Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zither dan Pesan Sunyi Musik di Jerman

24 Maret 2021   15:25 Diperbarui: 27 Maret 2021   09:10 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada gambar itu adalah sebuah alat Musik antik namanya Zither. Zither atau Sitar dalam bahasa Indonesia adalah istilah organologis (instrumental) untuk alat musik bersenar (akodofon), yang terdiri dari  satu atau lebih senar yang direntangkan di antara titik-titik tetap di atas pembawa senar yang juga berfungsi sebagai penguat resonansi. 

Alat musik ini berasal dari abad ke-19 di wilayah Alpen dan populer di kalangan  borjuis Eropa. Istilah Sitar berasal dari dari kata Yunani kithara. (bdk. de.m.wikipedia.org) 

Alat Musik bekas ini ditemukan  oleh seorang teman saya (As) di biara tua, biara Karmel di kota Bamberg, wilayah Bayern.

Ia menemukan alat Musik tua itu pada sebuah gudang ketika mereka harus pindah dan mengosongkan semua ruangan dan membersihkan ruangan-ruangan itu. 

Zither itu ditemukannya dalam sebuah kotak yang tua dan sudah usang, bahkan berdebu di bawah tumpukan barang lain yang sudah begitu lama di simpan di sana. 

Pada suatu kesempatan saya bertanya pada teman yang menemukan Zither itu, mengapa kamu menyimpan Zither itu? Ia menjawab," Saya menyelamatkan Zither itu untuk berbicara atau untuk mengatakan sesuatu. Akan tetapi, saya tidak tahu siapa pemiliknya, siapa yang pernah memainkannya itu. 

Dan penampilan fisiknya sudah tidak lagi selaras karena ada retakan pada pada kayu bagian belakang." Saya hanya mengatakan terima kasih kepadanya, karena cerita yang menarik. Tambahnya: Zither ini adalah alat musik yang tidak lagi menghasilkan musik.

Kata-kata terakhirnya sungguh menyentuh hati saya dan saya mengulang sendiri dalam batin saya: Alat musik yang tidak lagi menghasilkan musik. Apa yang bisa saya lakukan?

Ada beberapa gagasan yang muncul dari kata-kata ini: Alat musik yang tidak lagi menghasilkan musik.

1.  Kami berdua datang kepada suatu ide tentang suatu acara (Veranstaltung) seperti malam musik dengan refleksi tentang Zither dalam konteks pandemi ini. Rencana itu disepakati, dan kami membuat poster kecil untuk memberitahukan kepada publik bahwa akan ada Malam musik bersama Zither tua di tempat kami di Mainz.

2. Berusaha menghubungi grup musik dan beberapa penyanyi untuk menyanyikan beberapa lagu yang ditemukan dalam bungkusan Zither itu. Kami sepakat bahwa dalam acara nanti tidak akan ada banyak kata-kata, tetapi waktunya dibatasi 45 menit dan lebih banyak adalah saat untuk hening mendengarkan musik.

3. Perlu adanya refleksi tentang Zither sebagai alat musik yang tidak lagi menghasilkan musik. 

4. Komitmen bersama kami adalah berapa pun orang yang datang ke acara ini, acara itu akan tetap dilaksanakan.

Kenyataan yang menarik bahwa pada Jumat, 19 Maret 2021 lalu, acara itu telah berlangsung dan secara sangat mengejutkan bahwa ada 45 orang yang hadir pada acara itu. 

Tentu bukan kebanggaan tentang jumlah orang sih, tetapi apa yang bisa kami bagikan dalam acara itu. Nah, oleh karena itu, saya menuliskan 4 hal penting yang direfleksikan pada waktu itu berkaitan langsung dengan konteks korona di Jerman tentunya.

1. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita (bdk. Buku Mazmur 137:2)

Kalimat "Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita" terasa begitu nyata saat ini khususnya di Jerman. Padahal sebelum Covid-19 pesona musik-musik klasik tua itu bisa didengar di mana-mana, bahkan di jalan-jalan, di pasar, di area sekitar pertokoan, pemusik-pemusik jalan bermain musik sesuka hati mereka untuk menghibur dan juga mencari koin untuk kehidupan sehari-hari mereka.

Namun, sekarang tidak ada lagi musik yang mengiringi nyanyian, tidak ada lagi waktu untuk nyanyian, waktu untuk lagu, waktu untuk menari dan bernyanyi sudah berakhir. Waktu tanpa musik, waktu tanpa seni, waktu tanpa instrumen yang yang bisa dinikmati bersama teman-teman dan keluarga. 

2. Waktu tanpa seni adalah waktu yang menyedihkan

Selama setahun, orang harus mengalami bagaimana rasanya  harus melakukan sesuatu tanpa seni  dalam berbagai bentuk ekspresi, tentu untuk alasan yang baik. 

Pertanyaan adalah apakah hidup tanpa seni itu membuat hidup ini terasa lebih mudah? Penyanyi dalam buku Mazmur di atas bisa menjadi salah satu contoh jawaban bahwa pemazmur dalam Mazmur 137 telah sampai pada suatu titik jenuh di mana semua musik telah berakhir bagi mereka, bahkan mereka menggantungkan alat musik mereka pada pohon gandarusa.

Apa yang terjadi setelah itu? Pada kalimat awal buku Mazmur itu, tertulis di tepi sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita ingat kembali Sion. 

Dari kalimat ini, saya menangkap pesannya bahwa kehidupan tanpa musik itu kehidupan yang menyedihkan. Atau bisa dikatakan waktu tanpa seni itu adalah waktu yang menyedihkan. Dan kenyataan ini bukan hanya dulu, tetapi sekarang dan bahkan di mana-mana orang merasakannya. Covid-19 seakan telah menghentikan banyak hal indah yang bermakna bahkan telah menjadi bagian dari kultur suatu bangsa. 

Ini benar-benar pengalaman yang tidak mudah untuk orang Jerman. Budaya Karnaval dengan kekhasan masing-masing kota berhenti total setahun ini. Ya, kota-kota sungguh sunyi tanpa parade musik dan tarian. Tidak cuma itu, pengungsi yang sudah kehilangan segalanya pun, tidak punya kesempatan bernyanyi sukacita disini. Ibarat suatu setahun ini adalah waktu menjadi suatu kelumpuhan (Lähmung). Kelumpuhan yang bisa ditemukan dengan mudah di mana-mana. Lumpuh secara ekonomi, sosial dan bahkan seni. Namun demikian, haruskah semua orang seperti itu? Tentu, tidak.

3. Seni dan budaya adalah ekspresi eksistensi manusia

Waktu tanpa seni, bagaimana bisa? Beberapa kali saya menemukan selebaran protes karena larangan membuat acara konser musik atau semacamnya. Sebetulnya bisa dipahami kalau dilihat dari sisi protokol kesehatan yang mesti ditaati oleh semua, demi keselamatan. Namun, ternyata larangan dan pembatasan seperti itu tidak mudah bagi pemusik dan seniman yang punya daya kreasi dengan kerinduan begitu tinggi untuk berbagi kepada semua. Mereka melihat sisi lain dari seni yang berperan penting untuk kehidupan. Ya, seni dan budaya adalah ekspresi eksistensi manusia (Kunst und Kultur sind Ausdruck des menschlichen Daseins, bdk. Kulturat) 

Pemahaman tentang hubungan penting antara seni, budaya dan manusia bisa menjadi suatu tantangan berat setahun ini. Covid-19 seakan membatasi keberadaan manusia untuk bebas berekspresi seni dan budaya mereka. Menyangkal keberadaan dan harus menerimanya dengan tenang dan damai, itu selalu gampang. 

Saya ingat Leo Tolstoy yang menulis buku setebal 237 halaman dengan judul: Apa itu seni? Tolstoy di dalam bukunya menulis seperti ini: "Seni adalah mikroskop yang disesuaikan oleh seniman dengan rahasia jiwanya untuk menunjukkan rahasia yang sama bagi semua manusia."(bdk. Daskreativeuniversum)

Dari pemahaman seni seperti itulah, saya akhirnya mengerti mengapa seniman di Jerman terkadang protes atas kehilangan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan seni dalam berbagai bentuknya. Terasa sekali setahun sejak pandemi covid-19 ini para seniman seperti diminta untuk "menggantungkan "kecapi" atau kerinduan jiwa mereka untuk menyampaikan rahasia batin mereka sendiri kepada semua orang.

4. Seni di masa pandemi ini menuntun orang kembali kepada nyanyian sunyi hati

Saya melihat sisi lain dari protes dan kerinduan seniman Jerman untuk mengungkap jiwa mereka, meskipun mungkin gagasan ini tidak menarik bagi mereka. Akan tetapi, saya mengacu pada kata mikroskop" oleh Tolstoy, saya mau mengatakan bahwa adalah lebih baik pada pandemi covid-19 ini para seniman tetap melihat dan menemukan sisi-sisi lain positif sebagai ruang ekspresi jiwa mereka sendiri. Ruang publik mungkin sudah tidak mungkin lagi atau sudah berakhir, tetapi apakah tidak berlaku bagi ruang batin sendiri? 

Saya pikir inilah relevansi atau pesan penting kepada seluruh seniman pada masa pandemi ini, masuklah ke dalam batin dan temukan eksistensi seni itu di dalam kedalaman jiwa dan bagikan itu melalui media online. Pintu ruang batin dan ruang online bagi para seniman sama sekali terbuka lebar, karena seniman bisa mengekspresikan karya seninya secara online, sendiri dari rumahnya. 

Pesan penting simbol Zither di atas untuk para seniman adalah menemukan kembali ruang batin yang selalu siap berbagi kreativitas baru melalui media-media online. Pada titik inilah, sebetulnya ruang bagi seniman itu selalu luas, dan tidak ada alasan untuk menggantung kecapi mereka, apalagi harus menjadi sama dengan cerita Zither yang menjadi berdebu, lusuh di gudang bawah tanah, di antara tumpukan barang-barang bekas.

Demikian beberapa poin refleksi pribadi ini, yang bisa saya bagikan melalui Kompasiana untuk pembaca dan para seniman. Saya tetap percaya bahwa seniman dan pembaca pasti memiliki gagasan dan pendapat sendiri ketika bicara tentang seni di tengah pandemi. Saya berharap bahwa di Indonesia para seniman tetap bisa punya ruang ekspresi untuk menghibur dan menginspirasi siapa saja.

Akhirnya saya hanya bisa mengatakan bahwa alangkah indah dan pentingnya jika setiap orang menyadari dirinya bukan sebagai Zither tua yang tidak berguna, tetapi sebagai alat musik yang terus menghasilkan nada-nada musik yang teduh, tenang dan damai dalam kehidupan sehari-hari di tengah pandemi ini.

Salam berbagi, ino, 24

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun