Dunia membutuhkan seorang penulis dan jurnalis yang punya komitmen pada kebenaran
Jumat, 13 Mei 2022 adalah cerita pertama tentang perjalanan ke Roma. Ada ungkapan yang sudah umum dikenal yakni "ada banyak jalan menuju Roma." Ungkapan itu menjadi nyata saat awal perjalanan kami sejak kemarin. Diskusi kecil tentang melalui jalan mana ke Roma.Â
Cerita perjalanan ke Roma memberikan beberapa poin refleksi:
 1. Tujuan perjalanan ke Roma
Perjalanan ke Roma hari ini  punya tujuan yang sudah direncanakan sejak bulan Februari 2022. Tujuan utama perjalanan kami ke Roma adalah untuk mengikuti konselebran bersama Paus Fransiskus dalam momen kanonisasi 8 orang yang oleh Gereja Katolik diakui sebagai orang kudus.Â
 2. Sekilas tentang Titus Brandsma
Satu dari 8 orang yang akan digelar kudus pada Minggu 15 Mei 2022 itu adalah saudara dalam rumah ordo Karmel, Titus Brandsma. Titus Brandsma adalah seorang Karmelit asal Belanda. Pada puncak karyanya, ia tidak hanya sebagai imam, tetapi juga sebagai seorang profesor dan jurnalis.Â
Pada masa perang dunia kedua di Eropa, Titus Brandsma punya komitmen pribadi yang begitu berani melawan rezim Nazi. Pada masa itu, Nazi melarang kebebasan berpendapat, bahkan melarang aktivitas pers dan para jurnalis.Â
 3. Konteks politik kekuasaan pada 1942 di Eropa
Konteks politik anti kebebasan pers dan anti berita tentang kebenaran masa itu menyeret Titus Brandsma ke ruang hidup yang buram hingga duka.Â
 Seluruh pergerakannya sebagai profesor dan jurnalis yang secara masif mengkampanyekan perlawanan terhadap rezim kekerasan, anti kebebasan pers dan anti kebebasan pendapat selalu dipantau oleh Nazi.Â
 Hingga pada akhirnya, Titus Brandsma ditangkap dan dipenjarakan hingga dihukum secara sadis di kamar gas di Dachau.Â
 4. Perjuangan melawan Fake News
Perjuangan dan keberaniannya melawan Fake News atau hoax menjadi titik klimaks yang tetap relevan sepanjang zaman. Jurnalis dan kepentingan mengungkapkan kebenaran di dunia ini pada prinsipnya merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.Â
 Bahkan saya bisa mengatakan, kapanpun dan dimanapun jurnalis itu hidup, ia perlu tetap berpegang pada prinsip kebenaran pemberitaan. Tanpa seorang jurnalis pemberani seperti Titus Brandsma, maka kebohongan dan manipulasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan bisa saja tidak akan berakhir.
 Jurnalis pemberani tentu saja bisa menghentikan langka kekerasan dan pergerakan membela hak asasi manusia pada puncaknya akan berakhir dengan cerita tentang kematian. Ya, ia mati sebagai martir dalam konteks Gereja Katolik, tetapi tentu saja untuk dunia umumnya, siapa saja yang berjuang mati-matian untuk kemanusiaan, pasti akan dihormati. Tidak ada yang sia-sia dari titik-titik perjuangan kemanusiaan dan pejuang kebenaran.
 5. Titus Brandsma menjadi kudus melalui tulisannyaÂ
Bukan karena saya suka menulis dan bukan untuk menghibur teman-teman penulis Kompasiana lainnya, pilihan kita menjadi penulis adalah pilihan yang baik.
Apalagi dalam konteks dunia informasi digital yang punya ruang hoaks yang masiv ini, penulis tentu punya peran penting untuk menulis tentang kenyataan dunia yang terkait dengan kebenaran dan nilai-nilai kehidupan.
