Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ada 4 Aspek yang Perlu Dipertimbangkan Sebelum Menjadi Relawan Kemanusiaan

2 Februari 2022   04:00 Diperbarui: 3 Februari 2022   17:40 1725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karena itu, selain ketulusan hati, sangat penting juga bahwa siapapun yang menjadi relawan hendaknya memperhitungkan aspek pengendalian dirinya. Gagasan pengendalian diri yang saya maksudkan dalam tulisan ini bukan dari latar konsep agama tertentu, tetapi konsep pengendalian diri dari latar belakang keseharian hidup.

Ya, dalam bahasa yang sederhana bisa dikatakan bahwa seseorang yang sudah punya pilihan sebagai relawan kemanusiaan, dia mesti punya Abstinence atau pantang. Ya, pantang dikendalikan oleh nafsu dan keinginan oleh karena tawaran-tawaran lain dalam perjalanan tugasnya. 

Saya jadi ingat terkait suatu kisah nyata di tahun 2010 di Maumere, Flores. Seorang pemuda yang belajar sebagai tukang bangun rumah dari modal Sekolah Teknik Menengah (STM) pernah berniat secara diam-diam sebagai relawan mengerjakan rumah seorang bidan desa. 

Ia mengerjakan satu rumah itu dengan tanpa meminta banyak hal jika saja ada kekurangan ini dan itu. Apa yang dia lakukan benar-benar sebagai relawan sejati. 

Menariknya bahwa ketika rumah selesai dibangun, si bidan desa (bides) itu memberikannya sejumlah uang kepada tukang bangunan itu. Tukang bangunan itu sama sekali tidak mau menerima uang itu. Kata terakhirnya adalah, ia menyerahkan kunci itu kepada sang bides cuma dengan sepotong kata, "Ini kunci pintu rumah kita."

Sang bides menerima itu dan akhirnya sambil tersipu-sipu malu, namun dengan tulus hati mau. Mereka akhirnya menikah dan hidup sebagai satu keluarga.

Cerita ini adalah cerita nyata dengan pesan tentang niat dan ketulusan seorang relawan yang tidak boleh "ada U dibalik B" atau ada udang dibalik batu. Oleh karena itu aspek Abstinence itu sangat penting bagi orang yang memang sudah punya pilihan dan niat menjadi seorang relawan.

3. Seni dari seorang relawan

Menjadi seorang relawan tentu punya hubungannya dengan identitas. Identitas sebagai seorang relawan tentu berbeda dengan identitas seorang tenaga sosial. Tenaga sosial pasti digaji, sedangkan relawan selalu murni tanpa mengharapkan untuk mendapatkan imbalan atau seperti upah.

Meskipun demikian, pilihan menjadi seorang relawan harus mempertimbangkan unsur seninya, yang menghubungkan antara pilihan dan identitas. Identitas sebagai seorang relawan akan bersentuhan dengan 5 hal ini:

  1. Material, waktu hidup dan kepemilikan: Artinya bahwa seorang yang mau menjadi relawan harus orang yang cukup waktunya dan kalau tidak cukup secara materi dan kepemilikan barang-barang kebutuhan hidup. Apalagi di zaman metaverse ini, relawan perlu punya kemampuan dan sarana teknologi komunikasi sendiri dan tidak mengharapkan seakan-akan menjadi relawan untuk memperoleh sarana komunikasi seperti HP, Laptop dan lain sebagainya. Oleh karena itu, orang perlu pastikan bebas dari pengaruh material, waktu, dan kepemilikan.
  2. Tubuh, kesehatan dan seksualitas: Hal yang tidak boleh dilupakan oleh seorang relawan adalah harus orang yang sehat secara fisik, psikis dan seksual. Point ini juga sangat penting, tidak jarang pula bahwa menjadi relawan tetapi dengan motif-motif tersembunyi untuk eksploitasi.
  3. Hubungan dengan orang lain (Beziehung zu anderen): Demikian juga siapapun yang punya pilihan sebagai relawan kemanusiaan perlu memiliki kemampuan membangun hubungan dan komunikasi dengan orang lain. Dengan cara itu, sebenarnya seorang relawan tidak akan menyulitkan orang yang dibantunya. 
  4. Tugas hidup (Lebens Aufgabe): Sebagian orang tampak menganggap sepele dengan pilihan sebagai relawan, saya kira tidak boleh seperti itu. Jika orang punya pilihan sebagai relawan, maka ia perlu memperhitungkan itu sebagai Lebens Ausgabe atau tugas hidup. Dari kesadaran bahwa seorang relawan punya tugas hidup, otomatis di sana pasti ada rasa tanggung jawab.
  5. Opini pribadi (persönliche Anschauung): Tentu sebagai seorang relawan ia perlu memiliki opini pribadi. Ya, ia mesti punya basis gagasan sendiri yang memotivasinya untuk ambil bagian sebagai seorang relawan. Opini pribadi yang saya maksudkan di sini berkaitan dengan refleksi diri yang bisa mendatangkan bias bagi orang lain.

Secara pribadi saya yakin sekali bahwa pilihan sebagai relawan tetap punya nilai positif untuk diri sendiri. Hal apa saja yang bisa menempati sisi positif sebagai seorang relawan:

  1. Seorang relawan pasti punya pengalaman baru melalui dinamika yang terjadi di lapangan.
  2. Seorang relawan punya kemungkinan yang lebih besar dalam koneksi global.
  3. Seorang relawan punya kesempatan belajar yang lebih besar melalui hal-hal unik yang dijumpainya di lapangan.
  4. Seorang relawan punya kepuasan batin.
  5. Seorang relawan kemanusiaan punya daya hidup (vitalität) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun