Tujuh tahun lalu, aku duduk dikelas lima sekolah dasar. Saat itu aku masih suka bermain dan termasuk anak yang kurang menyukai pelajaran menghitung. Mungkin sebelumnya tak pernah terpikirkan bahwa akan ada perubahan. Mengapa? Karena nilai matematikaku selalu mengecewakan. Sampai sampai Ibuku sudah sering memarahiku akan hal ini. Aku juga bisa dibilang anak yang sedikit nakal. Aku pernah berbuat buruk kepada temanku karena merasa iri terhadapnya yang pintar dalam menghitung. Sampai saat raport kenaikan kelas dibagikan, aku mendapatkan rangking 15. Karena hal itu, aku kurang dapat dipercaya oleh teman temanku untuk mengerjakan soal LKS kelompok. Menurut mereka aku ini tidak pintar dan jawabanku sudah pasti jauh dari kata benar. Aku sedikit tersinggung akan hal tersebut, namun aku coba untuk tidak terlalu memikirkannya.
   Setelah pembagiaan raport kenaikan kelas, aku dinyatakan naik ke kelas 6. Libur semester datang dan aku banyak menghabiskan waktu dengan bermain. Bermain itu bagaikan asupan sehari hari bagiku saat itu. Tak terasa, tahun ajaran barupun sudah datang. Aku masuk kedalam kelas yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah. Saat masuk kelas, aku melihat teman temanku yang dulu pernah sekelas denganku, sebagian lagi ada yang terihat asing bagiku karena kami belum pernah mendapatkan kelas yang sama sebelumnya. Wali kelas baruku, yaitu Ibu Iyet masuk kedalam kelas dan mulai memberikan informasi mengenai kelas, persiapan UN, dan proses belajar. Sesudah itu, Bu Iyet memberikan kami soal matematika mengenai operasi hitung. Dimana didalamnya ada bilangan negatif positif.
   "kerjakan. Lihat soalnya dengan teliti. Ini merupakan matematika dasar yang harus kalian kuasai sebelum beranjak lebih jauh" kata Bu Iyet dengan suara tegasnya. Bu Iyet ini termasuk guru yang terbilang galak dan killer. Setiap ada anak yang nakal, beliau ini selalu memarahinya. Memarahinya ini bukan berniat apa apa, beliau ini sayang kepada kami. Akupun yang notabenya sedikit takut dengannya langsung berusaha mencoba mengerjakan walau aku tak pernah mengerti bagaimana caranya. Butuh puluhan menit bagiku untuk menyelesaikan soal ini. Awalnya aku sudah berpikir bahwa jawabanku akan banyak yang salah, karena aku tahu kalau diriku ini kurang dalam hitungan.
   Aku pun berniat untuk meminta diperiksa, saat diperiksa ternyata aku hanya salah dua soal dari sepuluh soal. Awalnya aku kira ini hanya sebuah kebetulan atau hari baikku saja. Tiba tiba salah satu temanku bertanya kepadaku "Nay, kamu berapa?". Lalu aku menjawab "80, aku kira aku akan mendapatkan nilai yang kecil". Lalu diapun mengangguk dan pembicaraan kami pun berakhir. Kebetulan sudah jam pulang, aku dan anak anak pun keluar dari kelas dengan tertib. Tidak lupa kami mengucap salam pada Bu Iyet.
     Â
   Waktu pun sudah belalu selama 2 minggu, ternyata aku dapat menghadapi setiap mata pelajaran matematika dengan lancar. Entah apa yang salah, aku selalu mudah memahami materi yang Bu Iyet jelaskan. Dari situ, aku mulai menyukai matematika walaupun hanya sedikit. Setidaknya kini aku tidak terlalu bingung dan tidak paham.  Menurutku, Bu Iyet ini guru yang pintar dalam menjelaskan. Sampai sampai aku, yang dulunya selalu tidak paham akan berhitung pun dapat memahaminya secara perlahan.
