Mengapa ada tema tentang kehilangan hewan kesayangan? Saat membaca tema pada topik pilihan Kompasiana itu, pikiran dan hati saya terasa begitu cepat kembali ke belakang, ya kembali ke masa lalu.
Tahun 1985 saya memperoleh hadiah yang begitu indah dan tidak bisa dilupakan dari seorang tetangga yang baik. Kami adalah teman sebaya. Kebetulan sekali ayahnya seorang yang pandai memanjat pohon untuk membuat sarang burung beo.
Hobinya itu ternyata mendatangkan uang. Ia menyiapkan sangkar untuk burung beo lalu setiap musim burung beo berdatangan untuk bertelur dan hingga menetas.
Saat anak-anak beo itu sudah memiliki sayap, maka ia akan memindahkan beo itu ke rumahnya. Pekerjaan memelihara burung beo baginya bukanlah pekerjaan yang sulit.Â
Suatu ketika, ia mendengar suara kecil burung Nuri di atas pohon Jita, entahlah apa nama sebenarnya. Pohon Jita dikenal sebagai pohon yang punya getah yang pahit.
Pada bagian cabang setinggi 7 meter dari permukaan tanah, ternyata ada bagian yang berlubang. Pada lubang kayu Jita itulah rupanya induk Nuri bersarang.
Ia memanjat pohon itu untuk melihat dan sekaligus dengan niat jika menemukan anak Nuri di atas rongga pohon itu, maka ia akan mengambilnya. Apa yang dipikirkan sebelumnya ternyata begitulah yang terjadi setelahnya.
Ia menemukan dua ekor Nuri kecil yang belum bisa terbang. Dua bayi nuri itu diambilnya dan dibawanya ke rumah. Tanpa ragu-ragu ia menyediakan makanan untuk kedua bayi nuri itu.
Makanannya sederhana yaitu jagung muda yang masih sangat lembut itu disuapin ke dalam mulut Nuri kecil itu. Sesekali diberinya juga air kelapa muda. Cara sederhana itu ternyata membuahkan hasil.Â
Nuri hijau itu semakin besar bahkan sudah bisa punya sayap yang semakin kuat. Pada saat itulah, ia memberikan Nuri itu untuk saya satu ekor dan satunya untuk anaknya sendiri, teman sebaya saya.
Waktu itu saya begitu senang dan begitu menyayangi Nuri hijau itu. Saya masih ingat terkadang sedang bermain bersama teman-teman sebaya, saya berlari kembali ke rumah sebentar untuk melihat apakah Nuri dalam keadaan baik-baik atau tidak.
Nuri itu sudah dibuatkan kandang sederhana dari bahan bulu hutan yang dianyam. Ya, lumayan bagus juga sih. Sesekali saya mengikat kakinya dengan jenis nilon kecil dan mengeluarkan dari kandangnya.
Saat yang indah adalah ketika saya memandikannya dengan meneteskan beberapa tetes air. Terlihat ia bersiul sambil mengangguk-angguk kepalanya.Â
Saya hanya bisa mengerti bahwa ia senang, bahkan sering ia berjalan dengan menggantung kepalanya ke bawah pada sepotong dahan yang saya siapkan. Bagi saya, hidup bersama seekor Nuri hijau itu adalah pengalaman yang sangat menarik dan menyenangkan.Â
Rasa sayang dari hari ke hari semakin menjadi-jadi. Pernah suatu ketika, saudara saya menyembunyikan Nuri itu dan saya mencari sambil bertanya-tanya dengan nada kesal luar biasa.
Demikian juga setelah menemukannya kembali terasa begitu senang hati saya. Malam-malam bahkan saya terjaga dan melihat, apakah Nuri hijau itu masih dalam keadaan aman atau nggak.
Kecemasan dan ketakutan mulai saya kenal sejak saat itu. Lebih-lebih ketika saya bermain di halaman rumah bersama sang Nuri kecil itu. Ia beberapa kali terbang dan bertengger di pohon kopi, namun ia terbang dan kembali ke kandangnya.
Duh...rasanya benar-benar ketakutan saat pertama Nuri hijau itu terbang menjauh dari saya. Stres luar biasa. Namun, betapa bahagianya hati saya, ketika ia kembali dan saya masih bisa menggenggamnya sambil mengelus kepalanya.
Suatu ketika saya membawanya ke kebun. Waktu musim jagung muda hampir usai. Terdengar siulan seperti berpantun di arah utara kebun kami. Di atas pohon kenari bertengger beberapa Nuri lainnya yang juga dengan lantang bersiul.
Oh my God, tiba-tiba Nuri kecil di tanganku itu juga ikut bersiul dengan suara yang melengking tinggi. Saya coba mengeluarkan dari kadang dan membuka tali pada kakinya. Saya melepaskan Nuri kesayanganku untuk terbang ke arah Nuri lainnya.
Pikir saya waktu itu, saya biarkan Nuri ku terbang dan menjemput teman-teman lainnya dan datang lagi semakin banyak masuk ke kandangnya.
Ketika mendengar siulan beberapa Nuri lainnya dari atas pohon kenari yang tinggi itu, Nuri dari genggaman tanganku terbang begitu jauh sampai saya sendiri tidak bisa lagi melihat di mana dia berada.
Dari suaranya saya tahu bahwa itu Nuri kesayanganku. Tiba-tiba ia terbang kembali dan tampak seperti disambut Nuri-Nuri lainya. Ia pun terbang mengikuti nuri lainnya dan sempat bertengger di atas pohon kenari.
