Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Belajar Filsafat di Flores, Bertugas sebagai Formator Calon Magister Teologi di Jerman

26 Maret 2021   17:53 Diperbarui: 27 Maret 2021   09:04 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keahlian dan profesionalitas seseorang tidak semata-mata karena spesifikasi studi. Kemauan untuk belajar dan berkreasi dalam setiap perjumpaan baru dengan orang baru, situasi kerja yang baru, bahasa dan budaya baru dan tantangan baru tetap merupakan aspek-aspek penting lainnya, yang harus diperhatikan sungguh-sungguh.

Wow, terima kasih Kompasiana, kok bisa ya, sampai ada tema tentang "Salah Profesi." Maaf saya harus menarik nafas sebentar. Tema ini sungguh membuat hati saya terharu, bahkan terasa babak belur. Mengapa? 

Mungkin Kompasiana adalah rumah profesi yang dicari selama ini, sekalipun saya baru pemula yang masih terus belajar dari penulis-penulis senior di rumah profesi Kompasiana. Saya mengatakan ini dari kata hati saya. Namun, cerita ini terjadi setelah kisah "salah Profesi" di Jerman. 

Saya sih gak tahu benar, apa sih profesi seorang yang pernah kuliah Filsafat? Pantas disebut Filsuf? Ah gak lah. Maaf lebih baik gak. Mengapa? 

Perjumpaan dengan seorang filsuf membuat saya harus katakan sarjana filsafat itu bagi saya belum layak untuk disebut sebagai filsuf dalam arti sebagai suatu profesi yang bisa dikenakan secara terhormat. 

Karena itu, tetap saja tertinggal suatu pertanyaan hingga sekarang, apa sih profesi yang pantas untuk tamatan ilmu filsafat? 

Menjadi pengajar? Butuh lagi dong penyetaraan dengan mereka yang sarjana pendidikan. Ya tentu. Menjadi politikus? Ya, mungkin juga sih cocok. Cocok karena lumayan banyak sih yang tamatan filsafat, lalu terjun ke dunia politik. 

Tapi, apakah pantas mereka yang seperti itu disebut berprofesi yang sesuai dengan studi mereka? Kayaknya gak juga sih. 

Lalu di mana tempat bagi orang yang sarjana filsafat?  Mau jadi apa nanti khususnya bagi mereka yang lulusan Filsafat? Bayangkan pertanyaan saya sendiri saja belum terjawab, saya akhirnya menerima penugasan baru. 

Saya berangkat ke Jerman tanpa punya bekal kemampuan bahasa  Jerman. Lagi-lagi ginian. Rasanya kok seperti salah feeling mulu. Ya, saya pernah mengalami cerita tentang salah profesi. 

Tahun 2014 saya berangkat ke Jerman. Di kepala saya, mirip kebanyakan orang yang saya jumpai sewaktu di  Indonesia, kalau ditanya mau berangkat ke mana. Dijawab, "ke Jerman lalu pasti muncul kalimat ini: ich liebe dich. 

Maaf ya, saya tahu cuma itu, katanya." Demikianlah kemampuan saya waktu itu, sungguh memalukan dan mencemaskan. Saya sempat berpikir sih, kok saya seperti pergi ke ruang gelap saja. Kenapa sih bisa gini? 

Ketika di Jerman, tinggal bersama orang Jerman, Belanda, India, Polandia. Ya ampun, rasanya, tamatan Filsafat itu seperti cocok jadi tukang sapu di jalanan lho. Ini jeritan hati saya yang tidak pernah terungkapkan pada tahun-tahun awal. 

Meskipun demikian, setelah mengikuti privat bahasa Jerman setahun, saya mulai seperti bayi 3 tahun, bicara terbata-bata tanpa bisa berdiskusi dan berdebat lama dan panjang, bahkan tidak bisa bedakan diksi-diksi yang mirip namun berbeda 100 persen artinya. 

Suatu kali, seorang mahasiswi asal Indonesia datang mengunjungi saya, lalu teman Jerman pakai bahasa Jerman, bertanya kepada saya, "Ist sie deine Freundin? Saya jawab," Ya" 

Tiba-tiba, saya melihat teman itu tersenyum. Kata hati saya, kok rasanya aneh ya. Tapi, saya mengerti bahwa kata Freundin itu adalah teman cewek. 

Lama setelah itu, baru saya tahu, ternyata pertanyaan itu "jebakan Batman" ya, sekedar guyon maksudnya. Masih sih baru datang, kok sudah ada istri di Jerman? Ternyata ada perbedaan antara, "Ist sie deine Freundin? dan Ist sie Freundin von dir? Yang pertama itu berarti apa dia itu istrimu? Sedangkan yang kedua berarti apakah dia teman perempuanmu? 

Artinya, setahun belajar bahasa Jerman itu, ternyata sangat tidak cukup untuk suatu tugas apapun sebagai suatu profesi di Jerman. Namun, apa yang akan terjadi? "Salah profesi" itu kayaknya sangat sering terjadi lho. Benar bukan?

Saya ditunjuk oleh pimpinan saya dengan tugas khusus sebagai Formator atau semacam tugas pendampingan atau pembimbing untuk seorang mahasiswa yang sedang kuliah Magister Theologinya di beberapa Universitas. 

Pertanyaan saya yang belum dijawab dulu itu, muncul kembali, pantaskah tamatan Filsafat di Flores menjadi Formator untuk mahasiswa Magister Teologi di Jerman? Gila banget ya. Mungkin kedengaran elit di telinga teman-teman saya. Namun, mereka tidak pernah tahu, bagaimana tantangan dari "salah Profesi" itu di luar negeri. Rasanya sih, seperti nenek banget. Hahaha maksudnya tantangan yang saya hadapi itu sungguh tingkat dewa, ya tidak mudah. 

Di sekitar saya ada beberapa yang Doktor, bahkan Teolog, Filsuf dan Filolog. Apa-apaan ini, kok saya yang ditunjuk? "Salah profesi dong" Oleh karen saya tahu bahwa ada kemungkinan bagi saya untuk dibiayai studi lanjut saya, maka saya melihat positif tantangan "salah profesi" itu sebagai kesempatan bahwa ilmu Filsafat bisa memberi kemungkinan pada saya untuk berproses dengan tantangan yang ada setiap hari. 

Tentu melalui kerangka pertanyaan-pertanyaan yang menolong saya untuk menggali akar dari sesuatu yang saya hadapi. Mengapa seperti itu? Dan pertanyaan lainnya yang muncul sesuai konteks, lalu perlahan-lahan membawa saya kepada proses uji kesimpulan sementara, dan lain sebagainya. 

Nah, bagaimana cara beradaptasi? 

Dari pengalaman, saya menemukan 6 cara adaptasi yang saya lakukan pada saat "Salah Profesi. 

1. Adaptasi diri dengan buku panduan sebagai Formator

Saya mulai menjalankan tugas saya berdasarkan buku panduan yang diberikan pemimpin saya. Point-poin formasi penting saya catat secara khusus, lalu saya menyiapkan langkah-langkah awal sesuai panduan dan petunjuk praktis yang ada. 

Cara ini, relatif gampang, karena sebetulnya yang dibutuhkan adalah orang bekerja sesuai konsep standar umum yang berlaku dan bukan semau gue gitu. Mau gak baca dan pelajari dulu buku petunjuk? 

Penting lho, adaptasi dengan buku pedoman, agar tidak salah arah. Bayangkan saja, sudah salah profesi tambah salah arah, apa jadinya nanti.

2. Belajar mengadaptasi bahasa dengan dua bahasa, bahasa Jerman dan "bahasa hati"

Saya hanya punya prinsip sederhana, bertanya pada saat saya tidak mengerti, menerima koreksi kalau saya salah, kalau tidak sesuai dengan buku pedoman yang berlaku, saya coba mendekati dengan pendekatan "bahasa hati". 

Artinya, pada saat yang dinamakan " omong dari hati ke hati" Maaf bukan tegur langsung lho. Saya mulai menggunakan bahasa hati. Apa sih bahasa hati itu? 

Sederhana lho. Bahasa hati itu tidak perlu banyak kata-kata, tetapi butuh banyak tatapan mata. Bukan dengan mata melotot lho. Sebuah tatapan yang berisikan perhatian saat lawan bicara atau Mahasiswa itu sedang bicara. 

Atau saya harus menempatkan diri sungguh sebagai pendengar yang baik, yang menaruh empati dan simpati padanya. Sederhana bukan? Bahasa hati yang saya maksudkan adalah respekt positif saat orang lain bicara dan cara seperti itu bisa juga diungkapkan dengan sedikit kata-kata, tetapi berdaya mengubah. Kata-kata positif itu penting banget.

Suatu waktu, mahasiswa itu, lagi benar payah, lelah karena tugas dari universitas. Ya, tampak dia galau banget. Malam di musim panas itu sama seperti sore pukul 17.00 di Indonesia, ya di luar masih terlihat terang benderang. Saya mengajaknya, jalan santai di Sungai Rhein. Saat itu, dia menceritakan banyak hal. 

Saya hanya mendengar, sebagai teman dalam kesulitannya. Terakhir, sebelum dia ke kamarnya, saya mengatakan spontan seperti ini, "you are my future." und gute Nacht, atau kamu adalah masa depanku dan selamat malam.

Artinya, bagaimanapun namanya, "salah Profesi" itu, tidak berarti otomatis "salah melulu atau salah arah" tapi yang paling penting adalah orang jangan salah menggunakan kata-kata pilihan yang mendukung dan konstruktif. Penting bukan? 

3. Cara adaptasi diri melalui pendekatan budaya (Dialog kultural)

Cara pendekatan ini mengandaikan saya harus menceritakan budaya saya sendiri. Keterbukaan saya, melahirkan keterbukaan dari orang lain. Cerita tentang Indonesia adalah cerita inspirasi yang menjadikan saya mampu beradaptasi dengan budaya lain dengan mudah. 

Keberagaman budaya, sebenarnya adalah kado terindah yang bisa mengubah situasi buram dan tidak enak menjadi lebih indah dan seru tentunya. Ya, bercerita sambil belajar tentang kepribadian seseorang. 

Artinya, jika saya ingin tau lebih banyak tentang budaya orang, maka cara terbaiknya adalah dengan menunjukkan budaya saya sendiri kepada orang lain. Rupanya dialog kultural itu juga masuk ke dalam cara penting untuk adaptasi diri dalam konteks "salah profesi." 

4. Membuat perencanaan tertulis yang disertai dengan tema-tema apa yang dibicarakan dalam rangka persiapan studi magisternya. 

Perencanaan tertulis itu, bagi saya sangat penting. Dari rencana tertulis itu, saya akhirnya punya data, baik itu bahan pendampingan yang saya siapkan, maupun bahan laporan kepada pimpinan saya. 

Saya menyimpan semua data itu secara baik sebagai bahan laporan. Data selalu penting lho, biar salah profesi, tetapi kalau punya data, hhhmm lumayan sih bisa untuk debat berdasarkan bukti. Siapa takut gitu? 

5. Memberikan laporan secara teratur

Pertemuan berkala dengan pimpinan terasa selalu meninggalkan kesan beda dengan formator sebelumnya. Meskipun kesan seperti itu baru saya tau jauh setelahnya. Memang tidak penting juga sih, karena saya tidak mencari kesan mereka, tapi bagaimana saya bisa beradaptasi dengan konteks "salah Profesi" itu sendiri. 

Setiap pertemuan selesai, saya membagikan laporan tugas saya kepada semua peserta rapat yang hadir. Tujuan saya sederhana saja sih, biar mereka juga ikut simpan datanya, dan mengetahui perkembangan proses formasi itu. Ya, biar tidak cemas sih. 

Hal yang menarik adalah apa kata mereka setelahnya? 

Saya masih ingat dalam suatu pertemuan evaluasi bersama akhir tahun, beberapa teman protes karena mereka merasa proses formasi tidak berjalan. 

Dan dalam suatu surat rekomendasi ada formulasi dengan menggunakan kata ini"unverantwortlich"atau tidak bertanggung jawab. pedas bukan? Hasil rekomendasi pertemuan diberikan kepada saya, supaya saya tanda tangan. 

Ketika saya membaca isi surat itu, saya lalu mengatakan kepada beberapa teman yang sama sekali tidak di dalam proses formasi itu, "maaf kata itu "unverantwortlich"sangat tidak pantas dan saya harus katakan segera mengggantikan formulasi itu. Saya tidak akan membubuhkan tanda tangan, jika formulasi itu tidak diubah. 

Seru bukan? Suasana memanas, karena baru pertama saya belajar membantah tudingan teman-teman. Enak juga sih berantem dengan bule. Apalagi kalau bisa mengoreksi mereka. 

