Saat saya membaca event perlombaan dengan tema: "Unity in Diversity", hati saya tergerak untuk menulis tema itu, tentunya untuk berbagi dari pengalaman. Pengalaman apa? Ya, pengalaman kebhinekaan sebagai orang Indonesia. Ada tiga peristiwa yang membuka mata dan cara pandang saya, mengapa kebhinekaan itu sangat penting.
Tidak terbayangkan bahwa suatu ketika saya menikmati Pendidikan di Sekolah Islam. Tahun 1996-1999 saya terdaftar sebagai siswa pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah Ende, Flores NTT. Saya adalah seorang siswa Katolik, yang semula bercita-cita menjadi seorang pastor Katolik. Namun, dalam suatu kesempatan testing masuk Seminari semacam pesantren dalam Islam, saya ternyata tidak diterima, sementara sekolah-sekolah Katolik lainnya, sudah tidak lagi menerima pendaftaran siswa baru. Hari itu, saya pernah berkeliling dengan berjalan kaki dari SMAK St. Petrus di wilayah Bandara Haji Aroeboesman Ende, lalu kembali ke SMAK Frateran Ndao Ende, keduanya saya peroleh jawaban yang sama. Saya tidak diterima. Keputusan terakhir, mampirlah saya pada ruang Sekretariat SMA Muhammadiyah di pesisir pantai Ndao Ende. Saya diterima dengan ramah tanpa pertanyaan, mengapa saya mau sekolah di SMA Muhammadiyah. Bagi saya ini poin yang penting tentang keterbukaan menerima yang lain.  untuk juga mengenal pendidikan Islam. Saya  punya alasan juga untuk sekolah lain, tetapi mengapa waktu itu saya memiliki keputusan untuk sekolah di SMA Muhammadiyah?Â
Anggapan yang keliru tentunya, jika orang berpikir semata-mata seperti ini: Saya akan otomatis menjadi anak yang pintar, jika saya sekolah di sekolah favorit. Atau lebih konyol lagi, kalau ada yang berpikir begini: Jika saya sekolah di SMA Muhammadiyah, tentu nantinya saya akan menjadi seorang muslim. Semua anggapan ini tidak benar. Yang benar adalah selama tiga tahun di sana, saya tetap bisa mengikuti pendidikan agama saya dengan baik, bahkan itu sungguh diatur dan diperhatikan oleh Kepala Sekolah. Buktinya, sang Kepala Sekolah (1997-1999), Bapak Haji Jafar Abdulah selalu bertanya dan mencari tahu siapa yang mengikuti pelajaran agama di gereja Katedral Ende dan siapa yang tidak ikut.Â
Sekali lagi perhatian seperti ini, ya dari seorang Kepala Sekolah yang muslim bagi saya merupakan suatu contoh pendidikan toleransi yang sungguh menghargai kebhinekaan di sekolahnya. Kebhinekaan tidak lagi sebagai suatu teori tinggi saja, tetapi suatu pengalaman konkret yang terjadi sehari-hari sampai dengan hari ini.
Saya sangat berbangga bahwa hubungan persaudaraan kami sejak waktu itu hingga sekarang masih saja terjalin, tentu sebagai alumni SMA Muhammadiyah. Sekian tahun telah berlalu, namun kenangan mengikuti acara halal bihalal, kenangan makan kolak pada saat buka puasa bersama teman-teman muslim, tetap saja ada, bahkan rindu juga untuk mengalami sekali lagi, jika punya kesempatan.Â
Ini sebuah kisah nyata, bahwa sampai hari ini saya masih memiliki kontak yang rutin dengan mantan Kepala Sekolah saya waktu itu, Bapak Jafar Haji Abdulah. Kadang bapak Jafar meminta waktu untuk berdiskusi tentang sesuatu hal, kadang meminta dukungan doa dan pertimbangan, wah rasa haru dan bangga selalu meluap di hati saya. Ada rasa haru yang luar biasa ketika bapak Jafar bersama ibunya datang menghadiri acara syukuran panggilan hidup saya pada 3 Agustus 2008. Padahal, kami telah sekian lama hilang kontak. Saya tidak tahu, bagaimana sebagai Kepala Sekolah pada waktu itu, tetapi bapak Jafar tetap mengikuti perkembangan informasi tentang saya, bahkan hingga sekarang. Saya yakin tentunya perhatian seperti itu, dialami juga oleh teman-teman yang lain entah apa agamanya dan dari mana. Itulah cinta sang bapak yang luar biasa, bukan cuma untuk dikenang, tetapi juga harus dijadikan contoh dan teladan dalam hidup bersama di tengah kebhinekaan ini.
