5. Mencintai kejujuran, kebenaran dan kepercayaan publik
Mencintai kejujuran dan kebenaran itu sangat penting dalam kaitannya dengan usaha membangun personal branding. Nah, kenyataan menunjukkan terkadang orang lupa berlaku jujur.
Saya punya contoh sebut saja Saudara B menerima uang sumbangan dari orang-orang sederhana di sekitarnya. Ia mengumpulkan itu semua, kemudian uang itu diberikan kepada pihak lain yang terkena bencana. Setelah diberikan, berita yang muncul di media adalah cuma saudara B.
Mungkin dalam hati saudara B, wah ini peluang untuk personal branding. Nah, sebenarnya cara-cara seperti itu bukan untuk personal branding. Layak personal branding dimiliki oleh orang-orang sederhana itu, bukan saudara B.
Tidak hanya itu, ada lagi contoh lainnya, sebut saja kepala desa C yang menyalurkan dana BLT, Bansos kepada masyarakatnya yang begitu sederhana. Kades C ciptakan suasana sekian, bahkan kesan masyarakat bahwa ia luar biasa baik dan hebat, karena punya banyak uang untuk dibagikan kepada rakyatnya.
Bukankah sebuah manipulasi? Jadi, rupanya orang terlalu sederhana memikirkan personal branding itu tanpa kejujuran dan kebenaran. Nah, itulah suatu kekeliruan besar dalam membangun personal branding.
Berdasarkan beberapa kenyataan yang terjadi di masyarakat itu, saya akhirnya menyadari bahwa membangun personal branding untuk generasi milenial itu perlu hal-hal ini:
1. Masyarakat atau siapa saja perlu dibekali dengan wawasan terkait personal branding yang benar dan baik bagi pengguna media sosial atau bagi generasi milenial.Â
Wawasan tentang nilai-nilai, etika, dan tata krama, bahkan nilai-nilai yang diwariskan oleh budaya tertentu, tentu sangat penting untuk mendukung upaya membangun citra diri.
2. Konsep personal branding tidak terlepas dari nilai-nilai kehidupan, kejujuran, kebenaran. Karena itu, mungkin baik personal branding bisa menjadi tema yang perlu dibahas dalam kaitan dengan pendidikan nilai di bangku pendidikan.
3. Dalam membangun personal branding orang perlu menyadari aspek tanggung jawab sosial.Â