Sebagai seorang gadis yang tidak pernah pacaran, aku kini merasa sangat bahagia bisa dekat dengan seorang lelaki yang baik hati, pintar dan manis. Aku semakin kagum dengan kak Misaki. Terkadang dia mentraktir aku makan dan memberikan aku hadiah kecil. Dia juga banyak bertanya tentang apa yang sebenarnya disukai oleh seorang perempuan. Aku menjadi sangat percaya diri.
"Hei Nayla! Kamu gila ya? Aku rasa kamu terlalu terburu-buru."
"Aku sudah cukup yakin Syahrir. Aku rasa aku harus bisa maju duluan. Lagipula, aku takut nanti Kak Misaki direbut perempuan lain kalau aku tidak gerak cepat."
"Kamu yakin? Nayla, Dia mungkin saja tidak sebaik yang kamu pikirkan."
"Kamu ini ya. Kak Misaki itu orang yang sangat baik."
Meskipun aku kesal, aku pun menuruti nasihat Syahrir. Sebagai sesama orang Indonesia, aku merasa nasihat Syahrir tidak ada salahnya di coba. Apalagi untuk sesama laki-laki, Syahrir pasti sangat tahu akan hal ini. Aku menahan egoku dan berusaha untuk mengenal kak Misaki kembali setidaknya sampai masuk awal musim dingin.
Semuanya sia-sia. Seandainya aku tidak pernah melakukannya aku pasti tidak akan merasa sakit hati seperti ini. Aku ini bodoh karena terlalu percaya pada diriku sendiri. Di bawah pohon bersalju, aku menyatakan perasaanku yang meluap. Yang aku dapatkan bukan pelukan hangat atau elusan lembut. Melainkan sebuah kalimat yang menghujam hatiku.
"Gomen ne Nayra. Aku sudah menganggap kamu seperti adikku sendiri. Lagipula sebentar lagi kakak akan menikah. Kakak sudah bertunangan."
"Benarkah kak Misaki? Aku... Aku yang harusnya minta maaf karena mengganggumu. Aku hanya ingin mengutarakan perasaanku. Maafkan aku kak. Semoga kakak bahagia."
Aku pun berlari. Salju yang turun dan dinginnya udara musim dingin seolah mewakili perasaanku. Seharusnya aku tidak terlalu percaya diri dan mencari tau lebih dalam. Kalau saja kita tidak pernah saling mengenal, aku pasti tidak akan sakit hati karenamu.
"Nayla?"