Pada lembaga pendidikan Muhammadiyah, saya belajar banyak tentang keterbukaan kepada yang lain, tentang hormat dan menghormati orang lain, ya tentang menghargai keyakinan agama yang berbeda dan tentu saya belajar juga tentang persaudaraan universal dan kedisiplinan.Â
Mengapa suasana di SMA Muhammadiyah Ende seperti itu? Tentu alasan yang paling mendasar adalah karena wawasan  tentang kebhinekaan Indonesia yang dipahami dan dihayati secara baik oleh semua warga sekolah SMA Muhammadiyah di sana.
2. Basodara dengan Orang Muslim
Saya percaya bahwa festival kebhinekaan ini menjadi saat yang istimewa untuk berbagi informasi dan pengalaman tentang kekayaan warisan kebhinekaan di Indonesia.Â
Ya, jadi ingat dalam beberapa kesempatan, "sodara-sodara", teman-teman SMA dulu membawakan masakan yang enak, yah ikan goreng, ubi cincang sore-sore saat kami belajar bersama. Tentu berbagi itu indah apalagi berbagi di antara kita yang berbeda agama. Sampai dengan saat ini, relasi persaudaraan terasa akrab meski cuma melalui media grup WhatsApp alumni. Contoh yang paling nyata adalah ketika saya membutuhkan beberapa foto dari SMA Muhammadiyah, saya bisa mendapatkan izin yang cepat dari Bapak Kepala Sekolah, Bapak Haji Malik Ahmad, SH.Â
Saling memberi dan berbagi memang sudah sering saya alami. Demikian juga ketika saya dalam kegiatan Natal Bersama di Frankfurt, saya selalu melihat dukungan dari saudara-saudari saya yang beragama lain, suku dan bahasa lain.  Mereka membawakan bakso yang enak, dan masakan khas Indonesia lainnya.Â
Dan satu ini yang unik, saya mengenal seorang ibu muslim yang suaminya orang Arab, ia bersedia datang dalam suatu acara meditasi buka hati yang saya siapkan. Pada waktu setelah meditasi, kami berdialog begitu akrab tentang banyak hal yang sekurang-kurangnya di mata kaum muslim itu tidak pernah dijelaskan. Ia bertanya apa adanya. Gelak tawa, canda ria menjadi warna khas acara kami waktu itu.Â
Ya, rasanya sungguh indah, karena dasar dialog itu adalah keyakinan bahwa semua kita sama sebagai saudara dan saudari, yang dipanggil untuk berbagi kebaikan. Satu pertanyaan saya waktu itu adalah: Agama apa sih yang tidak pernah bicara tentang kebaikan dan kemanusiaan? Mari, kita bicara sekarang.
Kebaikan dan kemanusiaan telah menjadi tema yang begitu indah waktu itu, bahkan menggugah hati peduli pada yang lain. Saya menjadi semakin yakin bahwa jika wawasan tentang kebhinekaan Indonesia itu dipahami dengan baik, maka warna kehidupan sehari-hari akan terlihat harmoni yang indah. Kebhinekaan tentu adalah hadiah yang indah dari Pencipta.
3. Menulis tentang Nurcholish Madjid
Saya mengerti bahwa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama itu bagaikan dua tiang besar yang memiliki andil menopang kebhinekaan di Indonesia, selain agama, suku dan bahasa lainnya yang juga berperan sama di Indonesia.Â
Karena itu, saya beruntung bahwa saya pernah mengenal sesama saya yang Muhammadiyah, saya juga pernah mengenal dan berwawancara dengan Kiai NU di kota Malang, dan secara pribadi saya suka dengan gagasan-gagasan dari Nurcholish Madjid. Ya, saya pernah membaca bukunya "Pintu-pintu Menuju Tuhan, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan." Bahkan saya berjuang membaca semua karyanya, ya butuh waktu karena Nurcholish Madjid menulis banyak buku bahkan artikel-artikel terkait bagaimana terbuka dan menjadi ramah kepada yang lain. Saat ini, saya sedang menulis salah satu tema dari Nurcholish Madjid untuk tulisan resmi di Universitas tempat saya kuliah di Jerman.Â
Dalam bukunya  tentang Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, tulis Nucholish Madjid: "pandangan kemanusiaan yang adil itu melahirkan kemantapan bagi prinsip pluralisme sosial, yang dijiwai oleh sikap saling menghargai dalam hubungan antarpribadi dan kelompok anggota masyarakat itu. Persatuan tidak mungkin terwujud tanpa adanya sikap saling menghargai ini. Dan persatuan yang akan membawa kemajuan ialah persatuan yang dinamis, yaitu persatuan dalam kemajemukan, persatuan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sebab, sekalipun prinsip kemanusiaan adalah satu, terdapat kebhinekaan dalam kesatuan itu."(Bdk. Dr. Budhy Munawar-Rachman, (penyunting): Karya Lengkap Nurcholis Madjid, Nurcholish Madjid Society, Cet. I, 2019, hlm. 114).
Gagasan tentang persatuan yang dinamis yang membawa dampak kemajuan ini mengingatkan saya akan Jakob Oetama yang belajar dan mengenal Max Weber, karena dalam teori etika protestantisme Weber yang mencari referensi untuk mengganggu kemapanan lewat peranan agama. Poin penting dari Jakob Oetama adalah bagaimana semangat keberagaman menjadi pendorong kemajuan dan bahwa pencarian keselamatan itu terjadi di sini dan sekarang ini (Hic et nunc), bukan nanti. (Bdk. St. Sularto (peny.), Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama, Kompas, 2011, hlm. 374).
Ada 5 Aspek yang penting untuk kebhinekaan, yang bisa diringkas dari tulisan ini:
1. Keberagaman atau kebhinekaan itu adalah kekayaan yang Tuhan berikan untuk kita semua. Ya, suatu kado gratis untuk kita semua.
2. Cara pandang yang terbuka dan positif yang dilandasi oleh semangat hormat menghormati perbedaan itu telah dialami dan dipelajari sejak SMA.Â
3. Orang perlu belajar juga tentang yang lain, seperti membaca buku-buku tentang suku, agama, bahasa lain, agar orang menjadi lebih mengerti tentang diri sendiri dan orang lain.
4. Komunikasi sosial perlu terus dibangun dalam bentuk dialog yang sederhana sehari-hari. Ya, dialog kemanusiaan dan kemajuan bersama.
5. Orang perlu berani menulis dan berbagi gagasan untuk membangun kebersamaan dan kemajuan.
Demikian beberapa gagasan dan pengalaman pribadi saya. Bagi saya sendiri itu semua adalah pengalaman bermakna, karena terkait dengan wawasan kebhinekaan. Suatu kebhinekaan yang pernah saya alami dan bisa saya bagikan melalui tulisan di Kompasiana ini. Karena itu, melalui tulisan ini, saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh Keluarga Besar SMA Muhammadiyah Ende, yang sebentar lagi hendak merayakan Reuni akbar. Doa dan syukur, serta berkat Tuhan menyertai seluruh keluarga besar alumni tercinta. Salam Bhineka Tunggal Ika.
Ino, 27.02.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H