Hidup dengan hati yang mekar karena kepekaan, akan melahirkan peduli tidak hanya pada diri sendiri, tetapi pada lingkungan dan makhluk hidup lainnya.Â
Pagi ini pada layar komputer saya terlihat angka 8 C. Angka delapan derajat celcius itu berarti sudah lumayan dingin untuk ukuran orang Indonesia.Â
Sedingin-dinginnya suhu udara itu, saya tetap berusaha meninggalkan kamar dan pergi ke ara pertokoan. Dalam perjalanan itu pertama-tama terlihat daun-daun yang berubah warna, dengan dominasi warna kuning.Â
Tidak terhitung berapa tumpukan daun di jalan ke arah pertokoan waktu itu. Pada suatu lorong kecil terlihat bunga Winterjasmin yang juga daunnya menguning di musim gugur.
Dekat Winterjasmin itu, terlihat merpati berebutan sepotong roti yang jatuh di jalan itu. Mula-mula saya berjalan lewat, namun beberapa meter setelahnya suara hati saya seperti memberontak, "Ambilah beberapa foto tentang apa yang baru saja kamu lihat itu. Itu bisa menjadi inspirasi untuk tulisanmu hari ini."Â
Tanpa banyak protes, saya berhenti dan berjalan kembali ke belakang beberapa meter, sambil mengeluarkan HP dari saku jacket. Saya mengambil beberapa gambar tentang merpati yang sedang berebutan sepotong roti dekat bunga Winterjasmin itu.
Saat itu tepat pukul 8. 27 pagi. Setelah mengambil beberapa gambar saya melihat di seberang jalan ada seorang pria sedang melipat selimutnya. Pria itu tidur persis di belakang tembok toko Saturn.Â
Sementara itu dari arah depan, saya juga melihat ada seorang pria yang sedang membungkus tubuhnya dengan selimut merah persis di bawah kolong jembatan kecil.
Sejenak berhenti di situ dan bertanya diri, apa maksud dari semua pemandangan pagi ini? Adakah pesan untuk saya? Mungkinkah pemandangan itu adalah pesan tentang kehidupan? Mungkinkah dari kejadian kecil itu lahir inspirasi dan makna?
Saya pun tertarik untuk merefleksikan semua kejadian itu. Mula-mula saya yakin bahwa kisah itu benar-benar penting dan berguna bagi hidup saya, bahkan telah mengajarkan saya sesuatu yang penting. Beberapa hal yang saya pelajari dari kejadian itu:
1. Kepekaan hati seorang penulis
Kepekaan hati bagi seorang penulis ternyata penting sekali; tanpa kepekaan hati, maka bencana kehilangan inspirasi, merasa tidak bisa menulis karena tidak punya ide, bosan dan jenuh bisa menjadi begitu dominan hingga membenarkan pikiran-pikiran negatif dalam diri sendiri.
Kepekaan hati bagi saya menjadi semacam suatu radar yang mendeteksi hubungan antara kenyataan dan dunia inspirasi dalam hati dan pikiran manusia. Bahkan bisa juga diumpamakan dengan suatu gelombang frekuensi yang bisa mendeteksi sinyal karena berada dalam jalur frekuensi yang sama.
Sebenarnya setiap orang punya energi, atau radar hati atau semacam frekuensi itu. Oleh karena itu, siapa saja yang mau supaya kepekaan hatinya tajam, maka ia perlu belajar mendengar suara hatinya.
Uniknya bahwa suara itu sunyi, tidak bernada, bahkan tanpa suara. Ia cuma bergetar di kedalaman hati yang mengalir hingga ke pikiran. Suara sunyinya hanya bisa didengar oleh diri sendiri. Ia bahkan begitu sering mencoba berdialog dengan diri sendiri.
Terbuka kah Anda untuk membangun komunikasi dengan diri sendiri? Tulisan ini adalah coretan nyata dari kisah mendengar suara hati pagi ini.
Meskipun demikian, sebetulnya kepekaan hati tidak hanya dibutuhkan oleh seorang penulis, tetapi hampir dalam semua hal terkait kehidupan ini, manusia itu sendiri membutuhkan kepekaan hati. Hati yang peka, selalu menjadikan hidup ini kaya inspirasi.
2. Nilai dari sepotong roti
Sepotong roti bagi orang yang punya segala sesuatu itu bisa jadi sangat tidak berarti. Namun, coba lihat bagaimana merpati-merpati itu berebut sepotong roti.
Sesuatu yang direbut selalu merupakan sesuatu yang penting. Tidak ada orang yang merebut hal yang sama sekali tidak penting dalam hidupnya.
Sebagai contoh, anak muda merebut bank digital, justru karena paket bank digital sesuai dengan selera anak zaman atau selera anak muda saat ini, yang menawarkan banyak alternatif dan kemungkinan yang mudah, cepat dan aman.
Artinya, selalu ada nilai dari sesuatu yang sedang diperebutkan. Apakah sepotong roti itu punya nilai? Ya, tentu. Jangan lupa lho bahwa sebelum menjadi sepotong roti itu, ada hubungan sejarah panjang yang melibatkan banyak orang.
Tentu ada hubungannya dengan para petani gandum, ada hubungannya dengan tanah, pupuk, air. Ada hubungannya dengan orang yang membuat roti, oven dan orang-orang yang menjual dan membawa roti itu ke kota.Â
Ya, suatu sejarah panjang yang melibatkan banyak orang dan banyak alat-alat sampai menjadi sepotong roti itu. Nah, kalau begitu, apa artinya membuang sepotong roti?Â
Tindakan membuang makanan itu tidak dibenarkan secara hukum. Namun, perhatikan berapa sering orang-orang yang makan di rumah makan lalu membuang makanan?
Ironis sekali terkadang orang mengira, semakin kaya seseorang, ia bisa saja membuang makanan seenak hatinya, karena kalau tidak suka dengan yang dibelinya, ia bisa membeli makanan lainnya.
Saya ingat ada ungkapan di Jerman yang melawan fenomena membuang makanan itu, Â "All you can eat dan bukan All you can wegschmeissen." atau semua kamu bisa makan dan bukan semua kamu bisa membuangnya.
3. Pelajaran dari Merpati
Merpati pagi ini seakan menitipkan pesan tentang belajar menghargai makanan. Saat melihat merpati di belakang rumah itu bekerjaran merebut sepotong roti, terdengar letupan suara yang menggetarkan hati, "Mengapa kamu membuang makanan?"Â
Merpati berebutan bisa jadi dengan rasa syukur apalagi saat mereka kelaparan, akan tetapi bisa jadi karena tidak ingin sepotong roti itu terbuang sia-sia di jalan. Terdengar suara ini,
"Tidak hanya itu, jika kamu mau memberi kami makanan, janganlah begitu saja membuang makanan itu di tengah jalan.Â
Cara itu terlalu  beresiko buat nyawa kami. Berapa banyak kendaraan yang melintas tanpa peduli? Kami bisa saja digilas tanpa cerita sedih dan tangis. Kami ini jenis makhluk hidup yang punya mata, telinga, kaki, hati dan rasa.Â
Cuma kami tidak bisa bicara dalam bahasa manusia. Andaikan saja bisa, maka kami akan katakan secepatnya bahwa wahai manusia peduli lah kami dan lingkungan kehidupan ini.Â
Tanpa kehadiran kami, pantai tidak akan menarik, tanpa kami tidak ada ungkapan janji dan setia seperti merpati. Dari bangsa kami (Merpati) lahir banyak nama dan cerita. Lihat Saat-Saat perjumpaan kami waktu siang di pesisir sungai, di sana tanpa ada gosip dan pertengkaran. Di sana dan di mana saja kami belajar Menjadi sahabat orang-orang pinggiran. Mereka yang Haus dan lapar, tidak punya rumah adalah sahabat kami setiap hari."
Winterjasmin di musim gugur
Dahan-dahan kecil sudah terpangkas, yang tersisa cuma sedikit. Daun sedikit kuning sebagai bukti iba pada musim gugur yang entah kenapa  telah mengubah daun pohon lainnya juga menguning.Â
Winterjasmin akhirnya menjadi saksi sunyi tentang merpati-merpati lapar di pinggir jalan itu. Ya, mereka saling merebut sepotong roti yang terbuang dari ruang atas.
Nah, Winterjasmin adalah bunga yang umumnya mekar pertama ketika puncak musim dingin tiba. Ia bahkan terlihat paling berani mekar walau dingin menyayat tangkai dan bunga.Â
Mungkinkah hidup ini tetap mekar walau dingin penghargaan dan pujian?Â
Mungkinkah seorang penulis tetap menulis meskipun tanpa K-Reward yang menggetarkan hati?
Kuning daun mu bisa menjadi semacam warna alarm sebuah dinamika dari suatu perubahan, ya sebelum menjadi merah dan jatuh. Winterjasmin pembawa harapan dan daya baru menjadi optimis di tengah kisruh musim gugur.
Demikian coretan kecil ini, pertama-tama lebih merupakan cara saya berbagi kepada pembaca tentang makna dari suatu perjumpaan yang spontan, namun mengubah arah hati hingga tersentuh dan mencerna makna dibalik kehadiran semua yang bisa dikenang.
Semoga tulisan ini menjadikan siapa saja semakin menghargai makanan, menghargi perasaan dan totalitas kerja untuk masa depan.
Salam berbagi, ino, 28.10.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H