Rasa iba berlalu tanpa sapaan
Covid-19 menyeret hati masuk dalam dilema sepanjang hari. Ingin sekali menolong dan menyapa, namun rasa curiga tak bisa jauh dari pikiran.
Nenek tua renta sempoyongan berjalan
Dituntun gadis muda entah siapa. Keduanya berjalan tanpa bincang-bincang, apalagi mengeluh dan saling menatap.
Pergi entah ke mana dengan langkah gemetar.
Rasa haru dan iba menyobek kalbu
Tak bisa elakan ragu, ingin menolong, namun takut ditolak. Sore itu gerimis kecil tanpa salju.
Dilema antara cinta dan benci. Dilema antara rasa iba dan harus terpisah. Tersenyum meski harus tertutup. Tertawa pun mesti tetap dibungkus.
Hilang rasa, namun harus percaya. Hati terdalam jauh mendamba meski tak pernah terlihat. Sekarang bukan cuma hati yang sulit dilihat, tetapi juga mulut dan ekspresi wajah hilang ronanya.
Ekspresi wajah sirna bersama bencana korona.
Entahkah kejujuran hati jauh lebih penting daripada wajah tersenyum namun sakit hati? Mati ekspresi wajah, agar hati lebih bicara. Hentikan mulut yang suka menertawakan, agar ibamu sungguh berwujud cinta yang tulus dan sahaja.
Menolong sesama tak selamanya harus banyak bicara. Diam dan berjalan bersamanya jauh lebih berarti dari rasa curiga. Menaruh harapan bahwa semuanya akan berubah itu rahasia agar hari esok bisa diterima dengan riang.
Korona terus menabur duka, tapi cintaku tetap membara. Membara dalam kata-kata yang menguatkan. Hidup boleh terpisah, namun kataku bisa melampaui segalanya. Untukmu pembaca, kutitipkan kata cinta yang tidak boleh pudar bagi sesama. Jangan pandang agamanya, karena "cinta" itu untuk semua dan "kata" itu milik manusia.
Bagikan kata cinta, maka wajah dunia akan berubah jadi ramah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H