Ya, ada kepuasan sendiri juga. Keduanya datang ke kamar saya, meminta tanda tangan, tetapi saya menolak, sampai kata "unverantwortlich"itu diganti. 

Keduanya kembali dengan kesal, setelah saya menunjukkan semua bukti program dan bahan-bahan formasi yang telah berlangsung. Gimana tidak bertanggung jawab, kalau data dan laporan lengkap, sesuai buku pedoman lho. Kalau semau gue, ya silahkan bilang apa saja. 

Nah, kata tidak bertanggung jawab ini, sebenarnya untuk siapa ya? Ya, benar "salah Profesi" tapi tidak boleh salah tafsir tentang mekanisme kerja yang jelas sesuai pedoman yang berlaku. 

Boleh "salah Profesi" tapi harus diuji dulu bagaimana pengalaman konkret ketika dalam situasi "salah Profesi" itu. Bisa jadi juga sih, keahlian dan profesionalitas itu tumbuh ketika orang membuka diri untuk belajar beradaptasi dengan situasi dan tantangan baru. 

Tentu, keahlian dan profesionalitas seseorang tidak semata-mata karena spesifikasi studi. Kemauan untuk belajar dan berkreasi dalam setiap perjumpaan baru dengan orang baru, situasi kerja yang baru, bahasa dan budaya baru dan tantangan baru tetap merupakan aspek-aspek penting lainnya, yang harus diperhatikan sungguh-sungguh. Pernah juga alami hal ini bukan? 

6. Cara adaptasi yang benar itu membutuhkan keberanian untuk klarifikasi

Benar bahwa modal cuma studi filsafat, namun saya percaya filsafat telah banyak membantu saya untuk melihat dunia dengan jernih dan kritis. Tentu, pendapat ini dari pengalaman pribadi saya. Berpandangang jernih dan kritis itu baik, namun apa jadinya jika orang tidak punya keberanian untuk membuat klarifikasi terhadap apa yang salah atau tidak sesuai kenyataan dan data-data. Penting lho klarifikasi.

Salah profesi bisa menjadi begitu fatal, jika tanpa punya kemampuan komunikasi dan klarifikasi. Nah, itulah pengalaman salah profesi yang bagi saya telah menjadi sesi sejarah hidup pribadi, di mana saya mengalami dan menemukan bahwa 6 cara adaptasi di atas itu begitu penting pada saat harus alami yang namanya "salah profesi."

Apa kata orang?

Dari pengalaman, orang tidak ribet dengan salah profesi sekurang-kurang dalam hal menjadi Formator. Bisa jadi yang penting adalah keterbukaan, kematangan pribadi untuk terbuka terhadap semua proses yang ada, lalu selalu belajar mengenal lebih mendalam lagi siapa yang dibimbing atau Formandi. 

Saya punya cerita tentang apa kata orang. Pada suatu kesempatan saya memberikan suara yang berbeda, sekalipun suara mayoritas itu setuju, termasuk bos saya. Suara itu saya berikan dalam suatu pertemuan vote untuk kelanjutan dari seorang calon lain lagi yang dibimbing orang lain. 

Satu-satunya suara kontra berasal dari saya. Semua mata tercengang atau bahkan bengong melihat saya. Seorang yang duduk di samping bertanya, mengapa? Ya, tentu dari pengalaman saya melihat dan mengalami serta mengenal dia, jawab saya sederhana seperti itu. 

Oleh karena ukuran penilaian adalah suara terbanyak, maka menanglah yang suara terbanyak itu. Saya juga menerima sih. Prinsip saya, boleh juga beda kan, namanya juga pilihan. Nah, tiga bulan berlalu mahasiswa yang mendapatkan suara terbanyak itu mengundurkan diri. 

Satu-satu sampai dengan pimpinan datang bertemu saya dan bertanya, kamu kok tahu sih? Bagaimana kamu tahu ya. Saya hanya bisa menjawab sederhana: Kekuatan hati itu jauh lebih penting dari keahlian yang dimiliki seseorang dalam menilai dan menjatuhkan penilaian. Katanya spontan, ya, kamu benar. Maaf ini, mungkin cocok hanya untuk bidang formasi lho. 

Demikian beberapa cerita dan poin refleksi yang bisa saya bagikan terkait tema "Salah Profesi." Salah profesi selalu mungkin terjadi dalam hidup ini, tetapi jangan lupa pakai ketenangan hati.

Salam berbagi, ino 26.03.2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun