Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seragam Baju Adat, Nasionalisme tanpa Mono-Culture dan UMKM

21 Oktober 2022   15:18 Diperbarui: 23 Oktober 2022   18:06 1353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seragam baju adat, nasionalisme tanpa monokultur dan umkm | Dokumen pribadi oleh Ino

Tentu saja, di sana ada unsur-unsur seperti kesenian, keterampilan masyarakat dalam mendesain tenunan yang patut dihargai.

Kenyataan dan pemahaman seperti itu, tentu saja sama ketika kebijakan terkait seragam adat itu berlaku juga untuk sekolah dasar dan menengah.

Kritik monokultur Hans-Geor Gadamer

Memang pada sisi yang lain, dalam konteks sekolah dasar dan menengah, akan lebih terlihat soal monokultur. Hal ini terjadi karena umumnya jarang sekali ada anak-anak dari daerah lain yang sekolah di kabupaten lain, kecuali karena tugas orangtua mereka.

Oleh karena itu, ketika ada kebijakan seragam adat itu berlaku, maka sebaiknya perlu adanya kegiatan bersama antardaerah. Tujuannya adalah bahwa siswa-siswi bisa melihat perbedaan dan belajar menerima keindahan budaya lain.

Mereka harus dibebaskan dari konsep monokultur. Saya jadi ingat dengan konsep filosofis dari Hans-Georg Gadamer tentang bahaya dari monokultur:

To defend a mono-culture is akin to positing a single, definite horizon and is thus to deny the very difference that initiates understanding in the first place (Mempertahankan monokultur sama dengan menempatkan cakrawala tunggal yang pasti dan dengan demikian menyangkal perbedaan yang memulai pemahaman di tempat pertama).

Jika setiap jenjang pendidikan yang punya kebijakan seragam adat itu menyadari bahaya dari monokultur, maka mereka pasti akan mencari cara untuk menghindari kemungkinan terburuknya dengan menciptakan kemungkinan perjumpaan dengan budaya lain.

Seragam adat dalam kancah UMKM

Sementara itu, dari sisi yang lain lagi sebenarnya kebijakan seragam adat itu tentu sangat menguntungkan masyarakat yang bergelut dengan dunia tenun adat. Tenun adat bagi masyarakat NTT itu merupakan suatu mata pencaharian.

Masyarakat di pesisir pantai umumnya menopang kehidupan dan ekonomi rumah tangga mereka hanya dengan bertenun. Bahkan tenun untuk konteks masyarakat NTT bisa dikategorikan ke dalam UMKM.

Semakin banyak instansi yang menerima kebijakan seragam adat itu, maka semakin menjadikan UMKM mereka bertumbuh. Peningkatan pendapatan daerah juga pasti akan meningkat melalui kebijakan itu. Nah, kalau kenyataannya seperti itu, salahkah pemberlakukan kebijakan seragam adat?

Kebijakan itu tentu saja punya tujuan bagus tentunya, apalagi dalam konteks global terkait promosi wisata budaya Tanah Air Indonesia. Sekali lagi seragam adat itu merupakan "kesempatan dan peluang untuk.." dan bukan halangan untuk..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun