Mohon tunggu...
INOCENSIUS Y. NG.
INOCENSIUS Y. NG. Mohon Tunggu... Lainnya - Bergerak menuju perubahan

Pemuda Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilkada 2024 dalam Balutan Politik Uang

11 Agustus 2024   17:17 Diperbarui: 11 Agustus 2024   17:20 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto:penulis

PILKADA 2024 DALAM BALUTAN POLITIK UANG

Oleh: Inocensius Yohanes Ngongo, S.I.P

Pemilu adalah momentum pesta demokrasi yang selalu ditunggu dan dinantikan masyarakat untuk memilih wakil-wakil rakyat sebagai pemimpin yang akan menjadi jembatan aspirasi demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan melalui pelayanan public, pembangunan, dan penegakan hukum

Oleh sebab itu, politik uangpun menjadi salah satu fenomena yang tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan pesta demokrasi dimana politik uang sudah menjadi salah satu variabel kunci untuk memobilisasi warga dalam setiap konstestasi electoral yang berlangsung.

Isu yang selalu bergulir lima tahunan ini memang terkesan lumrah dan biasa-biasa saja, namun perlu kiranya untuk mendapat perhatian kita bersama dan mesti diberantas sehingga tidak dilihat sebagai normalisasi baru oleh masyarakat yang notabene tidak memiliki pemahaman politik yang baik.

Mengingat bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 sudah didepan mata, penting kemudian kita membangun kesadaran bersama secara kolektif sebagai masyarakat pemilih agar tidak tergiur dari rayuan jual beli suara. Tentu ini saya kira menjadi ujian berat bagi kualitas demokrasi kita.

Kita coba berkaca pada pemilihan umum (Pemilu) tanggal 14 februari 2024 yang lalu, politik uang bahkan sudah menjadi wabah dan tersebar diseluruh daerah. Selain didalamnya actor politik, warga pemilihpun cenderung mendukung politik uang tersebut sebagai hal yang wajar dalam meraih kekuasaan.

Fenomena masyarakat pemilih, ada orang yang kemudian menantikan pemilu atau pemilihan sebagai momentum memberikan kedaulatan kekuasaan rakyat, melainkan juga menjadi tempat memane uang yang banyak berasal dari berbagai partai politik. Singkatnya masyarakat melihat pemilu/pemilihan sebagai momentum 'memeras uang' yang akan ditukar dengan suara pada hari pencoblosan dibilik suara. Jumlahnya kemudian tidak tangung-tanggung dan bervariasi, mulai dari angka Rp.100.000 sampai dengan Rp.500.000 persuara atau wajib pilih

Bisa dibayakan kemudian bahwa politisi harus uang yang cukup banyak agar dapat menggaet suara dan kemudian memastikan menang dalam kostestasi politik. Saya kira ini adalah arena persekongkolan politik dengan pemodal atau pendonor yang memiliki kepentingan politik jangka pendek dan bukan merupakan kepentingan politik jangka panjang.

Namun, masih tedapat politisi yang kemudian kritis dan menyesali adanya tindakan seperti ini. Bagi politisi yang seperti ini, pendidikan politik menjadi indicator kunci untuk menentukan pilihan politik. Transfer ide, gagasan alat tukar menggaet simpati rakyat. Sebab dalam pemikiran politisi seperti ini bahwa kedaulatan politik ada di tangan rakyat.

Sehingga kemudian genaplah, defenisis demokrasi sebagai pemerintahan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Secara normtif, demokrasi itu terus dituntut menyerahkan kekuasaaan itu kepada rakat atau demos.

Sebagaimana disampaikan oleh Abraham Lincoln (1863) bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people and for the people) bahwa dalam pandangan Lincoln demokrasi melibatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan mengutamakan kepentingan rakyat.

Joseph Schumpeter (1942) juga mendefenisikan demokrasi sebagai sebuah system pergantian kekuasaan secara damai dan berkala karena parah peserta pemilu berkompetisi untuk merebut dukungan pemilih.

Hal ini tentu saja mustahil dilakukan ketika pertarungan dalam demokrasi electoral, kompetisi politis ternayata digerakan oleh politik transaksional dengan wajib pilih dan kemudian legitimasi demokrasi kian runtuh.

FENOMENA

Masih segara dalam ingatan kita terkait kasus dikampung Rura, Desa Rura, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai, dimana tim sukses salah satu calon legislatif yang diduga dari partai nasdem meminta warga kembalikan babi dan uang sejumlah Rp 150.000 karena tidak ada suara caleg tersebut dikampung tersebut.

Kasus ini kemudian terungkat seusai pemilu berlangsung, saat tim sukses dan wajib pilih bersiteru. Hinggi kini, kasus itu masih diproses oleh Centra penegakan hokum terpadu (Gakumdu) Kabupaten Manggarai.

Jika dilihat menurut Nicher yang dikutip Burhanuddin Muhtaddi dalam buku Kuasa Uang: politik uang dalam pemilu pasca oer baru (Muhtadi,2020:10) salah satu kasus diatas merupakan klientelismes atau relasi kuasa electoral dimana distribusi imbalan material kepada pemilih hanya dilakukan pada saat pemilu berlangsug. Artinya hubunganitu dibangun untuk kepentingan politis selama masa pemlu.

Karena itu, hemat pemikiran saya perlu sekiranya ditelisik lebih jauh alasan yang mungkin sehingga politik uang tersebut tumbuh subur saat pemilu. Yang pertama bahwa satu kasus tersebut diatas diperilihatkan kepada public bahwa politik uang selalu beroperasi dan menyasar masyarakat menengah kebawah. Kemudian ruang-ruang tersebut akan di isi dengan upaya menawarkan sejumlah uang sebagai alat tukar ata pilihan politik disaat masyarakat dalam keadaan mendesak merasa perlu mendapatkan uang sebagai penukar suara politiknya.

Yang kedua, bahwa tingkat pendidikan yang minim adalah pintu gerbong masuknya politik uang. Kasus diatas adalah gambaran keterbatasan pengetahuan masyatakat kita tentang politik electoral. Hal yang kemudian disoroti adalah kurangnya keberpihakan partai-partai politik untuk mendorong keasadaran politis masyarakat. Justru kemudian partai-partai politik membiarkan organ-organya melakukan kecuragan ditengah kompetisi dalam partai politik untuk mendulang suara. Dan yang ketiga adalah sulitnya membangun hubungan emosional-psikologis yang menjadikannya sebagai modal social.

SARAN

Menurut saya, untuk kemudian meminimalisasi bahaya laten, politik uang ini perlu kerja kerasa dari penyelenggara pemilu, terutama membangun peradaban pendidikan politik yang memihak kepentingan masyarakat atau public. Selain dari pada itu, penting kiranya kehadiran partai politik membawa dampak terhadap peradaban politik ditingkat local.

Saya kemudian mengharapkan bahwa menjelang pilkada 2024 partai-partai politik sebagai organ atau wadah yang mampu membangun konsilidasi pencerahan dengan warga pemilih untuk menolak praktik politik uang yang kemudian menyabotase kedaulatan rakyat. Sehingga pendidikan politik berdampak pada terebentuknya kesadaran kolektif warga masyarakat tentang kedaulatannya dalam Negara dan turud menjadi bagian menjaga kualitas demokrai kita.

Penguatan kapasitas kepada penyelenggara pemilu yang sekiranya perlu ditingkatkan. Beragam pelanggaran pemilu pada waktu lalu mesti menjadi perhatian serius dievaluasi, sehingga penyelenggara ditingkat bawah lebih proaktif dan responsive dalam mengawasi proses politik. Untuk kemudian membantu kerja-kerja penyelenggara, tentu mendorong lembaga-lembaga pemantau independen mesti perlu dilakukan. Dengan membangun keasadaran politik masyarakat maka kualitas demokrasi kita akan terjaga.

Mesti ada kesamaan ide dan gagasan dan juga emosional sehingga pengawasan terhadap pendidikan politik semakin adil dan merata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun