Mohon tunggu...
Inong Islamiyati
Inong Islamiyati Mohon Tunggu... Penulis - Gadis pemimpi dan penyuka anime

See the world with a different style and finding happiness

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasih Sayang yang Terlupa

31 Juli 2024   08:00 Diperbarui: 31 Juli 2024   11:57 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Napas seorang gadis muda hampir saja menghilang. Kalau saja malam itu dia tidak  ditemukan warga, mungkin gadis itu sudah berpindah dimensi ke alam lain. Sekarang gadis itu tengah cemberut menatap infus di tangannya, sambil sesekali melihat ke arah luar jendela.

“Mungkin seharusnya aku lebih malam lagi kalau mau bunuh diri. Jadi tidak akan ditemukan siapapun,” gumam gadis itu. Dia kesal. Dia hanya berencana untuk mati dengan tenang namun malah gagal dengan memalukan.

Plak! Pipi gadis itu ditampar oleh seorang wanita paruh baya yang berdandan sok modis seperti anak remaja.

“Kamu ini bikin Tante malu Rani! Bisa-bisanya malah niat bunuh diri. Kamu tidak pikir panjang apa? Gara-gara tindakanmu Tante jadi dicemooh sama semua orang!”

Rani sekilas menoleh dan tetap diam. Dia tidak mau dan muak mendengar omongan tante Hana. Dia tahu dan sangat paham. Tante Hana sebenarnya tidak pernah peduli pada Rani dan adiknya. Kalau saja kedua orangtua Rani masih ada, Rani juga tidak mau tinggal di rumah Tante Hana meskipun Tante Hana adalah adik kandung dari mamanya.

“Huh dasar kakak. Kalau saja kakak dan suaminya becus membesarkan kamu dan Ridho, kalian pasti bisa menjadi anak yang berbakti dan membanggakan Tante. Sekarang apa? Kalian berdua hanya bisa membuat Tante malu! Sudahlah Tante mau urus administrasi dulu. Kamu terpaksa harus menginap di rumah sakit malam ini Rani.” Tante Hana segera berlalu meninggalkan Rani sendirian. Raut wajahnya hanya menyiratkan amarah tanpa belas kasih sama sekali.

Rani meringis. Sebenarnya apa kesalahan yang pernah dia perbuat sampai seolah-olah Tuhan begitu murka padanya. Orangtua Rani meninggal karena kecelakaan mobil saat Rani baru lulus SMA dan adiknya Ridho baru lulus SMP. Sejak saat itu hidup kakak beradik ini berubah total. Rani memutuskan untuk tidak kuliah dan bekerja di salah satu toko kelontong. Percuma saja! pikirnya, saat itu. Meskipun Rani mendapatkan beasiswa di luar kota, dia tidak tega meninggalkan adiknya seorang diri. Apalagi sebagai anak pertama Rani merasa punya tanggung jawab besar kepada adiknya, Ridho. Satu-satunya, keluarga Rani yang masih tersisa.

Rani masih ingat dengan jelas rekreasi terakhir mereka sekeluarga. Saat itu semuanya terasa indah. Mamanya selalu memasak puding coklat spesial kesukaan Rani. Ayah akan menceritakan hal seru yang pernah dia alami di masa muda dan kadang bercerita ketika dia pertama kali mengenal mama. Rani dan Ridho mungkin sudah mendengar kisah itu puluhan kali tetapi mereka tidak pernah bosan dengan guyonan sang ayah.

Tuhanku, aku sudah tidak sanggup untuk hidup lagi di dunia ini. Aku mohon cabut saja nyawaku sekarang. Aku hanya ingin bertemu dengan mama dan ayah kembali. Rani kembali meluapkan kesedihannya sambil sesekali meneteskan air mata.

Sinar matahari menyinari kasur Rani. Membuatnya terpaksa untuk bangun. Rani terkejut melihat Ridho adiknya, tertidur pulas di pinggiran kasur.

“Kakak...” Ridho terbangun karena Rani sengaja mengelus rambutnya.

“Iya dek.”

“Kak Rani Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa kakak mau tinggalin Ridho sendirian kak. Ridho mohon jangan pergi.”

“Kakak sudah tidak sanggup dek. Kakak mau mati saja daripada harus hidup di tengah penderitaan begini. Kakak mau ketemu sama ayah dan mama.”

“Lalu... Kakak mau meninggalkan Ridho di dunia ini sendirian? Jangan menyerah begitu kak. Ayo... kita pergi saja. Kita keluar dari rumah Tante Hana dan hidup mandiri. Hanya ada kakak dan aku.”

“Kamu yakin dek? Meskipun kita berdua bekerja tapi gaji kita sangat kecil. Apa kamu berani? Kita akan tinggal sendirian dan harus menjauh dari semua saudara-saudara kita.”

“Sekarang coba lihat realitanya kak. Meskipun kita sedang kesusahan begini, apakah ada saudara yang mau membantu kita? Paling cuma Tante Hana. Itu juga dengan rasa terpaksa dan tidak ikhlas. Ayo kita pergi saja.”

Rani mengangguk. Meskipun sekarang ada ribuan pertanyaan dan keraguan yang melanda hatinya, sorot mata Ridho membuat Rani akhirnya yakin. Bahwa meski hanya berdua, mereka bisa bertahan menghadapi kekejaman dunia ini.

Awalnya Rani dan Ridho mengira Tante Hana akan keberatan akan keputusan mereka. Namun ternyata raut wajah Tante Hana terlihat begitu cerah. Rona wajahnya terlihat sangat bahagia seolah sudah sejak lama Tante Hana menunggu kedua anak ini untuk pergi dari rumahnya. 

Padahal sejujurnya, rumah itu adalah rumah milik almarhum orangtua Rani. Ketika keduanya meninggal, Tante Hana berpura-pura peduli dan iba kepada keponakannya, dengan tujuan yang sebenarnya sangat jahat. Tanpa sepengetahuan Rani dan Ridho, semua harta milik orangtua mereka sudah dipindahkan atas nama Tante Hana. 

Rani dan Ridho tidak diberikan satupun hak harta orangtua mereka. Dengan tatapan nanar dan sedih, Rani dan Ridho keluar dari rumah itu. Rumah penuh kenangan indah yang kini harus mereka tinggalkan demi kehidupan yang lebih baik.

Kini Rani dan Ridho hidup dengan mengontrak sebuah rumah kecil di kota lain. Rani kini kembali mendapatkan pekerjaan di sebuah toko baju. Sementara Ridho, kini menjadi pelayan di sebuah rumah makan. Meskipun hanya seorang pelayan, kadang-kadang Ridho juga dimintai tolong untuk memasak apabila orderan sedang banyak. Tanpa disangka masakan sangat Ridho sangat enak sehingga sekarang posisi Ridho berubah dari seorang pelayan menjadi tukang masak.

“Silakan dicicipi kak. Nasi goreng spesial ala chef Ridho.” Ridho membungkuk sembari bergaya bak seorang chef ternama. Rani terkikik melihat tingkah adiknya.

“Iya iya, kakak makan ya. Hmm... enak sih tapi kayaknya kok agak asin yah. Cie... Ada yang mau kawin nih,” goda Rani sambil menyenggol bahu Ridho.

“Ih kakak. Ini enak kok. Asin dari mana sih? Kayaknya lidah kakak yang bermasalah.”

Rani merasa senang. Meskipun kini mereka harus berjuang untuk hidup, tetapi kini perasaan Rani jauh lebih lega. Dia berterima kasih kepada Tuhan karena masih memberikan kasih sayang lewat adiknya. Rani bersyukur karena memiliki seorang adik. Setidaknya, dia masih bisa bertahan hidup dan merasakan sedikit kehangatan di tengah dunia yang dingin ini.

“Kok malah senyam-senyum begitu sih? Kakak yang aneh.” seru Ridho sembari bangkit dari tempat duduknya untuk mencuci tumpukan piring kotor. Rani pun ikutan bangun untuk membantu adiknya.

Penulis

Inong Islamiyati. Seorang penyuka kucing, animasi dan film. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun