Tiada duanya ada di depan sana. Dua-duanya ada setiap hari di sini di rumah ini. Aku ingin bercakap-cakap dalam tatapan mereka yang tiada duanya.Â
Terbatas dan tak boleh sesukanya orang bicara. Ada sandi dan tutur yang diterima dua-duanya. Itu baru tiada duanya.Â
Tiada duanya dalam tatapan tanpa kata. Tiada duanya saat menulis satu yang dia paling suka dan bermakna.Â
Dia mau punya semuanya dan segalanya. Baginya si dia itu tiada duanya. Tiada duanya yang bisa bersaing dan bersanding bersamanya sang kualitas dan bukan banyaknya.Â
Tiada duanya saat ada yang tidak mencolok tapi berkualitas dihitung sebagai tiada duanya. Tak sebanding dengan si dia yang bagiku tiada duanya.Â
Ia menulis dan menulis tiada duanya. Ia bercerita dan bercerita tiada duanya. Hari-harinya adalah menulis sampai terasa menulis itu tiada duanya.
Ia memberi rating juga tiada duanya. Ia memberi komentar lagi-lagi tiada duanya.Â
Ide-idenya datang bersama waktu dan hari hidupnya. Idenya tiada duanya.Â
Berbagi dan bersyukur itu tiada duanya.
Menulis dengan tinta cinta itu tiada duanya.
Februari itu tiada duanya bicara tentang cinta.
Cinta di penghujung musim dingin Eropa yang terus menitipkan tulisan-tulisan dengan getaran hati bagi sesama.
Getaran hati yang tiada duanya, itu untuk dia yang tiada duanya.
Salam berbagi, ino, 8.02.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H