Perubahan dan penyatuan nomor boleh-boleh saja, yang penting bahwa jaminan perlindungan data tetap aman dan pemahaman yang benar tentang fungsi dan dampaknya jika salah menggunakan NPWP.
Tema sorotan Kompasiana kali ini sangat menarik dan aktual secara khusus tentang penyatuan nomor KTP (NIK) dan NPWP. Rencana penyatuan itu baru akan dilaksanakan pada 2023 yang akan datang, namun baiklah sejak sekarang kita coba mengkaji dengan kritis tentangnya.
Rencana penyatuan itu memang memberikan beberapa sinyal yang tidak hanya semata-mata positif, tetapi juga dilematis. Ada beberapa signal positifnya:
- Indonesia sedang dalam pencarian (auf der Suche) sistem yang mudah, cepat, dan praktis.
- Penyatuan itu bisa menjadi gambaran tentang perubahan cara berpikir dari yang kompleks ke pragmatis.
- Penyatuan itu memberikan isyarat tentang era transisi ekonomi yang mengarah ke modernisasi sistem keuangan.
- Penyatuan itu sebagai satu cara untuk menghemat kertas.
Sementara itu pada sisi yang lainnya, terasa ada dilemanya. Dilemanya adalah bahwa nomor KTP selama ini bahkan tidak merupakan nomor yang rahasia sekali.Â
Baru terasa penting terkait kerahasiaannya, ya belakangan ini, semenjak ada program pembaruan sistem dari KTP manual ke KTP elektronik.
Dilemanya pasti bahwa kerahasian nomor pajak tidak bisa terjaga dengan baik. Meskipun demikian, tanggung jawab paling penting sebenarnya adalah institusi perpajakan Indonesia yang menangani semua urusan data nomor pajak.Â
Tanggung jawab besar itu terkait dua hal:
- Kompromi perlindungan data KTP dan data NPWP
- Siapa yang akan menjadi penanggungjawabnya, jika terjadi kebocoran data KTP atau data NPWP?
Jangan anggap sepele lho, mengapa saya berbicara tentang kebocoran data? Nah, saya berangkat dari pengalaman pribadi ternyata nomor pajak ini data yang sangat penting terkait bisnis dunia digital saat ini.
Bisnis berkelas seperti Bitcoin dan sejenis bisnis online di Metaverse ini membutuhkan data NPWP. Pengalaman membuktikan bahwa berbulan-bulan mereka masih saja mencari dan mengejar-ngejar saya untuk meminta nomor NPWP, sementara saya tidak punya nomor itu.
Ya, di Jerman memang saya punya, tetapi saya tidak akan memberikan nomor NPWP itu. Data nomor NPWP adalah data terakhir yang dicari-cari oleh jaringan bisnis online.
Tentu konteks yang saya miliki adalah Eropa, namun namanya bisnis online atau bisnis di Metaverse itu sebenarnya tidak kenal lagi batas negara, ruang, dan waktu di mana seseorang berada.
Oleh karena kita hidup di dunia terbuka dengan akses global ini, maka terkait NPWP mesti perlu lebih hati-hati. Peringatan (warning) ini bukan berarti menggagalkan rencana penyatuan nomor KTP dan NPWP, tetapi lebih supaya kajian tentang sistem perlindungan data warga Indonesia mesti harus benar-benar dijamin.
Oleh karena itu, saya pikir ada 2 hal ini yang penting diperhatikan:
- Penyatuan boleh-boleh saja, asal setiap orang perlu diberikan lagi kode Personal Identification Number (PIN) untuk akses online KTP dan NPWP.
- Konfirmasi kode PIN mungkin perlu melalui email dan nomor handphone.
Kendalanya bahwa belum semua masyarakat Indonesia bisa mengakses internet dan bahkan belum semua juga bisa menggunakan handphone Android.Â
Apakah ada jaminan, jika urusan terkait konfirmasi itu dilakukan oleh orang lain? Tentu saja tidak nyaman.
Pada prinsipnya sistem perlindungan data pribadi setiap warga masyarakat saat ini sangat penting, apalagi ketika sistem bisnis online yang membutuhkan konfirmasi data-data pribadi secara online.
Transisi sistem keuangan dan faktor eror
Transisi sistem keuangan, ekonomi, dan perkembangan teknologi dewasa ini tidak bisa lagi dipisahkan dari format digitalisasi yang menggunakan sistem-sistem modern yang cepat dan kilat. Nah, oleh karena itu, sangat dibutuhkan tentunya soal kepastian dan keamanan.
Orang hanya boleh mengklik "ja" misalnya hanya kalau ia benar-benar tahu konsekuensinya apa atas jawaban "ja" itu sendiri. Dan ketika salah paham, maka konsekuensinya besar dan berdampak pada keuangan.
Oleh karena itu, mari kenali teknologi digital dalam semua sisinya dengan kemajuan bahasa-bahasa yang digunakannya, agar orang tidak salah kaprah.Â
Saya jadi ingat perjalanan dari Roma kembali ke Jerman, lalu mampir istirahat di Firenze untuk mengisi bensin dan membeli minuman dan makanan ringan, kami kecolongan memesan banyak sekali yang tidak kami perlukan, hanya karena tidak paham dengan sistem pembelian mesin otomatis.*
Sistem itu menggunakan scan kode saja yang begitu halus dan senyam merekam data yang kita perlukan, bahkan sampai kita sendiri tidak tahu bahwa itu sudah terekam. Oleh karena tidak yakin, maka dianggap gagal, lah kita mengambil sekali lagi, mesin itu akan terus menghitungnya.
Semestinya yang kami butuhkan cuma satu barang, ternyata diminta bayar tiga kali, ya terbukti pada nota print bahwa kami memesan tiga barang yang sama.
Faktor eror ternyata tidak bisa dihindari dalam akses yang berkaitan dengan teknologi saat ini. Ketelitian, ketenangan, dan pemahaman yang benar rupanya menjadi syarat mutlak dalam dunia krypto bisnis saat ini.Â
Salam berbagi, ino, 25.05.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H