribadi oleh Ino

Itulah kebanggaan yang tidak bisa pudar dari terpaan pengaruh modern yang menjauhkan anak bangsa dari budaya dan seni daerah mereka. Hal seperti itu, tentu tidak hanya di Flores, tetapi di mana saja.

Saya orang Flores, tetapi paling suka dalam forum resmi mengenakan baju Batik. Saya mengenakan dengan kesadaran penuh bahwa itu bukan dari budaya saya, tetapi itu diterima dan dicintai di Indonesia, bahkan dunia mengenal Batik.

Seragam sekolah dengan motif batik bahkan dikenakan oleh anak-anak sekolah di kampungku. Tidak ada satupun yang protes. Mengapa demikian?

Itulah kebijakan yang tidak hanya menghalau bahaya dari monokultur, tetapi juga orang Indonesia seluruhnya perlu mencintai perbedaan.

Salam berbagi, ino, 21.10.2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun