Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Eksotisme dan Ragam Pesan dari Selembar Tenun Flores

18 Maret 2021   02:37 Diperbarui: 18 Maret 2021   05:00 2096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tenun Flores (Dokumentasi pribadi Heni)

Keterampilan dan seni masyarakat Flores memang luar biasa. Satu hal yang bisa saya bahas dalam kesempatan ini adalah terkait dengan seni dan keterampilan menenun sarung, baik itu kain sarung untuk pria maupun untuk wanita. 

Kenyataan menunjukkan bahwa Flores termasuk pulau kecil yang saat ini sedang berada di jantung promosi wisata. Meskipun pendapat ini cuma pendapat pribadi, namun saya mengatakan ini dengan beberapa keyakinan yang disertai dengan alasan. Dan berikut 5 alasan mengapa Flores menjadi jantung promosi wisata Indonesia:

1. Keindahan alam dan Komodo
Terkait keindahan alam, memang masih terlalu banyak objek keindahan yang belum dikenal publik, entah karena kurang promosi, dan lain sebagainya. Tentu Labuan Bajo, Padar, Kelimutu, dan beberapa tempat lainnya sudah semakin dikenal bahkan dunia. 

Selain itu, ada juga tempat yang sedang dikembangkan, seperti Tiwu Awu, kampung Tua Mbari, dan beberapa tempat lain di Kabupaten lainnya di Flores.  Sementara itu, Komodo sudah pasti menjadi objek wisata yang mendunia. 

Dalam suatu kesempatan kursus bahasa di Jerman, saya pernah membuat presentasi tentang Komodo dan senang juga sih, waktu itu presentasi saya menjadi suatu kesempatan untuk "promosi" yang sangat menarik dan berkesan bagi teman-teman dari beberapa negara, seperti India, Polandia, Iran, Irak, Italia, Portugis  dan Paraguay. Bersyukur juga sih ada kesempatan untuk itu.

2. Seni tari khas budaya
Hampir semua Kabupaten selalu ada tarian khas, Manggarai dengan Tari Caci, Bajawa dengan Tarian Ja'i, Ende dengan Tarian Gawi, Maumere dengan Tarian Hegong, Lara Tuka dengan Tarian Dolo-Dolo. Ya, tentu masih ada juga tarian-tarian lainnya yang belum dikenal. 

3. Kerajinan tangan
Kategori kerajinan tangan inilah yang mau dibahas secara khusus pada kesempatan ini.  Saya sangat tertarik dengan hal ini, karena kerajinan tangan itu berkaitan langsung dengan kreativitas manusia. Padahal di Flores itu tidak ada sekolah kerajinan atau sekolah seni atau semacamnya. 

Artinya, kerajinan tangan yang dimiliki masyarakat setempat merupakan warisan budaya mereka atau juga merupakan hasil belajar mandiri. Unik, bukan?

Tanpa teori formal, masyarakat yang tidak memiliki pendidikan khusus itu bisa melakukan sesuatu yang bernilai seni dan juga juga bernilai untuk kehidupan orang lain. 

Kerajinan tangan memang banyak sekali jenisnya yang bisa ditemukan di Flores, ada yang dari menganyam dinding dari bambu dengan bentuk tekstur yang beragam, ada lagi yang menganyam seperti dompet dan tas, alat musik tradisional, dan lain-lain.

Namun kali ini, saya ingin fokus pada seni menenun sarung. Saya sedikit mengenal karya seni ini karena saudari saya juga bisa menenun sarung untuk motif tenunan Ende. 

Kalau dilihat lebih dalam lagi, seni menenun sarung di Flores, sebetulnya memiliki ciri khas yang begitu unik dari setiap daerah. Dan semua orang Flores pasti tahu dalam membedakan motif khas dari daerah masing-masing. 

Tenun Flores (Dokumentasi pribadi Ino)
Tenun Flores (Dokumentasi pribadi Ino)
Pada gambar di atas adalah sarung yang dipakai kenalan saya di Maumere dengan motif Sikka. Motif karya seni menenun selalu berbeda-berbeda, tergantung dari imajinasi sang seniman. 

