Beberapa mahasiswa yang juga saya kenal memilih berhenti mengikuti kuliah karena merasa tidak nyaman dengan PTM saat kasus omicron meningkat drastis. Siapa yang bisa melarangnya. Ya, keputusan bebas masing-masing sangat penting untuk memberikan rasa aman pada diri sendiri.
Ada beberapa gejala riil trauma yang bisa dilihat dari mahasiswa terkait PTM saat ini: Kebingungan, mengeluh, kegelisahan, mati rasa, mudah marah, susah konsentrasi, takut, ragu-ragu dalam keputusan.
Tentu masih banyak gejala lain yang mengindikasi sebuah trauma. Gejala-gejala yang saya sebutkan di atas itu adalah gejala-gejala yang saya amati dari kenyataan tiga bulan PTM itu.Â
Saya sendiri merasakan juga gejala-gejala seperti itu setiap kali selama kurang lebih 4 jam pulang pergi ke kampus. Sekurang-kurangnya gejala fisik sangat menonjol dirasakan: mudah mengalami kelelahan, gangguan pencernaan, jantung kadang berdebar, sakit kepala, cepat merasa lapar.Â
Tiga kali divaksin, (V. pertama, kedua dan booster) saya mengalami hal yang sama, yakni ada semacam gejala post traumatic stress disorder (PTSD). Reaksi tubuh atau reaksi fisik yang muncul setelah mengalami trauma dengan vaksin pertama, kedua dan booster adalah tiga hari mengalami sakit pada lengan, kelaparan hingga pusing dan gemetaran pada setiap jam 11.30 siang.
Gejala-gejala PTSD ini akhirnya berakhir bisa jadi melalui kebiasaan-kebiasaan kecil yang saya lakukan. Nah, langkah apa saja yang saya lakukan untuk mengatasi gejala trauma psikis dan fisik seperti itu:
- Selama masa PTM ini sekurang-kurang dalam seminggu melakukan 3 kali senam. Total waktu 3 x 30 menit.
- Berjalan kaki setiap hari sekurang-kurangnya 6000 langkah.
- Minum air secukupnya meski tidak pernah merasa kehausan.
- Meditasi dengan menggunakan instrumen suara alam, siulan burung-burung dan suara seruling 30 menit sekurang-kurangnya setiap hari.
- Menulis setiap hari untuk mengungkapkan perasaan batin.
- Berbagi cerita dengan teman-teman dan keluarga setiap minggu.
- Berdoa pasrah dan menyerahkan semua hari hidup pada Tuhan setiap hari.
Langkah-langkah ini tampak sederhana sekali, namun saya telah merasakan hal positif dari pilihan PTM di tengah varian omicron yang sangat tinggi ini dengan risiko berhadapan dengan potensi trauma.Â
Risiko memang selalu ada saat perjalanan menggunakan kereta umum yang mau tidak mau berjumpa dengan begitu banyak orang. Namun, jika secara fisik sehat dan energik, maka tentu lebih meyakinkan lolos dari sengatan halus omicron.
Cara pandang yang menolong diri sendiri
PTM di tengah pandemi dengan varian omicron yang semakin ganas merasuk jiwa penduduk Jerman, bisa-bisa menjadikan penduduk Jerman harus hidup dalam suatu perspektif yang tidak hanya bisa fleksibel terhadap perubahan-perubahan, tetapi juga melihat secara global dan menilai secara kritis.
Cukup banyak orang yang saya jumpai dalam dialog kecil seperti menghakimi diri sendiri. Berpandangan picik  tentang diri sendiri bisa berpotensi besar meluaskan efek trauma.
Sebagian mahasiswa merasa bahwa kegagalan di masa pandemi ini adalah kegagalannya yang terburuk. Nah, konsep seperti itu bagi saya terlalu berlebihan yang berdampak pada menghakimi diri sendiri.