Saya memberikan itu betul sebagai buah tangan dari kampung halaman. Hadiah itu untuk membuktikan bahwa apa yang pernah saya ceritakan itu benar-benar nyata.Â
Keesokan harinya setelah menerima bingkisan kado Flores itu, beberapa teman saya datang menyampaikan rasa sungkan kepada saya.Â
Mereka sungkan bahwa kado ini tidak pantas diberikan kepada mereka, karena merasa terlalu berharga. Padahal kan kado yang unik dan indah, ya harus istimewa tentunya. Mereka mengatakan bahwa seumur-umur belum pernah mendapatkan kado indah dan mahal seperti itu.Â
Padahal di Flores, saat saya membeli harga satu selendang kecil itu seharga 100 sampai dengan 200 ribu Rupiah. Ya, itu harga kekeluargaan karena untuk sesama orang Flores.Â
Nah, apa yang terjadi pada teman-teman saya itu, mereka begitu berbangga hati dengan kain tenunan itu, bahkan mengenakan pada acara Karnaval.Â
Diam-diam mereka memberi saya 50 Euro dan ada juga yang 100 Euro. Saya merasa sungguh tidak enak, seakan-akan saya memberi untuk mendapatkan sesuatu atau do ut des.Â
Sebetulnya, saya tidak menerima itu, tapi semua teman-teman saya mengatakan bahwa kain tenunan itu pasti sangat mahal.Â
Mereka memberi saya uang sebagai bentuk untuk mengungkapkan penghargaan mereka pada karya seni masyarakat Flores.
Ide kecil tentang seni dan keterampilan masyarakat desa di Flores menjadi semakin liar di pikiran saya, cuma sayangnya saya tidak bisa lakukan banyak untuk hal seperti itu.
Namun pada waktu itu, akhirnya cuma menjadi khayalan semata buat saya. Bahkan dalam hati, saya juga ada harapan besar bahwa suatu saat jika itu memungkinkan, maka saya akan mempromosikan keberagaman motif tenunan Flores ke Eropa.Â
Hari ini yang saya pikir adalah langkah awal yang menyenangkan ketika saya bisa menulis di Kompasiana untuk juga memperkenalkan budaya dan keunikan masyarakat Flores yang pernah dihargai dan dikagumi beberapa orang Eropa.Â