Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia di Mata Dunia dan Distorsi Etika di Kancah Politik Tanah Air

20 Mei 2022   01:26 Diperbarui: 20 Mei 2022   07:35 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang Indonesia di mata dunia dan distorsi etika di kancah politik tanah air | Dokumen pribadi oleh Ino

350 tahun pernah dijajah, tetapi sekarang tidak merana, mengapa bisa demikian? Indonesia itu bangsa besar yang punya kekayaan sumber daya manusia dan alam berlimpah.

Decak kagum pemimpin-pemimpin bangsa lain tentang Indonesia sering mendatangkan rasa haru dan banggsa anak bangsa. Apalagi kalau menyaksikan bagaimana sang Presiden Jokowi hadir dalam konteks pertemuan-pertemuan berskala internasional.

Respek dan rasa hormat pemimpin-pemimpin dunia  terhadap pemimpin bangsa kita memberikan gambaran begitu jelas bahwa pemimpin bangsa kita adalah simbol dari peradaban bangsa ini.

Gambaran dari sebuah peradaban yang disegani dan dihormati dunia. Mereka mengangguk dan menunduk menghormati presiden kita, bahkan bisa saja merasa bangga ketika berdiri dekat dengang Jokowi.

Seperti apa Indonesia di mata dunia?

Saya masih ingat beberapa tahun lalu, ketika Jokowi membantah anggapan negara lain, bahwa Indonesia tidak bisa menangani teroris di tanah air. Jokowi hadir dengan suara sangat lantang, tegas dan jelas di hadapan barisan pemimpin-pemimpin dunia mengatakan bahwa Indonesia bisa mengatasi itu sendiri, karena hanya kami (Indonesia) yang tahu tentang konteksnya di sana.

Isu ketidaksanggupan itu langsung sirna seketika, sorak tepuk tangan bahkan kembali menukik serupa ejekan pada Donald Trump saat itu. Saat itu, bagi saya momen puncak melalui Presiden kita, Indonesia menunjukkan ketegasan dan keberaniannya untuk tidak bergantung pada negara lain dalam konteks menangani persoalan bangsa ini, maupun persoalan global.

Indonesia hari ini

Ketika menyaksikan kehadiran Jokowi pada momen KTT Asean-As 2022, tampak jelas sekali, Jokowi dihormati layaknya pemimpin-pemimpin bangsa yang hebat; ya memang dunia Barat mengenalnya sebagai presiden hebat.

Bendera Merah Putih diusung dengan hormat. Presiden kita, Jokowi dan Ibu Iriana disapa dan disambut dengan luar biasa. Momen itu spontan menyisakan martabat bangsa ini yang dihormati bangsa lain, termasuk dihormati oleh bangsa-bangsa besar dan super power.

Memang ada yang merilis berita bahwa kedatangan Jokowi tidak  disambut oleh pemimpin negara, akan tetapi dalam banyak kesempatan pertemuan internasional, terlihat Jokowi dihormati.

Rujukan untuk mengkritik diri sendiri

Rasa hormat pemimpin bangsa lain atau bahkan rasa hormat warga negara lain terhadap presiden Republik Indonesia bagi saya adalah catatan paling berarti yang bisa menjadi rujukan untuk mengkritik diri sendiri.

Rakyat Indonesia umumnya sangat menghormati presidennya. Meskipun demikian, pada kenyataanya terlihat bahwa konteks politik di Indonesia terkadang menampilkan rasa dan aroma yang berbeda.

Terkadang banyak salah paham tentang bagaimana menjadi oposisi dalam percaturan politik. Oposisi semestinya tidak berarti bisa menghina dan mencaci maki lawan politik.

Oposisi itu diterima di Indonesia, cuma kendalanya bahwa etika dalam beroposisi terasa belum matang untuk dipublikasikan. Tidak jarang pula beberapa orang yang bisa dikatakan pengamat politik, tetapi prakteknya cenderung menilai dan mengukur dan merendahkan, hingga menghina.

Dalam kenyataan seperti itu, sebenarnya siapapun rakyat Indonesia perlu bercermin diri pada rakyat bangsa lain yang mengagumi dan menghormati presiden kita, Jokowi.

Lebih dari itu, saya melihat fenomena cibir dan nyinyir terhadap pemerintah saat ini, lebih karena kepentingan tertentu yang tidak tercapai. 

Beberapa fenomena itu bisa terlihat jelas sekali dalam kenyataan-kenyataan ini:

  1. Kemungkinan pencibir dan pencaci maki di negeri ini adalah orang-orang yang punya trauma politik, entah pernah dipecat dari jabatannya.

  2. Sekelompok orang yang diam-diam mendukung gerakan radikalisme di Indonesia.

  3. Sekelompok orang yang tidak bisa lagi seenaknya korupsi karena regulasi keuangan yang sangat ketat dengan sistem-sistem kuncinya.

  4. Percaturan kepentingan politik dalam rangka pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Keempat hal itu tampak sekali menjadi sumber dari distorsi etika di negeri ini. Tentu kalau dilihat dalam kancah politik di negara-negara lain, terasa sekali bahwa sedikit berbeda bahwa pengkritik tidak sampai mencaci maki.

Nah, dalam hal ini sebenarnya bisa dilihat ternyata tingkat intelektualitas pengamat politik, atau juga pejabat-pejabat yang suka nyinyir itu sebenarnya kekurangan gizi etika.

Ya, Indonesia dalam konteks kebebasannya sebetulnya perlu tetap menyadari beberapa hal ini:

  1. Pemimpin bangsa ini dipilih dari kebanyakan rakyat Indonesia. Pemilihnya pasti menghormatinya. Orang baik juga pasti dihormati.

  2. Bangsa Indonesia bertahan dengan nilai inflasi 3,47 di tengah krisis ekonomi yang melanda banyak negara lain, termasuk di Eropa.

  3. Kedewasaan emosi anak bangsa ini masih perlu dievaluasi.

  4. Kritik yang konstruktif itu ternyata hanya bisa dilakukan oleh orang yang bijaksana dan bukan karena titel seseorang lalu menjadi otomatis dimampukan.

  5. Indonesia membutuhkan bentuk-bentuk edukasi dalam cara menyampaikan kritik baik lisan, maupun tulisan.

  6. Indonesia membutuhkan pendidikan etika. 

Demikian beberapa catatan yang terkait dengan konteks respek anak bangsa terhadap pemimpin bangsa ini dan bagaimana penting merujuk pada respek bangsa lain terhadap pemimpin bangsa kita. 

Kebebasan yang dimiliki anak bangsa ini, semestinya tidak untuk mencaci maki, tetapi untuk suatu literasi dan diplomasi yang konstruktif. Pada prinsipnya menjadi bijaksana itu akan lebih dihormati apalagi dilengkapi dengan etika yang berakar pada budaya sopan-santun kita sendiri.

Salam berbagi, ino, 20.05.2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun