Gara-gara guru, saya dan teman-teman suka buku Malin Kundang. Guru saya itu cuma mengatakan begini pada akhir pelajaran, "Kalian perlu baca sendiri buku Malin Kundang, biar tahu seluruhnya cerita itu dan kalian tidak akan menjadi Malin Kundang," kata bapak guru saya alm. Hendrikus Meke.Â
Kata-kata itulah yang saya rasakan seperti kompor gas membakar rasa dan rindu seakan ada janji siapa yang membaca buku Malin Kundang, dia tidak akan menjadi Malin Kundang.Â
2. Buku itu berisikan pesan protes terhadap perantau yang tidak pulang kampung
Lukisan kehidupan tentang masyarakat NTT masih belum lepas dari konteks perantauan. Pilihan perantauan yang paling populer adalah Malaysia. Saya punya saudara kandung 2 orang yang pernah merantau di Malaysia.Â
Sangat masuk akal, kalau buku Malin Kundang dibaca pada situasi ketika saudara kandung sedang di tanah perantauan. Cerita Malin Kundang meninggalkan pesan yang sangat mendalam di dalam kalbu.
Sebagai anak kecil ketika itu, cuma bisa punya rasa takut dan aliran doa sunyi dalam hati, semoga kakak-kakak saya tidak menjadi seperti Malin Kundang.
Mengapa takut? Tidak sedikit sebagai anak-anak pada saat itu mendengar bahwa perantau yang tidak pernah bersurat dan mengirim uang, bahkan sudah pasti tidak pulang karena punya istri di sana.
Cerita yang lebih menakutkan lagi adalah perantau-perantau itu meninggal di Malaysia dan tidak bisa dibawa pulang ke Indonesia. Sejuta cerita menyayat hati anak-anak Flores ketika itu menjadi semacam buah simalakama.
Tidak pergi merantau, ya bagaimana bisa membiayai sekolah anak-anak atau adik dan bagaimana bisa hidup? Dibiarkan pergi, nah bertemu seribu godaan saat punya uang.
Terasa perantau kaya mendadak, namun juga miskin mendadak karena mental yang tidak siap saat punya banyak uang. Sebagian lupa orang tua, lupa istri dan anak, bahkan lupa pulang.
Meskipun demikian, ada banyak juga yang luar biasa. Dari rahim perantauan itu, mereka bisa punya anak-anak sarjana dan punya penghidupan lebih baik dan layak sampai sekarang.