Jantungku benar-benar berdebar saat itu. Entahkah dia bisa kembali sambil membawa teman-temannya untuk menemuiku? Saya percaya bahwa dia akan kembali menjumpaiku.
Setengah jam cuma terdengar suara dari ketinggian pohon kenari yang tidak terjangkau. Saya akhirnya meniru-niru suara Nuri itu dengan harapan kecil pada waktu itu biar dia segera kembali.
Siulanku seakan membawa pesan, "segeralah kembali, karena aku tidak sanggup menunggu terlalu lama. Aku menunggumu dengan begitu dihimpit resah dan gelisah. Kembalilah sayang."Â
Saya mencoba berdiri di ketinggian di atas batu sambil memegang sebatang jagung muda dan meniru sekali lagi suara Nuri kesayanganku itu. Wow apa yang terjadi, terlihat terbang seekor Nuri terlepas dari rombongan 5 ekor lainnya semakin mendekatiku. Saya pun segera merentangkan tangan dan ia pun bertengger pada tanganku.
Oh my God, aku kembali bisa mengelusnya dengan penuh rindu dan sayang. Sorak cerita dan riang hati saya tidak terbendung saat itu. Nuri itu kembali saya masukan ke dalam kandangnya. Selanjutnya, kandangnya saya bungkus dengan bajuku yang berwarna hijau.Â
Pada saat sore menjelang malam, Nuri saya tinggalkan di pondok di kebun sendirian. Malam itu suasana rumah kami berlimpah dengan cerita sukacita tentang pergi dan datangnya nuri. Nuri yang cerdas, Nuri yang bisa mengerti rasa hati dan kasih sayangku waktu itu.
Pagi-pagi keesok harinya, saya begitu gelisah sambil terus memaksa ibuku agar segera pergi ke kebun. Saya benar-benar sudah tidak sabar dan tidak sanggup menahan rindu berjumpa Nuri kesayanganku.Â
Kami pun pergi ke kebun yang jaraknya cuma satu kilometer dari rumah. Dari jarak 300 meter saya coba menyapanya dengan siulan-siulan khas.Â
Anehnya tidak terdengar sahutan sebagaimana biasanya. Bahkan tidak terdengar keributan di sana. Pondok itu terlihat sepi, tanpa ada suara apa-apa.
Duh, ada apa ya? Ini benar-benar tidak biasa. Ini benar-benar aneh. Ketika saya memasuki pondok kecil kami, saya tidak melihat apa-apa lagi. Nuri kesayangan sudah tiada lagi.
Saya tertunduk kecewa, sambil menghela nafas dalam-dalam. Hari-hari itu adalah hari yang menyedihkan bagi saya. Saya merasakan kehilangan Nuri itu bagaikan kehilangan seseorang yang paling berarti dalam hidup saya.Â
Saya hanya bisa bertanya pada ibu kenapa begitu. Ibuku hanya bisa mengatakan bahwa kemungkin Nuri itu dicuri orang. Bara kemarahan saya luar biasa saat itu. Saking marahnya, saya pernah mengatakan kepada ibu saya, "siapa saja yang datang dan singgah di pondok kita, mama jangan kasih makan ya."Â
Itulah kemarahan masa kecil yang masih bisa diingat. Bagaimana selanjutnya?Â
Rasa kehilangan itu tidak bisa diobati satu atau dua hari. Ya, saya membutuhkan waktu dan berkali-kali saya menceritakan kekecewaan saya pada ibuku.
Dalam kekecewaan itu, saya hanya bisa merasakan kedekatan dengan Nuri kesayangan saat berada di kebun. Ya, di sana saya masih bisa mendengar siulan Nuri lainnya di atas pohon kenari atau yang sedang makan jagung muda di kebun.
Sulit bagi saya waktu itu untuk mengusir Nuri-Nuri itu agar menjauh dan tidak makan jagung muda di kebun, karena saya selalu merasa mungkin di antara rombongan Nuri itu ada satu yang pernah menjadi sahabat kesayanganku.
Saya bahkan menikmati dan terhibur ketika Nuri-Nuri itu bisa makan jagung di kebun. Musim jagung muda berakhir, Nuri-Nuri pun pergi, perlahan-lahan rasa kehilangan pada Nuri pun bisa diterima.Â
Ada tiga pokok pikiran yang menghibur dan menyanggupkan saya menerima kenyataan kehilangan dengan ikhlas:
1. Pencuri membawanya dengan kandangnya; bagi saya itu jauh lebih baik daripada saya harus melihat bahwa Nuri itu mati di pondok kami. Saya percaya dan ikhlas bahwa Nuri kesayanganku dibiarkan hidup dan disayangi orang lain.
2. Bagi saya yang penting Nuri itu masih dibiarkan hidup. Rupanya Nuri tidak hanya menjadi milikku. Sukacita bersama Nuri itu mungkin juga dibutuhkan orang lain. Saya ikhlas untuk kepergiannya dan juga untuk dikasihi yang lainnya.
3. Dalam hangatnya kasih sayang kita di tahun 1985, aku telah menulis dan meniru siulan cinta saat engkau terbang menjauh dariku, pergi dari jangkauan mata, bahkan terbang untuk kembali dan bertengger pada genggamanku. Apakah engkau masih hidup? Doaku, semoga populasi kalian dijaga dengan cinta dan kasih sayang. Semoga adamu diterima dan siulanmu memikat hati di tengah kebisingan dunia saat ini dan di negeriku Indonesia.
Salam berbagi, ino, 13.11.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H