Persoalan yang terjadi terkait dengan anggota, umumnya terlihat ramah dalam pemberitaan bahkan kadang disembunyikan meskipun sungguh layak dan pantas untuk diberitakan.
Coba seandainya persoalan dengan tema yang sama terjadi di luar tubuh institusi pemilik media, maka bahkan berita terkait persoalan itu bisa masuk kategori viral.
Fleksibilitas media kadang sangat bergantung pada kepentingan pemilik. Apalagi pada saat ini, siapa saja boleh memiliki akun media sosial sendiri. Orang juga bisa bebas untuk bicara apa saja.
Tantangan untuk transformasi wajah media sosial
Bagaimanapun wajah ganda atau bahkan paradoks wajah media sosial itu terhubung dengan kualitas kepribadian penulis dan jurnalis yang menguasai media sosial.
Karena itu, sangat disayangkan, bahwa pada saat kebebasan untuk menyalurkan pendapat sungguh dijamin, Â muncul pula media yang melacurkan diri sekedar untuk mendapatkan uang.Â
Fakta dan data, konteks yang sebenarnya akan dibungkus rapi, karena media itu sendiri harus menjadi alat promosi kepentingan penguasa atau pemilik kontrak.
Dalam kasus-kasus seperti itu, sebenarnya kualitas media sosial memang sungguh memprihatinkan. Masih banyak pekerja media di media sosial online khususnya yang bekerja dengan harapan memperoleh rayuan dengan bayaran dan kontrak kepentingan.
Target untuk popularitas diri dan melindungi diri dari penyimpangan pemakaian anggaran dan lain sebagainya merupakan bungkusan rapi yang dibalut bersama antara pihak pengontrak dan pihak jurnalis.
Nah, sampai kapan jurnalis itu baru bisa menyuarakan kebenaran, fakta dan realitas yang akan dipublikasikan di media sosial? Kualitas diri penulis dan jurnalis semestinya menjadi modal dasar yang betul-betul harus kuat.
Karakter dan peradaban suatu bangsa bisa dilihat dari wajah media sosialnya.