Siapa yang bisa berimajinasi, maka dia memiliki peluang untuk kemungkinan mendapatkan pesanan yang lebih laris di pasar lokal. Artinya seni dan keterampilan untuk masyarakat Flores bersifat terbuka pada kreativitas baru. Meskipun ruang kreativitas baru itu terbuka luas bagi para seniman, namun ternyata ada juga aturan yang mau tidak mau wajib ditaati. 

Nah, inilah yang menjadi bagian dari pengalaman unik di Flores. Orang tidak begitu saja menenun pada semua tempat.

Seni menenun untuk seniman di  wilayah Kabupaten Ende misalnya, masih terikat dengan urusan keyakinan masyarakat adat. 

Orang boleh menenun, namun tidak untuk mereka yang tinggal di wilayah pegunungan. Jadi, orang yang bisa menenun hanya di wilayah dataran atau pesisir pantai. Aneh juga sih dan sulit dijelaskan, mengapa? 

Seorang tokoh adat pernah mengatakan bahwa seni menenun itu adalah suatu mata pencaharian yang tidak pernah berakar pada tradisi kehidupan orang di pegunungan, yang semuanya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan mengerjakan ladang, menanam tanaman umur panjang, pokoknya mereka hidup bukan untuk menenun sarung. 

Hukum adat yang tidak tertulis itu mesti tetap dihormati dan dipatuhi. Sebab ada dampaknya jika ada yang melanggar, yang mana nantinya seniman akan mengalami sakit-sakitan. Kata tua adat bahwa itu sudah menjadi "tura jaji" atau semacam sumpah janji sejak dulu kala. 

Pada liburan musim panas tahun 2016, saya ke Flores dan membeli beberapa lembaran kain sarung hasil tenunan gadis Flores. 

Niat saya sederhana waktu itu, cuma untuk memberikan buah tangan untuk kenalan saya di Jerman. Ya, tentu sambil mempromosikan sedikit karya seni masyarakat di kampung dan kota Ende. 

Sangat mengejutkan bahwa kado kain sarung tenunan Flores itu dihargai oleh kenalan saya di Jerman, ada yang mahasiswi maupun yang sudah berkeluarga. 

Saya memberikan itu betul sebagai buah tangan dari kampung halaman. Hadiah itu untuk membuktikan bahwa apa yang pernah saya ceritakan itu benar-benar nyata. 

Keesokan harinya setelah menerima bingkisan kado Flores itu, beberapa teman saya datang menyampaikan rasa sungkan kepada saya. 

Mereka sungkan bahwa kado ini tidak pantas diberikan kepada mereka, karena merasa terlalu berharga. Padahal kan kado yang unik dan indah, ya harus istimewa tentunya. Mereka mengatakan bahwa seumur-umur belum pernah mendapatkan kado indah dan mahal seperti itu. 

Padahal di Flores, saat saya membeli harga satu selendang kecil itu seharga 100 sampai dengan 200 ribu Rupiah. Ya, itu harga kekeluargaan karena untuk sesama orang Flores. 

Nah, apa yang terjadi pada teman-teman saya itu, mereka begitu berbangga hati dengan kain tenunan itu, bahkan mengenakan pada acara Karnaval. 

Diam-diam mereka memberi saya 50 Euro dan ada juga yang 100 Euro. Saya merasa sungguh tidak enak, seakan-akan saya memberi untuk mendapatkan sesuatu atau do ut des. 

Sebetulnya, saya tidak menerima itu, tapi semua teman-teman saya mengatakan bahwa kain tenunan itu pasti sangat mahal. 

Mereka memberi saya uang sebagai bentuk untuk mengungkapkan penghargaan mereka pada karya seni masyarakat Flores.

Ide kecil tentang seni dan keterampilan masyarakat desa di Flores menjadi semakin liar di pikiran saya, cuma sayangnya saya tidak bisa lakukan banyak untuk hal seperti itu.

Namun pada waktu itu, akhirnya cuma menjadi khayalan semata buat saya. Bahkan dalam hati, saya juga ada harapan besar bahwa suatu saat jika itu memungkinkan, maka saya akan mempromosikan keberagaman motif tenunan Flores ke Eropa. 

Hari ini yang saya pikir adalah langkah awal yang menyenangkan ketika saya bisa menulis di Kompasiana untuk juga memperkenalkan budaya dan keunikan masyarakat Flores yang pernah dihargai dan dikagumi beberapa orang Eropa. 

