Menemukan kekuatan iman
Syair selanjutnya, Jenkins mengajak siapa saja dengan kata-kata ini: Stand up and feel //The Holy Spirit //Find the power of your faith". Berdiri dan rasakan Roh Kudus, temukan kekuatan imanmu. Pengalaman pribadi saya ketika menerima kado ucapan dari sang Uskup Limburg terasa seperti goresan syair indah Jenkins mencapai puncak kenyataan bahwa melalui kado natal yang kecil itu, saya merasakan ada saluran kekuatan iman dan solidaritas yang dibagikannya.Â
Ajakan Jenkins untuk berdiri dan merasakan Roh Kudus sama sekali tidak menemukan kesulitannya, hanya ketika ada suatu pengalaman konkret itu. Kado itu telah berubah makna bukan sekedar barang-barang yang bisa dinikmati sekejap, tetapi telah mewakili gagasan besar tentang Allah yang solider. Solidaritas Allah akan sulit dibahas dan direfleksikan, jika tanpa pengalaman langsung solidaritas dan persaudaraan dari orang lain atau dari diri kita kepada orang lain. Kekuatan iman justeru semakin dirasakan ketika semakin banyak orang tergerak oleh kasih persaudaraan mau berbagi melalui kata, tegur sapa dan kado-kado kecil yang sederhana.
Buka hatimu untuk yang lain
Katherine Jenkins tidak hanya memiliki visi kemanusiaan dan ajakan untuk kembali ke akar spiritualitas, tetapi ia juga mengajak manusia untuk kembali ke hati: Open your heart//To those who need you//In the name of love and devotion." Persaudaraan dan pengalaman akan Allah yang solider terkait erat sekali dengan hati manusia. Entah apa yang menjadi latar belakang Jenkins menulis syair lagu: "I Believe" ini, tetapi bagi saya ajakan Jenkins merupakan suatu seruan profetis untuk reformasi hati.Â
Tentu, reformasi ini bukan dari dasar teori, tetapi dasar ungkapan hati Jenkins sendiri, ya "aku percaya." Mengapa Jenkins mengajak orang untuk membuka hati bagi orang yang membutuhkan? Pertanyaan ini bisa dijawab dari berbagai sudut pandang, namun bagi Jenkins dasar yang penting dari solidaritas persaudaraan kepada yang lain adalah "in the name of love and devotion".Â
Jawaban Jenkins ini telah mengangkat tema solidaritas dan persaudaraan sebagai satu tema penting dengan aksen universal di satu sisi, dan juga menepis segala aksi sosial yang hanya mengatasnamakan agama, popularitas diri dan bahkan atas nama golongan tertentu di sisi lainnya. Refleksi seperti ini jelas searah dengan dokumen ensiklik Fratelli tutti. Paus Fransiskus menjelaskan esensi dari keterbukaan yang bersahabat yang memungkinkan setiap orang melampaui lingkungannya sendiri dan di luar tempat di dunia tempat dia dilahirkan dan di mana dia tinggal untuk diakui, dihargai, dan dicintai." (Ft, No.1)
Sebagai anggota Karmel, saya turut merasakan betapa penting dari sisi nilai relevansi tema persaudaraan itu sendiri. Romo Florianus Stefanus Buyung, O.Carm sebagai Komisaris Komisariat Karmel Indonesia Timur dengan sangat tepat menentukan tahun 2020 sebagai tahun persaudaraan. Ajakan untuk merefleksikan kharisma persaudaraan menjadi sangat relevan.Â
Karena itu, saya mengutip kembali surat dari Komisaris pada 24 Desember 2019 lalu: Dalam surat saya yang pertama, saya menyampaikan ARAH DASAR kita untuk tiga tahun kepemimpinan (2018-2021) yaitu AMALKAN KHARISMA KARMEL: Bersama Maria dengan Mata yang Terarah kepada Kristus. Berdasarkan Arah itu, kita lalu menyusun program tiga tahunan. Dan sekarang sampailah kita pada tahun kedua, Tahun Persaudaraan (2020): Amalkan Kharisma: Komunitas Solid -- Panggilan Kuat (Berbagi Pengalaman Akan Allah -- Mencintai dengan Hati Tuhan)."Â
Lanjutnya: Persaudaraan adalah unsur dasar kehidupan kita sebagai Karmelit. Persaudaraan menjadi salah satu pilar kehidupan Karmel. Untuk membangun persaudaraan tidak bisa dilepaskan juga dari sebuah kehidupan komunitas. Komunitas (cum -- unus), satu bersama dengan yang lain, harus dibangun terus menerus dari hari ke hari kehidupan kita." Tahun 2020 merupakan tahun penuh pergulatan menghadapi krisis Covid-19. Perspektif persaudaraan telah menjadi refleksi sentral dari Paus Fransiskus untuk dibaca dan direnungkan dunia.
Oleh karena itu, saya merasakan betapa kharisma persaudaraan yang dihayati para Karmelit itu sendiri diterima di tengah dunia. Namun, mungkin Jenkins bisa melengkapi refleksi persaudaraan ini, bahwa kebanggaan kita bukan hanya berhenti dengan kesadaran bahwa persaudaraan itu adalah kharisma Karmel, tetapi mesti seperti Jenkins berani mengatakan: atas nama cinta dan pengabdian". Tanpa cinta dan pengabdian, kharisma itu sendiri hanya tinggal nama atau hanya sebuah judul, I believe."