3. Perempuan sebagai Ibu rumah tangga
Dalam urusan rumah tangga, kaum Perempuan memiliki peran tidak tergantikan. Mungkin juga banyak juga orang yang melihat peran ini seperti suatu perbudakan, karena peran perempuan cuma disamakan dengan penanggung jawab urusan dapur.Â
Saya cara pandang dan filosofinya mungkin beda. Saya lebih tertarik melihat sebutan untuk laki-laki dan Perempuan secara lebih konkret. Apa perbedaan ibu rumah tangga dan kepala keluarga?Â
Ungkapan itu sekaligus adalah soal pembagian peran. Ya, pembagian peran yang bisa saja sejak lama berakar dalam Struktur adat yang sangat tua yakni dalam konteks adat. Ibu rumah tangga menguruskan dapur karena memang ada sebutan ibu jari. Ada hubungan yang tidak banyak direfleksikan di sini. Ibu punya kreativitas lebih karena memiliki kelembutan, seni dalam menata dapur dan tentu saja masakan. Berbeda dengan sebutan laki-laki sebagai kepala keluarga. Kepala itu berkaitan dengan peran untuk berpikir dan menggagas. Tidak ada satupun yang mengatakan peran seperti itu jauh lebih penting. Coba bayangkan, sang kepala memikirkan atau merencanakan masakan yang enak, tetapi jika itu hanya ada di kepala saja, bagaimana bisa menjadi nyata? Dalam hal ini ibu adalah penerjemah konsep sang ayah. Atau perempuan adalah pelaksana dari gagasan sang konseptor. Peran seperti itu ada di mana-mana. Seorang laki-laki dia tidak bisa rangkap berpikir dan melakukan sampai sekecil-kecilnya, tetapi keindahan itu dipertahankan agar kolaborasi dan kerja sama antar peran itu sungguh menjadi suatu dinamika yang hidup di dalam rumah tangga.Â
4. Perempuan sebagai ibu kesantunan
Menjelaskan martabat perempuan Flores. Simbol tingginya martabat perempuan Flores bisa dilihat dari cara mereka berpakaian secara tradisional. Kesantunan perempuan diukur melalui cara kaum perempuan berpakaian.Â
Pakaian yang tidak hanya santun, tapi juga anggun dan indah adalah pakaian khas mereka Zawo Zambu atau dalam tutur suku Ende Lio, Lawo lambu. Saya sendiri paling suka melihat gadis Flores dalam acara apa saja yang dihadiri banyak orang mengenakan Zawo Zambu. Entahlah, kenapa? Tapi rasa indah, nyaman, anggun dan berwibawa itu selalu saja ada dan bisa dirasakan.Â
5. Perempuan sebagai pengasuh dan pendidik
Sekarang ini peran perempuan hampir tidak bisa dipandang remeh, karena perempuan sudah memiliki kemampuan lebih melalui jalur pendidikan. Kesadaran baru tumbuh bahwa perempuan bisa saja menjadi pemimpin atau bisa menjadi berpengaruh di dalam suku. Saya akhirnya ingat saudara sepupu saya yang sejak tahun 1984 sudah menjadi guru sekolah dasar (SD). Dialah perempuan pertama dari suku Paumere yang bagi saya perempuan berpengaruh dalam konteks suku. Pada era itu, jangankan suku, Flores saja masih jauh tertinggal, tapi ia berhasil menjadi guru. Ada berapa banyak sarjana yang pernah menjadi anak muridnya. Terima kasih ibu guruku, ibu Lucia Timbu. Dialah perempuan yang menjadi pengasuh di tengah keterbelakangan gagasan dalam merebut peluang untuk mengangkat peran perempuan.
Peran pengasuh dan pendidikan adalah peran ganda yang melekat dengan diri seorang perempuan. Bahkan dua peran itu selalu menjadi peran tetap seorang perempuan, sekalipun ia tidak menikmati pendidikan yang tinggi. Artinya peran perempuan sebagai pengasuh dan pendidik secara non formal merupakan peran bawaan yang semakin penting ketika perempuan itu menjadi seorang ibu bagi anak-anak. Dalam konteks suku, peran dan kematangan ibu itu terlihat saat dalam urusan adat, ya ketika mereka mengenakan hiasan pusaka itu, yang dilengkapi dengan pakaian khas Zawo Zambu.Â
Demikian ulasan singkat mengenai peran perempuan dalam konteks salah satu suku di Flores, suku Paumere yang berkaitan langsung dengan hiasan pusaka yang sangat mahal itu, Suwo dan Wea. Ya, hiasan pusaka yang selama ini menyimpan penjelasan tentang peran perempuan di dalam suku. Perempuan ternyata begitu istimewa, tidak hanya sebagai simbol penjaga tradisi seni, simbol kehormatan suku, sebagai ibu rumah tangga, ibu kesantunan, tetapi juga sebagai pengasuh dan pendidik.Â