Rasa haru dan bangga itu hanya bisa diungkapkan dengan hal-hal kecil melalui cerita atau pada momen tertentu di mana saat saya mengenakan tenunan karya tangan saudari saya bernama Regina. Karena saya tahu bahwa jiwa dan perjuangannya terlihat dari dalam lembaran tenunan yang indah dan menakjubkan itu. 

Belum lagi, kalau saya perhatikan motif dan gambar-gambar yang dilukiskannya, dari gambar yang tidak pudar membuat saya mengerti karya seniman itu perlu diwariskan, sekurang-kurangnya saya tulis melalui kisah-kisah tentang tenunan karya seni gadis-gadis Flores. 

Filosofi dan pesan sunyi memang tetap tersimpan rapi pada motif dan gambar pada tenunan itu. Siapa yang tahu? Atau siapa yang mau menafsirkan itu? 

Saya hanya ingin mencoba membaca dari versi pribadi tanpa menutup kemungkinan bagi penafsir lainnya untuk mencoba mengangkat aspek lainnya. Ada beberapa pesan dari tenunan Flores:

1. Pesan Pluralitas
Pesan keberagaman atau kebhinekaan sangat terlihat dari paduan dan perbedaan warna yang dipakai sebagai ciri khas dari masing-masing daerah. 

Keberagamaan yang dipelihara di daerah itu sendiri dan keberagaman dalam lingkup yang lebih besar, bisa menjadi tampilan sunyi dari pesan seni para gadis Flores yang menenun tanpa memikirkan apa pesan dan arti dari sebuah imajinasi seni.

2. Pesan tentang hubungan dengan yang lain
Pesan ini bisa dengan mudah ditangkap dari cara menenun itu sendiri. Satu benang mesti berhubungan dengan benang lain yang dari arah berlainan. 

Suatu dinamika seni yang mungkin menggambarkan dinamika kehidupan sosial masyarakat Flores. Masyarakat Flores adalah masyarakat yang terbuka pada perubahan dan perkembangan.

3. Pesan tentang gesekan dalam menenun kain
Kalau diperhatikan cara seseorang menenun, maka orang akan mendengar suara gesekan berirama yang runtut dengan nada ketukan berturut-turut 2 -3 kali. 

Dari jumlah ketukan itu, bisa diketahui tentang kualitas dari tenunan. Semakin banyak ketukan pada setiap barisan benang, maka semakin kuat tenunan itu. 

Bisa ya, ada logika seperti itu. Apakah logika seperti bisa berdampak pada mentalitas kehidupan orang Flores? Semakin ada banyak gesekan dalam menenun, dia semakin kuat? Bisa saja ya.

4. Pesan ungkapan spiritual
Sangat banyak juga gadis-gadis Flores menenun sarung dengan motif khusus dengan corak spiritual. Tentu, para seniman itu mau mengungkapkan karya jeritan hati mereka pada Pencipta, entah rasa syukur, harapan, cinta, dan lain sebagainya. 

Seni menenun bisa menjadi sarana yang mengungkapkan kerinduan spiritual masyarakat Flores. Tidak heran, kalau dalam upacara tertentu, ada kewajiban untuk mengenakan sarung tenunan asli masyarakat setempat. Ya, bisa jadi tenunan itu menjadi simbol identitas masyarakat Flores. 

5. Pesan tradisional yang terbuka pada perubahan (dialektika)
Sejauh yang saya ketahui, belum ada kewajiban bagi seseorang untuk menenun hanya dengan motif yang sama-sama saja. 

Memang ada motif khas. Akan tetapi, motif khas itu tetap saja perlu modifikasi dan kreasi baru yang melayani pesanan konsumen. 

Dari peluang untuk berkreasi itu tampak bahwa karakter masyarakat Flores adalah masyarakat yang terbuka pada kreasi baru sesuai dengan kebutuhan pasar atau konsumen.

Demikian beberapa catatan, cerita dan refleksi pribadi yang tentu dengan harapan agar karya seni dan keterampilan Flores bisa menjadi objek wisata ke depannya. 

Sebuah objek wisata akan jauh lebih menarik jika bisa diceritakan, bisa dibaca dan ditemukan pesan-pesannya. 

Menulis itu adalah cara menenun ide-ide. 

Salam berbagi.

Ino, 18.03.2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun