Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membongkar Jejak Peran Perempuan Flores dari Hiasan Pusaka

13 April 2021   15:08 Diperbarui: 13 April 2021   15:22 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Theresia Nembo mengenakan Suwo. Dokumen pribadi oleh Ino

Apa artinya suku dan bangsa ini, jika perempuan kehilangan lima peran itu? Mari menulis tentang perempuan dan mengangkat pesona tersembunyi yang tidak biasa dibaca dan ditulis. Wahai perempuan, darimulah, lahir sebutan ibu.

Perjuangan ibu Kartini untuk mengangkat martabat kaum perempuan Indonesia sudah merupakan sejarah yang tidak bisa dilupakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tonggak sejarah perjuangan ibu Kartini tidak akan pernah mati, meskipun fakta di daerah tertentu tetap saja menempatkan perempuan dalam struktur budaya dan adat istiadat mereka pada nomor dua.

Meskipun demikian, saya melihat bahwa peran perempuan Indonesia, semakin menggeser posisi dan konsep budaya matrilineal. Sebuah konsep budaya matrilineal telah berubah dalam tataran praktisnya, disinyalir karena kemajuan cara pandang masyarakat dan bahkan karena kemajuan pendidikan kaum perempuan itu sendiri. 

Nah, bagaimana tentang Perempuan Flores? Oleh karena keragaman konsep tentang Perempuan di Flores, maka saya fokus saja tentang konsep perempuan dalam budaya masyarakat di mana saya berasal. Suku besar seperti Ende Lio tentu punya cara pandang sendiri dan agar lebih spesifik dan terfokus lagi, saya ingin membahas dalam tulisan ini tentang mencermati peran perempuan dari harta pusaka yang hanya dikhususkan bagi kaum Perempuan suku Paumere. 

Konteks peran Perempuan dalam suku Paumere bisa dilihat dalam beberapa hal ini:

1. Suwo dan Wea: Perhiasan yang dikhususkan hanya untuk perempuan sebagai simbol penjaga tradisi seni

Kenyataan menunjukkan bahwa sampai dengan saat ini perhiasan istimewa dan mahal itu masih disimpan sebagai harta karun dan pada momen-momen tertentu seperti momen adat akan dipakaikan hanya pada perempuan. 

Suwo dan Wea, hiasan perempuan. Dokumen pribadi oleh Ino
Suwo dan Wea, hiasan perempuan. Dokumen pribadi oleh Ino
Ada beberapa nama yang tergolong hiasan istimewa dan mahal untuk perempuan dalam suku Paumere, ada yang disebut dengan nama Wea atau emas dan Suwo. Wea dan Suwo terbuat dari logam mulia, namun nama khas mereka berbeda-beda. Ada yang disebut Wea Riti, Wea Zonda dan lain sebagainya. 

Wea dan Suwo adalah jenis perhiasan khas perempuan. Perhiasan khas secara otomatis menunjukkan tentang nilai dari betapa penting dan berartinya martabat dan peran perempuan di dalam suku. 

Nilai dan peran perempuan di dalam konteks suku, tidak semata-mata diukur dengan pendidikan yang dimiliki perempuan, tetapi juga dengan kerja giat sehingga mampu memiliki harta termahal itu. Nilai kerja perempuan begitu istimewa. bayangkan struktur adat sekalipun menempatkan mereka pada nomor dua, namun kenyataannya mereka paling dihormati. Apalagi Perempuan yang memiliki hiasan pusaka Wea dan Suwo mahal itu. 

Pertanyaannya mengapa nilai ratusan juta itu hanya untuk perempuan? Anehnya pertanyaan itu tidak pernah digugat laki-laki, tetapi diterima dan diakui. Kaum laki-laki sangat menghormati perempuan, bahkan nilai yang dibawa perempuan dalam suatu upacara adat misalnya bisa mencapai puluhan juta, sekarang mungkin sudah ratusan juta. 

Uniknya pemilik harta pusaka itu bukan tergolong orang kaya. Tidak heran ada istilah harta warisan. Meskipun itu adalah warisan, namun cerita yang pernah saya dengar warisan itu pada mulanya tidak datang sendiri seperti hujan jatuh dari langit, tetapi melalui suatu perjuangan dan kerja perempuan. 

Keunikan yang bagi saya sangat menarik adalah perempuan yang mengenakan hiasan Suwo dan Wea itu selalu mengenakan pakaian adat khas Zawo Zambu atau sarung khas untuk perempuan dan baju khas untuk perempuan. Lagi-lagi, ini bukan soal tentang siapa punya uang, tetapi keselarasan antara seni tradisional dan adat istiadat yang dibawa kaum perempuan. Sampai dengan saat ini, saya belum pernah melihat perempuan yang mengenakan celana Jeans lalu memakai Suwo dan Wea pada telinganya. Dari situ, saya menemukan peran istimewa perempuan di dalam suku, bahwa kaum Perempuan adalah penjaga tradisi seni. Kalau diperhatikan ukiran hiasan pusaka itu adalah hasil tempaan yang tua. Khususnya Suwo selalu berbentuk seperti candi Borobudur. Bagaimana hubungannya? Saya tidak bisa membuktikannya, cuma bisa menunjukkan bahwa bentuk Suwo persis candi Borobudur. 

