"Tidak ada hal yang menarik yang dijumpai setiap hari tanpa tulisan dan refleksi."
Sehari tanpa catatan rasanya sama seperti sehari tanpa meminum segelas air. Mengapa jadi seperti ini? Saya jadi ingat kata-kata seorang guru waktu di Flores, "Hidup tanpa refleksi itu sebetulnya hidup yang sudah mati."Â
Saya tidak tahu atas dasar pengalaman apa sehingga ia sampai pada kesimpulan seperti itu. Satu hal yang saya rasakan ketika dua tahun hidup di bawah pengaruhnya adalah mengalami hidup penuh arti setiap hari.Â
Setiap hari saya menemukan pesan kehidupan yang mungkin tidak terlalu berarti bagi orang lain, namun bagiku adalah suatu letupan indah yang bernas dengan rasa bijak pada setiap jejaknya.Â
Belajar menemukan pesan-pesan bijak tentu pertama-tama untuk diri saya sendiri dan selanjutnya terbuka kepada siapa saja secara bebas, lama-kelamaan menjadi suatu kesukaan. Saya suka menulis dan berbagi cerita-cerita kecil dengan sisipan pesan untuk kehidupan.
Pengantar ini saya tulis setelah dua kisah itu telah selesai ditulis di dalam kereta. Hari ini dalam perjalanan dari Frankfurt ke Mainz saya punya dua kisah.Â
Suntikan Booster, ide pengisi kesepian perjalanan
Hari ini saya menerima suntikan Booster pada 19 Dezember 2021 di KJRI Frankfurt. Suatu pengalaman pertama yang selama ini cuma mendengar dari cerita teman-teman. Reaksi aneh beberapa menit awal bagi saya menarik untuk diceritakan karena ternyata imun tubuh setiap orang berbeda-beda.Â
Merasa pegal pada lengan dan bagian belakang rupanya merupakan reaksi yang biasa sama seperti pada vaksin pertama dan kedua. Entahlah besok rasanya seperti apa. Sejam sudah berlalu, saya hanya merasakan ada rasa lapar.Â
Rasa yang normal tentunya kalau dibandingkan dengan pengalaman seorang teman asal Korea. Ia bahkan seharian mengalami demam. Padahal dari segi fisik teman itu sangat fit.Â
Bayangan saja, orang Jerman saja sudah pakai Jaket karena suhu 4 derajat, teman Korea itu santai saja hanya mengenakan baju kaos oblong. Nah, fisik yang kuat melawan suhu dingin, ternyata tidak cukup kuat menerima vaksin  Booster. Itu suatu kenyataan.
Karena itu, bagi orang yang belum merasakan Booster, sebetulnya tidak perlu takut dan cemas. Reaksi fisik kita berbeda-beda. Perlu diingat bahwa reaksi aneh pada tubuh itu cuma berlangsung sampai batas maksimal 3 hari.Â
Cerita dari beberapa Oma yang berusia 85 mengatakan seperti itu. Ia sungguh merasakan tidak enak badan sampai tiga hari. Setelahnya keadaan itu pulih dengan sendirinya. Oleh karena itu, apapun reaksinya nanti, saya sudah siap menghadapinya tanpa perlu percaya rumor sana sini.Â
Perjalanan sepi setelah menerima Booster tidak terasa karena kesibukan menulis. Ya, idenya sederhana saja menulis tentang peristiwa hari ini. Saya menulis kisah-kisah kecil selama di dalam kereta saat perjalanan dari Frankfurt ke Mainz.
Mengatasi kesepian dalam perjalanan sendiri itu sangat penting. Hal ini karena jika tanpa ada kemampuan untuk mengatasi kesepian, maka dampak lainnya bisa membias seperti marah-marah, kesal dengan orang lain yang ribut di dalam kereta, dan lain sebagainya.
Bisa juga kesal dengan pemeriksaan yang berulang-ulang, lalu bisa saja merasakan perjalanan itu begitu lama dan jauh. Nah, mengisi kesendirian dan kesepian dalam perjalanan dengan menulis memang merupakan cara efektif.
Saya merasakan bahwa aktivitas menulis dalam perjalanan itu bagaikan ditemani seorang teman diskusi. Dialog dan komunikasi dengan diri sendiri terjadi saat menulis. Tanpa terasa tujuan sudah di depan mata.
Beberapa kali saya pernah mengalami salah tujuan stasiun, gara-gara terlalu asik menulis, kemudian setelah melihat monitor ternyata keretaku sudah melewati terminal tujuan.
Jadi, menulis itu bisa membuat orang terlena dalam kesendirian bersama ide-ide.
