Kecepatan dalam mempublikasikan berita harus berlandaskan pada akurasi data, kata, gambar dan rujukan tafsiran.
Hari Pers Nasional (HPN) akan dirayakan kembali tahun 2022 ini dengan tema "Pers dan Tantangan Media Digital." Tema sorotan kompasiana kali ini sangat aktual.
Hemat saya oleh karena dua alasan ini: pertama, pers Indonesia berhadapan dengan konteks kebebasan menyampaikan pendapat yang dijamin dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tanpa represi dari pemerintah. Kedua, oleh karena perkembangan teknologi komunikasi media digital yang semakin marak dan membludak.Â
Dua alasan itu sudah tentu  bisa menjadi peluang dan sekaligus tantangan yang bisa menyedot energi semua pihak, lebih-lebih berkaitan dengan penyebaran informasi digital dan ujaran-ujaran kebencian yang akhir-akhir ini santer dibicarakan.
Oleh karena itu, saat ini memang saat yang tepat untuk mendalami tema yang ditawarkan Kompasiana, ya membahas pers di era digital ini. Pers era metaverse tentu punya tantangan dan dilemanya sendiri.Â
Dilema dan tantangan pers saat ini menurut saya ada 3 hal dengan fokus pada persoalan akurasi:
Dilema antara Akurasi data dan kecepatan
Dilema antara akurasi (Genauigkeit)data dan kecepatan ini berhubungan erat dengan tuntutan masyarakat umumnya. Masyarakat pembaca menantikan laporan dan ulasan peristiwa yang benar-benar aktual.Â
Tuntutan aktualitas itu tentu tidak berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan data dan kecepatan. Prinsip yang penting di era metaverse ini adalah memiliki akurasi data dan kecepatan mempublikasikan informasi.Â
Dari prinsip akurasi data dan kecepatan itu terlihat tantangannya. Ya, bagaimana jurnalis itu bisa memperoleh data yang benar dan sesuai di lapangan dengan cepat?Â
Terkait pertanyaan bagaimana memperoleh data dengan cepat dan memiliki akurasi tingkat tinggi itulah, tenaga pers punya selera dan gairah (Leidenschaft) yang mesti dimiliki seperti harus punya jam terbang tinggi.Â
Jam terbang tinggi yang saya maksudkan adalah orang harus suka bepergian, namun deadline yang tidak pernah kompromi.Â
Jiwa suka pergi dan turun ke lapangan(turla)Â
Jiwa suka pergi dan turla merupakan modal dasar yang mesti dimiliki oleh seorang wartawan media di era metaverse ini. Tujuan dari turla adalah untuk mencapai komitmen akurasi data dan informasi yang benar dan juga sajian informasi yang cepat dan tepat.Â
Oleh karena itu, pers saat ini tidak bisa pakai sistem dan jasa delegasi. Misalnya karena alasan jauh, maka sebagai wartawan dia bisa seenaknya saja menghubungi teman atau orang yang dia kenal di tempat kejadian perkara (TKP) untuk proses pengambilan data.Â
Proses delegasi sebenarnya bisa saja dilakukan kalau proses itu terjadi di dalam satu jaringan yang sama melalui tenaga wartawan yang berada di TKP. Hal terkait delegasi itu tidak bisa dipaksakan, tetapi selalu atas dasar kepercayaan dengan dasar kualifikasi yang dapat diandalkan (Zuverlässig).Â
Tidak heran pers yang terkenal aktual dan cepat itu punya wartawan yang banyak hampir di setiap daerah dan kabupaten. Penempatan itu bertujuan untuk memperoleh informasi aktual dari mana saja dengan akurasi data yang dapat dipercaya.Â
Akurasi kata dan gambar
Akurasi diksi dan gambar itu sangat penting. Sekalipun saya bukan seorang wartawan, namun setiap kali membaca tulisan berupa laporan berita dari wartawan terlihat sekali bahwa mereka mempertimbangkan soal akurasi kata dan gambar.
Akurasi dalam hal ini berkaitan kecermatan memilih kata dan gambar. Nah, seorang jurnalis tentu harus punya kemampuan dalam membuat pilihan kata yang tepat dan gambar yang sesuai dengan peristiwa atau gambar yang betul-betul mewakili laporannya.
Akurasi tingkat tinggi baik itu terkait pilihan kata, maupun gambar tentu berdampak pada kualitas dari media itu sendiri. Suatu media berkualitas karena mempertimbangkan dampak sosial dari pilihan kata dan gambar yang tidak tempat atau bahkan apabila ada manipulasi gambar.
Saya jadi ingat dengan kejadian koran online lokal yang ditulis oleh wartawan lokal tahun 2020. Orang-orang yang di dalam gambar itu saya kenal, sementara itu keterangan dibawah gambar sangat tidak tepat. Ya, bagaimana tidak? Seorang ibu yang punya suami dinyatakan sebagai seorang janda. Belum lagi fotonya lain, nama dibawah foto juga orang lain.
Mengapa terjadi ketidakcermatan itu, hal ini karena penulis berita tidak turun ke lapangan, tetapi dia menerima laporan dari orang lain yang punya kepentingan. Barangkali juga ada yang pikir bahwa akurasi gambar dan keterangan itu tidak penting. Nah, itu yang sangat disayangkan sekali.
Namun oleh karena ada yang mempertanyakan hal itu, maka koreksi itu disampaikan kembali ke pihak editor media itu dan diedit lagi sebagaimana yang terjadi di lapangan. Hal seperti itu tidak boleh dianggap sepele, karena keluarga yang merasa dipublikasikan dengan keterangan sebagai janda, menjadi tersinggung oleh karena ketidaktepatan informasi itu.
Tafsiran penulis harus merujuk pada data dan pernyataan langsung
Terkait tafsiran penulis memang tidak sering terjadi, namun bahwa selain dalam bentuk laporan penulis berita punya kesimpulan-kesimpulan tertentu. Nah, pada saat itulah kadang orang tidak berhati-hati.
Pers akhirnya menimbulkan kesan seakan-akan selalu punya unsur kepentingan. Umumnya orang biasa mengatakan "media ini berpihak pada ini dan itu"Â
Bagaimanapun objektif suatu pelaporan, bagi pihak yang menjadi korban selalu saja merasa tidak puas. Hal itu sudah menjadi kenyataan di mana-mana.
Oleh karena itu, penulis berita dalam hal ini wartawan secara langsung harus mempertimbangkan data-data rujukan, pernyataan-pernyataan yang seminimal mungkin tidak melenceng dari apa yang dikatakan secara langsung.
Kutipan langsung akan selalu menjadi lebih baik untuk menghindari kesalahan karena salah tafsir atas pernyataan-pernyataan penting lainnya dari orang yang diwawancarai.
Tantangan terkait poin antara tafsiran penulisan dan rujukan kepada pernyataan langsung adalah kebebasan pembuat berita. Seorang wartawan harus bebas dan mempertahankan unsur objektivitas dan profesionalitasnya.
Dalam hal ini, seorang wartawan tidak mungkin lebih dikendalikan oleh kecepatan mempublikasikan tanpa mempertimbangkan akurasi data, kata, gambar dan hal-hal yang terkait dengan tuntutan pelaporan. Hal-hal ini terlihat sepele sekali, tetapi pada kenyataannya sangat penting.
Kejelasan informasi, ketepatan gambar dan diksi adalah bagian dari representasi dari kenyataan yang bisa dipublikasi untuk dinikmati pembaca.
Kalau merenungkan tentang akurasi itu rasanya karya tulisan entah apapun bentuknya dan dari siapapun orangnya, ternyata aspek kesesuaian antara fungsi kepercayaan (credence function) dan nilai-nilai kebenaran (the truth values) dalam bahasa James Joyce (1998) sebenarnya sudah menjadi standar umum  yang penting untuk dipertimbangkan.
Demikian beberapa ulasan terkait tema akurasi dalam konteks pers di dunia digital saat ini khususnya dalam konteks Indonesia.
Akurasi merujuk pada kesesuaian antara data, kata, gambar dan rujukan referensi. Kejelasan dalam hubungan terkait diksi, fakta dan data lapangan, gambar dan tafsiran akan diterima kalau bersentuhan dengan nilai-nilai kebenaran yang dianggap masuk akal oleh kebanyakan orang atau kebenaran universal.
Tingkat kepercayaan masyarakat pada pers yang hidup dan berkembang di tanah air dan bangsa kita saat ini selalu diukur dengan akurasi yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi kebenaran informasi dengan standar tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran.
Salam berbagi, ino, 10.02.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H