Citra media sosial di Indonesia akan berubah, jika ada komitmen yang kuat dari pengguna media sosial pada nilai-nilai kehidupan. Ya, sebuah komitmen total dari pengguna media sosial pada keramahtamahan, keadilan, kebenaran dan kehidupan."Â
Wajah media sosial bergantung pada wajah penggunanya. Namun apakah karakter pengguna media sosial sama dengan karakter aslinya, tentu adalah sebuah misteri yang selalu menyisakan pertanyaan.
Media sosial itu tidak terlepas dari tuntutan sosial. Tuntutan sosial itu bermacam-macam. Ada tuntutan yang harus sesuai dengan panggilan dan tugas seseorang, tetapi juga ada tuntutan yang memang sesuai standar etika media sosial umumnya.
Meskipun demikian, terlihat pula kenyataan bahwa sebagian orang tidak peduli dengan etika dan tuntutan sosial. Tidak heran media sosial sering disalahgunakan untuk penyebaran ujaran-ujaran yang diluar etika dan peradaban.
Oleh karena kenyataan yang berbeda-beda, yang ditemukan di media sosial terkait manusia atau "aku", maka saya melihat dua wajah media yang kadang silih berganti, bahkan bisa dikatakan, ya suatu wajah paradoks antara menjadi ramah dan menjadi marah:
1. Wajah marah karena ada kontrak kepentingan
Pembicaraan tentang media sosial sebenarnya tidak terlepas dari kepemilikan media sosial itu sendiri. Ya, terkait dengan hal yang paling konkret adalah akun-akun media sosial.
Namanya akun media sosial, maka sudah pasti pula pemilik akun media dikenal banyak orang, apalagi kalau pemilik itu media besar. Bahkan tidak jarang media sosial dan pemilik akun memperoleh penawaran untuk kepentingan tertentu.
Kontrak kepentingan itu tidak main-main lho. Biasanya ada janji dan bayaran yang besar. Ketika pemilik media sosial masuk ke dalam ruang kontrak kepentingan tertentu, maka otomatis wajah media itu berubah, yaitu seram untuk melawan kepentingan oposisi atau "seram ke luar."
Wajah marah ke luar itu tampak dari formulasi dan tanggapan-tanggapan terhadap realitas sosial yang bertentangan dengan kepentingan pengontrak. Nah, sampai pada tingkat seperti itu sebenarnya, media sosial itu terkadang kehilangan orientasi pada nilai kebenaran dan kejujuran.Â