Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Dilema Upah Pekerja Informal dan Tantangan Pendidikan Formal

2 November 2021   04:58 Diperbarui: 4 November 2021   08:11 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimanapun besarnya bangsa ini dan kompleksnya persoalan-persoalan di dalamnya, tidak boleh dilupakan bahwa pendidikan formal memiliki peran yang sangat penting untuk membawa bangsa dan negara ini kepada kancah perubahan. Pendidikan formal itu berkaitan langsung dengan kualitas kerja dan kualitas manusia yang bahkan secara langsung berperan di lapangan sebagai agen perubahan

Bangsa ini tidak akan berubah kalau saja sebagian orang tetap saja menerima kenyataan pekerja informal dengan terus menghitung keuntungannya, yang tentu sudah pasti semata-mata karena belas kasihan orang. Bandingkan saja, negara-negara di Eropa, saya hampir tidak pernah melihat ada tukang parkir di sana.

Poin yang penting di sini bukan soal belas kasihan dan bisa memberi dan prihatin dengan orang-orang yang tidak punya pekerjaan tetap, tetapi lebih dari itu untuk menghindari konsep yang salah kaprah, seakan-akan menjadi tukang parkir itu lebih beruntung daripada menjadi seorang guru honor dan perawat di desa.

Perhatikan sebagian besar pekerja informal itu hanya mengharapkan upah dari belas kasihan orang, karena mereka tidak punya lapangan pekerjaan tetap.

Meskipun demikian, belum tentu juga bahwa semua mereka menjadi tukan parkir karena tidak punya pekerjaan tetapi, bisa saja ada yang menolak punya pekerjaan tetap karena melihat bekerja sebagai tukang parkir itu lebih gampang dan juga rezeki mereka tidak pernah kenal tanggal tua.

Hal yang perlu dihindari adalah gagasan yang keliru dari generasi muda bangsa ini khususnya di kota-kota besar. Apa gagasan yang keliru? Tentu jika tidak mau menikmati pendidikan lagi karena melihat bekerja sebagai tukang parkir itu ternyata tanpa membutuhkan ijazah.

Celakanya bahwa jika sebagian orang berpikir seperti itu, maka angka pengangguran menjadi semakin besar. Karena itu, saya lebih tertarik menyoroti hal ini pada bagaimana kebijakan pemerintah tidak hanya untuk menghindari semakin banyaknya tukang parkir, tetapi juga perhatian yang lebih konkret kepada tenaga guru honor dan perawat di desa-desa.

Oleh karena itu, ada lima pokok pikiran yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah:

1. Pemerintah perlu memikirkan adanya kebijakan untuk mempekerjakan secara formal tukang parkir dengan standar gaji yang sesuai jenjang pendidikan mereka, tentu jika memang tukang parkir dilihat harus tetap ada.

2. Pemerintah provinsi, maupun daerah perlu memikirkan adanya standar gaji untuk tenaga perawat dan guru honor di desa-desa.

3. Pemerintah perlu menanamkan rasa hormat atas martabat orang-orang yang berpendidikan dengan memberikan jasa kerja yang pantas sekalipun mereka belum dikategorikan pekerja formal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun