Dari sinilah, saya menemukan nilai dari batu berwarna itu, yakni bahwa manusia disadarkan tentang nilai dari karya penciptaan alam semesta ini. Tuhan menciptakan keindahan yang luar biasa menjadi inspirasi tidak terhingga bagi manusia.
Masih adakah ruang penghargaan bagi karya-karya penciptaan seperti itu? Masih adakah ruang penghargaan bagi kaum seniman abstrak di Indonesia?
Pesona warna yang terpancar dari batu berwarna itu telah merangsang gagasan hingga menjadi sebuah tulisan, mungkin ini adalah bukti dari betapa unik dan berenergi batu berwarna itu.
2. Aku dan warna (Ich und die Farbe)
Perlahan-lahan saya memahami betapa penting serpihan keindahan yang terbenam di tanah Flores selama ini. Batu berwarna memang menjadi objek keindahan yang ada di Flores.
Batu hijau di pesisir pantai Nangapanda misalnya sudah terdaftar sebagai objek wisata di wilayah Kabupaten Ende, Flores, NTT. Tentu tidak hanya itu, ternyata masih ada beberapa batu warna lainnya yang belum dipublikasikan di wilayah Maumere.
Siapa saja pasti suka ketika melihat hamparan batu berwarna hijau yang bersih dan mengkilat, di pesisir laut dengan dandanan karang yang sesekali diterpa ombak, kemudian kembali hening dan menghilang.
 Tentu bukan saja soal batunya, tetapi lebih dari itu adalah warna dan siapa yang melihatnya. Ada energi yang terpancar hingga mengikat hati siapa saja.
Pada saat itulah, sebenarnya seseorang merasakan kesatuan intim antara "aku dan warna, aku suka yang berwarna, dan warnanya tidak pernah memaksa aku."
Tanpa batu berwarna itu saya tidak pernah terhubung dengan seniman seperti Augusto Giacometti, yang karya-karyanya disimpan di museum seni di Bern.Â
Augusto Giacometti (1877-1947) adalah pelopor lukisan abstrak dengan latar belakang abstrak ekspresionisme, ia diakui secara internasional pada tahun 1950.