Uniknya pemilik harta pusaka itu bukan tergolong orang kaya. Tidak heran ada istilah harta warisan. Meskipun itu adalah warisan, namun cerita yang pernah saya dengar warisan itu pada mulanya tidak datang sendiri seperti hujan jatuh dari langit, tetapi melalui suatu perjuangan dan kerja perempuan.Â
Keunikan yang bagi saya sangat menarik adalah perempuan yang mengenakan hiasan Suwo dan Wea itu selalu mengenakan pakaian adat khas Zawo Zambu atau sarung khas untuk perempuan dan baju khas untuk perempuan. Lagi-lagi, ini bukan soal tentang siapa punya uang, tetapi keselarasan antara seni tradisional dan adat istiadat yang dibawa kaum perempuan. Sampai dengan saat ini, saya belum pernah melihat perempuan yang mengenakan celana Jeans lalu memakai Suwo dan Wea pada telinganya. Dari situ, saya menemukan peran istimewa perempuan di dalam suku, bahwa kaum Perempuan adalah penjaga tradisi seni. Kalau diperhatikan ukiran hiasan pusaka itu adalah hasil tempaan yang tua. Khususnya Suwo selalu berbentuk seperti candi Borobudur. Bagaimana hubungannya? Saya tidak bisa membuktikannya, cuma bisa menunjukkan bahwa bentuk Suwo persis candi Borobudur.Â
Sedangkan bentuk Wea bisa dibandingkan dengan perkembangan bunyi di dalam perjalanan waktu antara awal, dan akhir. Dalam buku Quadrivium dijelaskan bentuk seperti tanda lebih kecil dan lebih besar dalam tanda matematis itu diberi arti berbeda dalam konteks seni musik, antara crescendo atau lebih kecil dan decresendo atau lebih besar.Â
Mengenakan Wea, mesti sampai pada refleksi dan pemahaman seperti itu agar suasana hidup baik dalam konteks rumah tangga, suku maupun negara tetap rukun dan harmonis. Saya ingat satu peribahasa dalam bahasa Jerman: Ein Mann, ein Wort, eine Frau, ein Wörterbuch atau seorang laki-laki punya satu kata, sedangkan perempuan punya satu kamus. Apakah benar? Tidak tahu juga sih, tapi peribahasa itu ada.
2. Perempuan itu simbol kehormatan suku
Tentu, peran Perempuan tidak hanya sebagai penjaga tradisi seni, Perempuan itu adalah simbol dari kehormatan suku. Ada tradisi yang masih saja dijaga sampai dengan saat ini adalah adat Belis untuk perempuan.Â
Mungkin saya beda cara pandang, ada yang melihat belis itu selalu membuat rumit dan bahkan membuat perempuan hidup di bawah tekanan, nilainya seperti dibeli. Orang tidak mungkin menikahi seorang perempuan tanpa harus melengkapi tuntutan adat puluhan atau ratusan juta, kalau diubah ke rupiah. Tuntutan adat perkawinan tidak main-main. Saya masih ingat, perkawinan saudara sepupu saya, keluarga mengeluarkan 9 grading termasuk satu grading yang disebut Wesa atau gading gajah yang terpanjang dan besar.Â
Nilai 9 batang gading gajah saat ini saya kira sudah bisa miliaran rupiah. Belum lagi Suwo, Wea dan Doi atau emas dan uang. Tahu gak? Semua itu untuk memperoleh seorang perempuan.Â
Pada sisi yang lain, ada yang melihat adat itu boros dan lain-lain, bisa saja, namun dari yang lain, saya melihat tentang betapa pentingnya perempuan. Peran apa sih di rumah setelah habiskan ratusan juta?Â
Sebetulnya peran perempuan tidak pernah sering didiskusikan, namun peran mereka pasti sebagai simbol kehormatan suku. Ada kewibawaan ketika Perempuan yang mengenakan perhiasan mahal Suwo dan Wea. Aura kecantikan mereka asli tanpa polesan teknologi.Â