Dalam semangatnya untuk mengkampanyekan perlawanan terhadap Hoaks pada masa itu, saya melihat ada 3 fenomena hoaks yang relevan sampai saat ini:
1. Hoaks kekuasaan
Titus Brandsma menunjukkan dengan jelas melalui hidupnya. Hoaks kekuasaan Nazi pada masa itu memang harus diberitakan agar dunia tahu dan harus melawan dan menekannya.Â
Berita tentang kenyataan pahit rezim Nazi memang perlu disuarakan secara benar, bukan karena posisi keberpihakan penulis pada oposisi, tetapi atas dasar keberpihakannya pada kebenaran dan nilai-nilai kehidupan.Â
Rezim kekuasaan yang melarang kebebasan berpendapat tentu itu yang perlu dilawan. Nah, dalam kaitannya dengan kekuasaan, kehidupan Titus Brandsma bisa menjadi poin yang relevan untuk konteks Indonesia juga.
Indonesia menyongsong pemimpin 2024 adalah tema aktual yang tidak terlepas dari konteks berita-berita hoax tentang calon-calonnya. Janji yang tidak terpenuhi, diberitakan sebagai orang hebat yang bisa membangun secara luar biasa negeri ini.
 Hoax kekuasaan bisa muncul dalam kemanisan kata-kata yang selalu menghibur rakyat, namun tidak tampak menjadi nyata pada tingkat realisasinya.Â
Dari konteks seperti itu, maka penulis, para jurnalis tentunya dipanggil untuk menyuarakan kebenaran.
2. Hoaks dalam pemberitahuan
Konteks hoaks dalam pemberitaan pada masa itu dilawan Titus Brandsma melalui perkumpulannya bersama asosiasi pers Katolik yang punya nafas yang sama memperjuangkan kebenaran pada masa itu.
Dari latar konteks zaman kita saat ini, bisa dikatakan dalam istilah populer bahwa momen kanonisasi itu adalah panggilan kepada buzzer kebenaran informasi, buzzer melawan hoaks. Buzzer bebas yang tidak dibayar oleh siapa-siapa, selain atas nama kebenaran.Â
Saya lebih suka menggunakan istilah buzzer itu tanpa tergantung pada kekuasaan, tetapi lebih karena panggilan pribadi untuk memberitakan nilai-nilai baik untuk kebersamaan, toleransi dan inspirasi hidup.
 3. Hoaks di kalangan Universitas
Titus Brandsma pada masa itu melakukan perlawanan terhadap Nazi mulai dari Universitas. Podium universitas baginya adalah momen bergengsi menanamkan ilmu yang benar kepada generasi muda yang kritis.Â
Apakah perjuangan Titus Brandsma dilatarbelakangi oleh karena ia takut jangan-jangan ideologi Nazi itu masuk sampai ke Universitas? Ya, bisa saja. Rupanya Titus Brandsma punya pandangan profetis tentang bentuk perlawanan terhadap rezim kekerasan dan anti kebebasan itu mulai dengan cara menanamkan ilmu yang benar di Universitas tempat ia mengajar.Â
Kalau demikian, terasa bahwa hembusan perjuangan Titus Brandsma masih terasa hingga sekarang, khususnya terkait hubungan antara universitas dan ideologi radikalisme yang ingin menggantikan Pancasila.Â
Titus Brandsma bisa menjadi model dan contoh dalam ragam perlawanan dalam konteks ideologi yang mengancam keretakan bangsa-bangsa.Â
Dalam hal ini, kanonisasi Titus Brandsma, merupakan momen kritik terhadap konteks zaman kita yang selalu dihembus dengan nafas radikalisme dan perang.
Demikian beberapa catatan tentang Titus Brandsma. Pada prinsipnya kekayaan hidupnya memberikan nilai universal. Ya, tentang perjuangan membela kebenaran, membela kebebasan pers, kebebasan berpendapat. Tentu penting sekali, ia berjuang melawan Fake News sampai pada akhir kehidupannya.Â
Â
Salam berbagi, ino dari Süd Tirol-Italia, 14, 05.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H