Sedangkan bentuk Wea bisa dibandingkan dengan perkembangan bunyi di dalam perjalanan waktu antara awal, dan akhir. Dalam buku Quadrivium dijelaskan bentuk seperti tanda lebih kecil dan lebih besar dalam tanda matematis itu diberi arti berbeda dalam konteks seni musik, antara crescendo atau lebih kecil dan decresendo atau lebih besar. 

Wea dengan bentuk khas membentuk sudut lebih besar dan lebih kecil. Dok.pri.Ino
Wea dengan bentuk khas membentuk sudut lebih besar dan lebih kecil. Dok.pri.Ino
Bentuk fisik Wea menyerupai dua simbol itu dengan titik temunya berada di tengah-tengah seakan-akan mengungkapkan dimensi paradoks antara yang lebih kecil dan lebih besar. Titik temu itu berada di tengah sebagai bagian yang mempersatukan keduanya dan itulah yang dipakai perempuan suku Paumere. Bagi saya, ini tidak sekedar bentuk asal-asalan, tetapi sebuah bentuk seni yang menyembunyikan maknanya dibalik hiasan pusaka itu. Dan kalau boleh saya diberikan kemungkinan untuk menafsirkan itu, saya yakin itu ada kaitannya dengan peran inti perempuan. Konteks situasi paradoks dalam rumah atau negara selalu saja ada, tetapi kalau perempuan itu tidak lagi berdiri di tengah sebagai inti yang mempertemukan atau menghubungkan tegangan paradoksal itu, maka yang ada sebetulnya cuma perpecahan. jadi, perempuan perlu menyadari peran sebagai pemersatu. Ya, suatu peran yang tertanam dalam akar tradisi seni mereka sendiri.

Mengenakan Wea, mesti sampai pada refleksi dan pemahaman seperti itu agar suasana hidup baik dalam konteks rumah tangga, suku maupun negara tetap rukun dan harmonis. Saya ingat satu peribahasa dalam bahasa Jerman: Ein Mann, ein Wort, eine Frau, ein Wörterbuch atau seorang laki-laki punya satu kata, sedangkan perempuan punya satu kamus. Apakah benar? Tidak tahu juga sih, tapi peribahasa itu ada.

2. Perempuan itu simbol kehormatan suku

Tentu, peran Perempuan tidak hanya sebagai penjaga tradisi seni, Perempuan itu adalah simbol dari kehormatan suku. Ada tradisi yang masih saja dijaga sampai dengan saat ini adalah adat Belis untuk perempuan. 

Mungkin saya beda cara pandang, ada yang melihat belis itu selalu membuat rumit dan bahkan membuat perempuan hidup di bawah tekanan, nilainya seperti dibeli. Orang tidak mungkin menikahi seorang perempuan tanpa harus melengkapi tuntutan adat puluhan atau ratusan juta, kalau diubah ke rupiah. Tuntutan adat perkawinan tidak main-main. Saya masih ingat, perkawinan saudara sepupu saya, keluarga mengeluarkan 9 grading termasuk satu grading yang disebut Wesa atau gading gajah yang terpanjang dan besar. 

Nilai 9 batang gading gajah saat ini saya kira sudah bisa miliaran rupiah. Belum lagi Suwo, Wea dan Doi atau emas dan uang. Tahu gak? Semua itu untuk memperoleh seorang perempuan. 

Pada sisi yang lain, ada yang melihat adat itu boros dan lain-lain, bisa saja, namun dari yang lain, saya melihat tentang betapa pentingnya perempuan. Peran apa sih di rumah setelah habiskan ratusan juta? 

Sebetulnya peran perempuan tidak pernah sering didiskusikan, namun peran mereka pasti sebagai simbol kehormatan suku. Ada kewibawaan ketika Perempuan yang mengenakan perhiasan mahal Suwo dan Wea. Aura kecantikan mereka asli tanpa polesan teknologi. 

3. Perempuan sebagai Ibu rumah tangga

Dalam urusan rumah tangga, kaum Perempuan memiliki peran tidak tergantikan. Mungkin juga banyak juga orang yang melihat peran ini seperti suatu perbudakan, karena peran perempuan cuma disamakan dengan penanggung jawab urusan dapur. 

