Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

3 Cara untuk Hadapi Dilema Mudik Saat Covid-19

11 Mei 2021   02:46 Diperbarui: 11 Mei 2021   03:17 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tidak peduli larangan mudik. Diambil dari dw.com

Lebaran, liburan, mudik dan kerja menjadi tema-tema menarik bukan saja untuk ditulis, tetapi lebih dari itu untuk di pertimbangkan soal untung dan ruginya. 

Pertimbangan untung dan rugi itu terkait risiko bagi diri sendiri dan orang lain, bahkan keluarga. Tidak hanya sekedar sebuah risiko biasa, tapi risiko yang bersentuhan langsung dengan kehidupan, entah akan segera berakhir atau syukur kalau bisa tertolong. 

Semua orang saat ini tahu tentang risiko dari berlibur dan mudik akan berhadapan dengan kenyataan macet dalam perjalanan. Macet berlalu lintas akan memicu kerumunan. 

Berikut ini 3 cara untuk hadapi dilema mudik saat covid-19 ini:

1. Misteri kata terlarang saat ini adalah"Kerumunan"

Kerumunan itu sebetulnya kata terlarang di masa pandemi ini, tidak hanya di Indonesia tentunya, tetapi di seluruh dunia, khususnya di mana ada Covid-19. Kerumunan harus dihindari atau jangan ada kerumunan di mana saja dan kapan saja.

Namun berdasarkan berita yang dilansir detik.com (10/05/2021) dinyatakan bahwa pemerintah melakukan random tes dari 6.742 pemudik, terdapat 4.123  yang positif covid-19. 

Dari hasil tes random itu terlihat jelas sekali bahwa kerumunan itu sangat besar potensinya untuk penyebaran covid-19. Namun, persoalan sekarang adalah opini dan gagasan bagus untuk keselamatan manusia umumnya, tidak dilihat sebagai petunjuk keselamatan.

Bahkan larangan mudik dari pemerintah dianggap tidak artinya. Ya, buktinya bahwa masih ada juga sekian ribu orang yang nekat mudik. Situasi dan kondisi seperti ini, rupanya tidak cukup hanya dengan pendekatan edukasi, karena sekian banyak orang sudah dalam perjalanan.

Siapa saja yang bahkan peduli dengan opini-opini tentang mudik dan larangan bepergian. Tentu bukan masyarakat yang sedang dalam perjalanan. Syukur kalau seandainya dalam perjalanan mereka lalu sadar dan berbalik arah.

Paling-paling sasaran dari segala opini, pertanyaan dan kritikan terkait mudik saat ini satu-satunya adalah pemerintah. Pemerintah dilihat sebagai paling bertanggung jawab atas keputusan bebas masing-masing orang.

Padahal, semua orang tahu, sejak jauh hari, pemerintah sudah mengeluarkan larangan mudik  dalam hal ini SE Satgas Penangan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 Tentang Peniadaan Mudik Hari Idul Fitri 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah (Kompas.com 9/4/2021).

Sebetulnya tidak ada kendala lagi, jika semua orang taat dan bisa mengatur dirinya. Kenyataan membuktikan bahwa sebagian orang tidak peduli dengan larangan dan aturan-aturan pemerintah, meskipun sifat dari aturan itu adalah mengikat semua kalangan.

Pertanyaannya sekarang, kira-kira pendekatan apa yang bisa memberikan kemungkinan bagi sebagian besar orang untuk mengikuti aturan larangan mudik secara bermakna.

2. Pesan Nabi dan Kemanusiaan

Saya berani mengatakan lagi-lagi semua ini terkait dengan cara pandang masing-masing orang orang. Andaikan semua institusi, baik pemerintah maupun agama menyerukan hal yang sama, namun kalau setiap orang tidak peduli dengan seruan larangan itu, maka tidak ada gunanya.

Umat muslim pasti tahu cerita tentang Nabi Muhammad saw dan pidatonya di Arafah. Di sela-sela pidatonya, Nabi bertanya kepada lautan manusia yang hadir. 

"Bukankah aku telah sampaikan (pesan-pesan) ini?" Dan semuanya menjawab: "Benar! Engkau telah sampaikan." Lalu Nabi berpesan agar yang hadir menyampaikan isi pidato beliau itu kepada yang tidak hadir. Dikatakan bahwa inti dari pidato di Arafah itu adalah tentang nilai-nilai kemanusiaan. (bdk. Karya-karya Lengkap Nurcholish Madjid, 2221-2222). 

Saya percaya pesan tentang kemanusiaan dari Sang Nabi tetap penting dan relevan hingga saat ini. Nilai kemanusiaan tetap merupakan nilai yang penting.

Rujukan terkait pesan itu, mungkin bisa membuat kita ingat akan hubungan antara pesan-pesan di depan lautan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.

Meskipun demikian, sekali lagi kembali kepada pribadi masing-masing, sejauh mana orang menaruh hormat pada pesan positif pemerintah terkait situasi konkret saat ini dan juga bertanggung jawab untuk menyampaikan isi pesan itu kepada orang lain yang mungkin tidak tahu atau tidak mendengar.

3. Kerja itu lebih sehat daripada mudik

Konteks dari ulasan ini berkaitan dengan tema memilih kerja atau liburan dan mudik. Jika orang matang berpikir, lalu mempertimbangankan risiko terkait covid-19 saat ini, maka orang akan mengatakan"ya" untuk kerja daripada liburan dan mudik.

Namun, tentu juga ada alasan-alasan yang sangat mendesak dari sebagian orang yang membuat mereka mengatakan "tidak" untuk kerja, sehingga harus berlibur. 

Ketika larangan dan pesan tidak ditaati lagi, maka hanya ada di depan mata sebuah risiko dan konsekuensi yang begitu besar.  Situlah seperti itulah yang sedang dihadapi saat ini di tanah air.

Kerja di rumah pasti memberikan rasa aman. Kerja dengan mengikuti protokol kesehatan, mungkin jauh lebih aman dan sehat, ketika dibandingkan dengan keputusan untuk mudik.

Coba bayangkan kalau terjadi kemacetan berjam-jam di perjalanan, pasti kelaparan. Belum lagi, jika ada hujan dan hal-hal tidak terduga lainnya. Dalam kelelahan perjalanan jauh, lalu terpaksa kontak dengan orang-orang lainnya, yang kemungkinan besar sudah terkena covid.

Ya, kerja itu jauh lebih aman dan sehat, daripada mudik pada saat risiko covid saat tinggi seperti sekarang ini. Beberapa alternatif yang penting dilakukan agar membatasi arus mudik:

1. Jika memungkinkan perlu ada seruan dan ajakan melalui tokoh-tokoh agama di rumah-rumah ibadat. 

2. Pos penjagaan dan pembatalan keberangkatan mesti lebih diperketat.

Demikian 3 cara dan 2 alternatif pesan untuk hadapi dilema mudik saat covid-19 ini. Cara terbaik untuk selamatkan diri dari covid-19 adalah belajar taat pada pesan-pesan dan larangan yang ada. 

Yang bisa menyelamatkan diri Anda, adalah inisiatif Anda untuk selamat. Untuk selamat, orang perlu menjadi taat dengan sandi-sandi dan kode, serta rambu-rambu yang ada di depan mata. 

Salam berbagi, ino, 11.05.2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun