Keterampilan alami tanpa bekal pendidikan khusus
Tanpa punya bekal pendidikan keterampilan khusus, om Simon hanya melihat apa yang dilakukan orang lain di kampung, selanjutnya ia sendiri sudah bisa mengerjakan sendiri dengan kualitas yang terpuji.
Hal unik lainnya bahwa hobinya mengerjakan nyiru dan irus untuk melayani pesan siapa saja. Kepuasannya adalah bisa mengerjakan hingga dipakai oleh banyak orang.
Berapa yang membeli hasil karyanya, rasanya terlalu sedikit. Ya, jasanya cuma dibayar dengan mengundang Simon untuk makan siang atau makan malam.
Simon tidak menuntut, entah karena dia tidak punya suara. Bisa juga sih, namun benar-benar tanpa reaksi bahwa orang harus membeli hasil pekerjaannya.
Padahal untuk membuat sebuah nyiru itu butuh waktu berhari-hari lho. Ia membutuhkan waktu untuk memotong bambu muda, menguliti bambu itu dan menganyam.
Belum lagi untuk bagian bis dari nyiru itu, dibutuhkan satu pelepah dari pohon enau, butuh juga jenis tali khusus untuk menjahit bagian-bagian pinggirnya.
Pokoknya untuk sebuah nyiru dibutuhkan waktu 2-3 hari. Entahlah mengapa om Simon bisa melakukannya dengan bagus dan dengan cepat, bahkan tanpa biaya untuk orang-orang di sana.
Mestinya orang-orang harus mengerti bagaimana dia bisa meminta orang untuk membeli, karena ia tidak punya suara. Dalam hal itu, saya merasakan bahwa rasa hormat dan penghargaan karya anak sendiri untuk konteks di kampung-kampung itu sangat rendah.
Harga dari kreasi anak sendiri adalah "harga kekeluargaan." Jika orang menyebut "harga kekeluargaan" itu berarti gratis alias tidak perlu dibayar. Tapi, gimana ya rasa hati ini?
Harga kekeluargaan dan berakhirnya usaha kecil