Saya cara pandang dan filosofinya mungkin beda. Saya lebih tertarik melihat sebutan untuk laki-laki dan Perempuan secara lebih konkret. Apa perbedaan ibu rumah tangga dan kepala keluarga? 

Ungkapan itu sekaligus adalah soal pembagian peran. Ya, pembagian peran yang bisa saja sejak lama berakar dalam Struktur adat yang sangat tua yakni dalam konteks adat. Ibu rumah tangga menguruskan dapur karena memang ada sebutan ibu jari. Ada hubungan yang tidak banyak direfleksikan di sini. Ibu punya kreativitas lebih karena memiliki kelembutan, seni dalam menata dapur dan tentu saja masakan. Berbeda dengan sebutan laki-laki sebagai kepala keluarga. Kepala itu berkaitan dengan peran untuk berpikir dan menggagas. Tidak ada satupun yang mengatakan peran seperti itu jauh lebih penting. Coba bayangkan, sang kepala memikirkan atau merencanakan masakan yang enak, tetapi jika itu hanya ada di kepala saja, bagaimana bisa menjadi nyata? Dalam hal ini ibu adalah penerjemah konsep sang ayah. Atau perempuan adalah pelaksana dari gagasan sang konseptor. Peran seperti itu ada di mana-mana. Seorang laki-laki dia tidak bisa rangkap berpikir dan melakukan sampai sekecil-kecilnya, tetapi keindahan itu dipertahankan agar kolaborasi dan kerja sama antar peran itu sungguh menjadi suatu dinamika yang hidup di dalam rumah tangga. 

4. Perempuan sebagai ibu kesantunan

Menjelaskan martabat perempuan Flores. Simbol tingginya martabat perempuan Flores bisa dilihat dari cara mereka berpakaian secara tradisional. Kesantunan perempuan diukur melalui cara kaum perempuan berpakaian. 

Pakaian yang tidak hanya santun, tapi juga anggun dan indah adalah pakaian khas mereka Zawo Zambu atau dalam tutur suku Ende Lio, Lawo lambu. Saya sendiri paling suka melihat gadis Flores dalam acara apa saja yang dihadiri banyak orang mengenakan Zawo Zambu. Entahlah, kenapa? Tapi rasa indah, nyaman, anggun dan berwibawa itu selalu saja ada dan bisa dirasakan. 

5. Perempuan sebagai pengasuh dan pendidik

Sekarang ini peran perempuan hampir tidak bisa dipandang remeh, karena perempuan sudah memiliki kemampuan lebih melalui jalur pendidikan. Kesadaran baru tumbuh bahwa perempuan bisa saja menjadi pemimpin atau bisa menjadi berpengaruh di dalam suku. Saya akhirnya ingat saudara sepupu saya yang sejak tahun 1984 sudah menjadi guru sekolah dasar (SD). Dialah perempuan pertama dari suku Paumere yang bagi saya perempuan berpengaruh dalam konteks suku. Pada era itu, jangankan suku, Flores saja masih jauh tertinggal, tapi ia berhasil menjadi guru. Ada berapa banyak sarjana yang pernah menjadi anak muridnya. Terima kasih ibu guruku, ibu Lucia Timbu. Dialah perempuan yang menjadi pengasuh di tengah keterbelakangan gagasan dalam merebut peluang untuk mengangkat peran perempuan.

Peran pengasuh dan pendidikan adalah peran ganda yang melekat dengan diri seorang perempuan. Bahkan dua peran itu selalu menjadi peran tetap seorang perempuan, sekalipun ia tidak menikmati pendidikan yang tinggi. Artinya peran perempuan sebagai pengasuh dan pendidik secara non formal merupakan peran bawaan yang semakin penting ketika perempuan itu menjadi seorang ibu bagi anak-anak. Dalam konteks suku, peran dan kematangan ibu itu terlihat saat dalam urusan adat, ya ketika mereka mengenakan hiasan pusaka itu, yang dilengkapi dengan pakaian khas Zawo Zambu. 

Demikian ulasan singkat mengenai peran perempuan dalam konteks salah satu suku di Flores, suku Paumere yang berkaitan langsung dengan hiasan pusaka yang sangat mahal itu, Suwo dan Wea. Ya, hiasan pusaka yang selama ini menyimpan penjelasan tentang peran perempuan di dalam suku. Perempuan ternyata begitu istimewa, tidak hanya sebagai simbol penjaga tradisi seni, simbol kehormatan suku, sebagai ibu rumah tangga, ibu kesantunan, tetapi juga sebagai pengasuh dan pendidik. 

Apa artinya suku dan bangsa ini, jika perempuan kehilangan lima peran itu? Mari menulis tentang perempuan dan mengangkat pesona tersembunyi yang tidak biasa dibaca dan ditulis. Wahai perempuan, darimulah, lahir sebutan ibu.

Salam berbagi, ino, 13.04.2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun