Saya percaya bahwa festival kebhinekaan ini menjadi saat yang istimewa untuk berbagi informasi dan pengalaman tentang kekayaan warisan kebhinekaan di Indonesia.Â
Ya, jadi ingat dalam beberapa kesempatan, "sodara-sodara", teman-teman SMA dulu membawakan masakan yang enak, yah ikan goreng, ubi cincang sore-sore saat kami belajar bersama. Tentu berbagi itu indah apalagi berbagi di antara kita yang berbeda agama. Sampai dengan saat ini, relasi persaudaraan terasa akrab meski cuma melalui media grup WhatsApp alumni. Contoh yang paling nyata adalah ketika saya membutuhkan beberapa foto dari SMA Muhammadiyah, saya bisa mendapatkan izin yang cepat dari Bapak Kepala Sekolah, Bapak Haji Malik Ahmad, SH.Â
Saling memberi dan berbagi memang sudah sering saya alami. Demikian juga ketika saya dalam kegiatan Natal Bersama di Frankfurt, saya selalu melihat dukungan dari saudara-saudari saya yang beragama lain, suku dan bahasa lain.  Mereka membawakan bakso yang enak, dan masakan khas Indonesia lainnya.Â
Dan satu ini yang unik, saya mengenal seorang ibu muslim yang suaminya orang Arab, ia bersedia datang dalam suatu acara meditasi buka hati yang saya siapkan. Pada waktu setelah meditasi, kami berdialog begitu akrab tentang banyak hal yang sekurang-kurangnya di mata kaum muslim itu tidak pernah dijelaskan. Ia bertanya apa adanya. Gelak tawa, canda ria menjadi warna khas acara kami waktu itu.Â
Ya, rasanya sungguh indah, karena dasar dialog itu adalah keyakinan bahwa semua kita sama sebagai saudara dan saudari, yang dipanggil untuk berbagi kebaikan. Satu pertanyaan saya waktu itu adalah: Agama apa sih yang tidak pernah bicara tentang kebaikan dan kemanusiaan? Mari, kita bicara sekarang.
Kebaikan dan kemanusiaan telah menjadi tema yang begitu indah waktu itu, bahkan menggugah hati peduli pada yang lain. Saya menjadi semakin yakin bahwa jika wawasan tentang kebhinekaan Indonesia itu dipahami dengan baik, maka warna kehidupan sehari-hari akan terlihat harmoni yang indah. Kebhinekaan tentu adalah hadiah yang indah dari Pencipta.
3. Menulis tentang Nurcholish Madjid
Saya mengerti bahwa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama itu bagaikan dua tiang besar yang memiliki andil menopang kebhinekaan di Indonesia, selain agama, suku dan bahasa lainnya yang juga berperan sama di Indonesia.Â
Karena itu, saya beruntung bahwa saya pernah mengenal sesama saya yang Muhammadiyah, saya juga pernah mengenal dan berwawancara dengan Kiai NU di kota Malang, dan secara pribadi saya suka dengan gagasan-gagasan dari Nurcholish Madjid. Ya, saya pernah membaca bukunya "Pintu-pintu Menuju Tuhan, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan." Bahkan saya berjuang membaca semua karyanya, ya butuh waktu karena Nurcholish Madjid menulis banyak buku bahkan artikel-artikel terkait bagaimana terbuka dan menjadi ramah kepada yang lain. Saat ini, saya sedang menulis salah satu tema dari Nurcholish Madjid untuk tulisan resmi di Universitas tempat saya kuliah di Jerman.Â
Dalam bukunya  tentang Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, tulis Nucholish Madjid: "pandangan kemanusiaan yang adil itu melahirkan kemantapan bagi prinsip pluralisme sosial, yang dijiwai oleh sikap saling menghargai dalam hubungan antarpribadi dan kelompok anggota masyarakat itu. Persatuan tidak mungkin terwujud tanpa adanya sikap saling menghargai ini. Dan persatuan yang akan membawa kemajuan ialah persatuan yang dinamis, yaitu persatuan dalam kemajemukan, persatuan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sebab, sekalipun prinsip kemanusiaan adalah satu, terdapat kebhinekaan dalam kesatuan itu."(Bdk. Dr. Budhy Munawar-Rachman, (penyunting): Karya Lengkap Nurcholis Madjid, Nurcholish Madjid Society, Cet. I, 2019, hlm. 114).
Gagasan tentang persatuan yang dinamis yang membawa dampak kemajuan ini mengingatkan saya akan Jakob Oetama yang belajar dan mengenal Max Weber, karena dalam teori etika protestantisme Weber yang mencari referensi untuk mengganggu kemapanan lewat peranan agama. Poin penting dari Jakob Oetama adalah bagaimana semangat keberagaman menjadi pendorong kemajuan dan bahwa pencarian keselamatan itu terjadi di sini dan sekarang ini (Hic et nunc), bukan nanti. (Bdk. St. Sularto (peny.), Syukur Tiada Akhir Jejak Langkah Jakob Oetama, Kompas, 2011, hlm. 374).