Pada masa itu muncul konsep konyol seperti ini, hidup itu lebih penting dari pendidikan. Apa artinya pendidikan kalau memang tak berdaya sama sekali secara ekonomi?Â
Sebuah konsep paradoks yang konyol karena anak bangsa ini sedang terjepit situasi krisis tahun 1980 an. Pada masa itu, saya pernah menolak rayuan menjadi perantau sekurang-kurangnya sampai di usia sekolah menengah atas (SMA).Â
Dalam hati, saya pernah merasakan betapa daya positif baris kedua puisi Chairil Anwar itu. "Ku tak mau seorang kan merayu" Rayuan itu sudah saya taklukan karena janji ingin meraih pendidikanyang menjadikan karya-karyaku hidup 1000 tahun lagi.Â
3. Puisi Aku dan cara menaklukan tantangan
Puisi karya Chairil Anwar "Aku" merupakan satu-satunya puisi yang memberikan saya makna dan pemahaman tentang cara menaklukan tantangan.Â
Kesadaran pertama yang muncul dalam diri saya adalah bahwa siapa yang berniat menempuh pendidikan, maka dia pasti mengalami tantangan.Â
Tantangan adalah bahasa umum dari detail frasa dan diksi Chairil Anwar yang begitu nyata tentang luka dan bisa. Ya, "luka dan bisa kubawa barlari, berlari hingga hilang pedih perih."Â
Barisan kata-kata Chairil Anwar itulah yang membentuk saya sampai pada pemahaman apa gunanya mengeluh dan mengesah jika ada kesakitan dan kepahitan dalam menempuh pendidikan.Â
Seorang pejuang pendidikan yang sejati pantas punya gairah dan filosofi hidup bahwa semuanya akan berubah. Atau sekurang-kurangnya perlu punya keyakinan bahwa semuanya akan berubah menjadi baik atau alles wird gut.Â
Filosofi dan pradigma pendidikan yang muncul dari eksposisi puisi AKU dari Chairil Anwar itu telah menolong saya dan tentu saja bisa menolong anak bangsa ini untuk pantang mundur jika berhadapan dengan berbagai "luka dan bisa".Â
Luka dan bisa bukan untuk dibuang, tetapi untul dibawa hingga hilang pedih dan perih. Konsep dan gagasan ini seakan menggarisbawahi peribahasa, "sakit-sakit dahulu dan bersenang-bersenang kemudian."Â