Perjumpaan dengan seorang yang tidak punya tiket dan etiket dalam perjalananÂ
Belum terlalu jauh perjalanan dari Frankfurt, datanglah seorang pria yang masih muda. Ia rupanya bukan orang asli. Dengan terburu-buru, ia bertanya kepada beberapa orang, "kamu punya tiket?"
Ia berbicara begitu cepat dan sangat tidak jelas. Saya akhirnya bertanya kepadanya beberapa kali sampai saya mengerti apa maksudnya.
Maksudnya bahwa apakah ada orang-orang yang punya tiket jalan untuk beberapa orang, supaya jika ada pemeriksaan ia tidak kena denda. Denda untuk orang yang melakukan perjalanan tanpa tiket adalah sebesar 60 euro.
Nah, rupanya pria itu tidak punya tiket perjalanan, sehingga ia mencari orang yang punya tiket dengan jaminan cukup untuk dua orang atau beberapa orang.
Saya memang punya tiket, cuma sayangnya tiket saya cuma untuk satu orang. Demikian juga beberapa orang di sekitar saya cuma punya tiket untuk diri sendiri.
Ada dua hal menarik dari pengalaman di atas:
Pertama, soal kewajiban bagi orang yang melakukan perjalanan. Siapa saja yang menggunakan fasilitas umum harus membayar atau membeli tiket entah untuk beberapa bulan sekali bayar, atau untuk satu tahun, bahkan bisa juga setiap hari, cuma pada saat dibutuhkan saja.
Pada prinsipnya di Jerman, orang tidak boleh melakukan perjalanan dengan menggunakan fasilitas umum entah jauh atau dekat tanpa tiket. Pelaku yang melakukan perjalanan gelap selalu disebut dengan istilah (Schwarz fahrt) atau semacam penumpang gelap. Umumnya ketika pemeriksaan tiket, penumpang gelap harus membayar sesuai ketentuan yang berlaku dan sudah tertulis di kereta.
Kedua, etika saat bertanya dan meminta sesuatu. Di Jerman bertanya dan meminta sesuatu itu punya etikanya sendiri. Ada satu kata yang oleh teman-teman yang serumah sebagai kata kunci, yaitu kata "bitte." Â Contoh: Kannst du mir bitte helfen? Atau apakah kamu bisa menolongku? Ini kalimat sopan dan biasanya efektif mendapatkan pertolongan.
Kalimat tanya dan permintaan harus diselip dengan kata "bitte." Dalam konteks Indonesia bisa saja sama dengan "apa boleh" atau "bisakah."
Kebanyakan orang-orang yang belajar bahasa Jerman dan tinggal di Jerman tidak terlalu memperhatikan itu. Bahkan dengan santai gaya akrab orang kita, hanya menunjuk barangnya, kita langsung mengerti dan memberikannya.
Pengalaman dalam kereta hari ini sama seperti itu, pertanyaannya sama sekali tidak mengungkapkan kesopanan dan keramahtamahan. Oleh hal itu, dia tidak diperhatikan; kebanyakan orang Jerman tidak peduli dan menganggap angin lalu saja.
Cerita itu betul menjadi teman perjalanan yang mengubah kesepian menjadi kesibukan hingga sampai pada pemahaman tentang betapa pentingnya etika bertanya dan meminta sesuatu entah di mana saja.
Saya akhirnya ingat moto kecil teman waktu SMA dulu. Motonya seperti ini, "Anda sopan, saya segan." Moto itu ditulis pada pintu kamar kosnya.Â
Memang sih terkesan lucu, tapi fakta membuktikan betapa pentingnya kesopanan berhadapan dengan orang lain dalam perjalanan. Tanpa itu bukan saja orang tidak segan, tetapi rezeki juga mungkin akan berkurang.
Jadi, kalau orang memang membutuhkan sesuatu, maka perlu meminta dengan sopan sesuai dengan etiket setempat. Kesopanan itu sebenarnya bukan saja warisan budaya kita, tetapi juga prinsip kunci dalam pergaulan dan perjumpaan dengan siapa saja.
Membahas tema-teman konkret sesuai perjumpaan yang aktual rupanya telah menjadi semacam obat mujarab pengusir kesepian dalam perjalanan. Refleksi ini sekurang-kurangnya berangkat dari pengalaman pribadi saya hari ini.
Itulah dua kisah yang saya tulis dalam perjalanan dari Frankfurt ke Mainz. Kisah perjalanan antara menyadari kesepian perjalanan malam sendiri tanpa teman di satu sisi dan riwayat perjuangan pribadi menemukan cara mengusir kesepian dengan cara-cara kreatif dan bermanfaat pada sisi yang lainnya.
Salam berbagi, ino, 20.12.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H