"Tak ada pendidikan tanpa proses perjuangan dan pergumulan yang terus-menerus dan sungguh-sungguh dalam menerima dan membawa luka dan bisa hingga hilang pedih, perih. "
Tema sorotan Kompasiana kali ini terasa menyentuh relung sastra dengan aksen membuka tabir makna dari sastrawan ternama Chairil Anwar.Â
Chairil Anwar melalui  puisi AKU bagi saya merupakan puisi legendaris yang begitu menyatu dengan gelora semangat anak bangsa yang sedang berjuang meraih pendidikan.Â
Puisi Aku tidak bisa dipisahkan dari paradigma pendidikan anak bangsa Indonesia. Mengapa demikian?Â
Berikut ini 3 alasan dan model tafsiran puisi AKU terkait paradigma pendidikan bangsa Indonesia.Â
1. Puisi Aku dan visi perjuangan pendidikan anak bangsa
Aku adalah puisi pertama yang saya kenal. Perkenalan pertama itu sejak di bangku sekolah dasar (SD).Â
Entah kenapa dan mengapa puisi Aku itu diajarkan sewaktu di bangku SD, saya percaya bahwa puisi Aku itu berkaitan dengan visi perjuangan anak bangsa Indonesia.Â
Visi perjuangan anak bangsa terasa dan terlihat dalam nada-nada perjuangan bahkan terekam dari cara para guru dulu mengajarkan cara membaca puisi Aku.Â
Visi perjuangan pendidikan anak bangsa yang terbersit dari puisi AKU terlihat pada baris terakhir, "Aku mau hidup seribu tahun lagi."Â
Pendidikan bagi saya dalam bayangan makna puisi Aku adalah menjadi seseorang seperti tidak bisa mati atau hidup seribu tahun lagi.Â
Jika orang menikmati pendidikan, maka orang mencatat tentang kehidupan yang panjang dan lama. Warisan intelektual orang yang berpendidikan itu tidak akan pernah mati.Â
Saya yakin karya sastrawan Chairil Anwar akan bertahan dan hidup lebih dari seribu tahun lagi.Â
2. Puisi Aku dan janji seorang anak petani
Setiap kali saya membaca puisi Aku, saya tersentuh dengan baris pertama, "kalau sampai waktuku"Â
Baris pertama itu bagi saya merupakan coretan janji dari seorang anak petani yang rindu menikmati pendidikan. Baris pertama puisi Chairil Anwar itu seperti mengiris hati saya dengan janji andaikan aku diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan, maka aku akan sungguh-sungguh.Â
Rindu menikmati pendidikan untuk seorang anak petani di tahun 1980 an rupanya masih merupakan suatu kemustahilan. Menikmati pendidikan tinggi itu hanya mungkin bagi sekelompok orang tertentu saja.Â
Oleh karena itu, setiap kali saya membaca puisi Aku, saya ingat bagaimana saya berjuang memberi semangat kepada diri sendiri di saat-saat sulit pada tahun krisis waktu tahun 1980 an.
Tanpa Aku, maka saya tidak pernah menemukan roh yang memberikan gairah kepada diri sendiri untuk tekun belajar dan terus belajar.Â
Apalagi kalau saya ingat baris kedua, "Ku mau tak seorang kan merayu" Saya jadi ingat rayuan maut pada masa itu adalah menjadi perantau di bawah umur.Â
Tekanan ekonomi yang menyeret banyak orang ke kenyataan kemiskinan tak berdaya pada waktu itu, menjadikan banyak anak-anak usia sekolah kehilangan visi pendidikan.Â
Pada masa itu muncul konsep konyol seperti ini, hidup itu lebih penting dari pendidikan. Apa artinya pendidikan kalau memang tak berdaya sama sekali secara ekonomi?Â
Sebuah konsep paradoks yang konyol karena anak bangsa ini sedang terjepit situasi krisis tahun 1980 an. Pada masa itu, saya pernah menolak rayuan menjadi perantau sekurang-kurangnya sampai di usia sekolah menengah atas (SMA).Â
Dalam hati, saya pernah merasakan betapa daya positif baris kedua puisi Chairil Anwar itu. "Ku tak mau seorang kan merayu" Rayuan itu sudah saya taklukan karena janji ingin meraih pendidikanyang menjadikan karya-karyaku hidup 1000 tahun lagi.Â
3. Puisi Aku dan cara menaklukan tantangan
Puisi karya Chairil Anwar "Aku" merupakan satu-satunya puisi yang memberikan saya makna dan pemahaman tentang cara menaklukan tantangan.Â
Kesadaran pertama yang muncul dalam diri saya adalah bahwa siapa yang berniat menempuh pendidikan, maka dia pasti mengalami tantangan.Â
Tantangan adalah bahasa umum dari detail frasa dan diksi Chairil Anwar yang begitu nyata tentang luka dan bisa. Ya, "luka dan bisa kubawa barlari, berlari hingga hilang pedih perih."Â
Barisan kata-kata Chairil Anwar itulah yang membentuk saya sampai pada pemahaman apa gunanya mengeluh dan mengesah jika ada kesakitan dan kepahitan dalam menempuh pendidikan.Â
Seorang pejuang pendidikan yang sejati pantas punya gairah dan filosofi hidup bahwa semuanya akan berubah. Atau sekurang-kurangnya perlu punya keyakinan bahwa semuanya akan berubah menjadi baik atau alles wird gut.Â
Filosofi dan pradigma pendidikan yang muncul dari eksposisi puisi AKU dari Chairil Anwar itu telah menolong saya dan tentu saja bisa menolong anak bangsa ini untuk pantang mundur jika berhadapan dengan berbagai "luka dan bisa".Â
Luka dan bisa bukan untuk dibuang, tetapi untul dibawa hingga hilang pedih dan perih. Konsep dan gagasan ini seakan menggarisbawahi peribahasa, "sakit-sakit dahulu dan bersenang-bersenang kemudian."Â
Setiap orang sukses pasti punya pengalaman lelah, pedih dan perih, apalagi soal pengalaman luka dan bisa. Adakah manusia di bumi ini, khususnya yang sukses meraih pendidikan tanpa luka dan bisa, tanpa pedih dan perih?Â
Chairil Anwar dalam hal ini melalui puisi Aku mau menanamkan beberapa hal ini:Â
1. Pendidikan harus punya visi yang jelas.
2. Pendidkan harus punya janji dan komitmen yang tegas.
3. Pendidikan diraih melalui proses luka dan bisa, pedih dan perih.
4. Pendidikan hanya bisa diraih melalui kemampuan memiliki daya optimisme yang tinggi, alles wird gut.Â
Demikian sebuah eksposisi terhadap puisi Aku karya Chairil Anwar dengan 3 alasan menyentuh ranah paradigma pendidikan dan model tafsiran.Â
Tak ada pendidikan tanpa membawa luka dan bisa hingga hilang pedih dan perih. Tak ada kesuksesan tanpa berdamai dengan kesulitan dan kepahitan hidup.Â
Salam berbagi, ino, 2 Agustus 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H