   "Sebentar lagi kalian akan menghadapi UN, dimana UN ini akan menjadi penentu kalian dalam masuk ke sekolah menengah pertama. Ibu harap, kalian bisa menggunakan waktu dengan baik dan kurangi waktu bermain kalian. Belajar dengan giat demi selangkah menuju masa depan"
   Itulah nasehat Bu Iyet yang selalu aku ingat sampai saat ini. Aku mulai was-was dan merasa takut menghadapi UN. Bagaimana jika aku gagal dan tidak bisa masuk Sekolah Menengah Pertama yang aku inginkan. Ibuku akan sedih dan terpaksa aku akan masuk ke sekolah swasta. Apalagi, swasta terbilang cukup mahal bayarannya bagi keluargaku. Ibuku sangat berharap bahwa aku nanti bisa masuk ke SMP Negeri favorit yang ada di daerah kecamatan kami.
     Â
   Semenjak saat itu, aku mulai meninggalkan yang namanya bermain. Biasanya aku bermain tanpa henti sampai matahari tenggelam bersama anak tetanggaku yang umurnya jauh lebih muda dariku. Selain itu, aku mulai meninggalkan kebiasaan burukku  yang selalu membuat Ibuku naik darah. Memang itu sangat sulit bagiku. Karena aku harus meninggalkan hal yang membuatku bahagia dan senang. Aku juga ikut les kecil kecilan dirumah. Levelnya memang tidak sehebat GO, namun les ini terbilang murah dengan bayaran 5000 setiap pertemuan. Gurunya juga masih muda dan sangat baik, dia bisa dengan sabarnya terus membimbingku dan mengajariku hingga aku benar benar paham dengan materi yang dia ajarkan.
   Namun, disaat itu juga banyak lika-liku yang harus aku lalui ketika teman-temanku mulai menjauhiku tanpa sebab dan alasan. Bahkan mereka membicarakanku diam diam. Itu mulai membuatku tidak nyaman dengan situasi ini. Rasanya aku ingin bertanya kepada mereka mengapa mereka tiba tiba begitu? Namun ternyata hatiku menarikku untuk tidak menanyakan hal itu kepada mereka. Hingga aku tidak memiliki teman, dan akhirnya hanya melihat teman teman cowokku yang bermain sembari bercanda. Untungnya mereka tidak keberatan jika aku ikut bergaul atau melihat mereka bermain. Bahkan pernah ketika aku datang kesekolah dan menurunkan kursiku, kursi tersebut sudah penuh banyak coretan dengan kata kata yang membuatku ingin menangis detik itu juga.
     Â
   Tak berhenti sampai disitu, aku juga pernah dibuat menangis oleh salah satu temanku. Dia memarahiku tanpa sebab yang jelas. "Kamu tidak usah merasa pintar. Aku tahu kamu itu dulunya seperti apa. Teman teman sekalas saja sudah tahu sifat busuk kamu seperti apa" katanya, lalu pergi bersama teman temannya begitu saja.
Â
   Jika boleh jujur aku sakit hati dengan perkataannya, bahkan lebih dari itu sampai detik ini aku masih mengingatnya walau sudah memaafkannya. Seperti istilah kaca yang pecah dapat diperbaiki namun tidak akan bisa meninggalkan jejak pecahannya. Walau aku sudah memaafkan kesalahannya, aku tidak akan bisa melupakan apa yang pernah dia perbuat.
   Beberapa bulan mendekati UN pun aku mulai sibuk mempersiapkan segalanya. Bahkan, segala tingkah buruk teman temanku terhadapku mulai aku singkirkan dan tidak aku hiraukan. Karena, aku pernah sempat bercerita mengenai hal tersebut kepada Ibuku saat itu. "Bu, kenapa semua teman- teman teteh menjauh? memangnya kesalahan apa yang sudah teteh lakukan kepada mereka?"
   Ibuku mendengarkan segala keluh kesahku dan ketika sesudah selesai, dia mulai berkata dan menasehatiku kala itu. "Gapapa, biarkan saja mereka seperti itu. Yang penting kita harus tetap bersikap baik pada mereka. mengerti?". "Iya, bu. teteh akan mencoba untuk tetap baik dan mencoba tidak peduli dengan apa yang mereka katakan" Jawab ku dengan mantap. Saat itu aku sudah sangat yakin dan niat dalam hal tersebut.
     Â
   Hari UN pun telah tiba. Aku sudah menyiapkan dan mempelajari segalanya dengan matang. Aku benar benar berharap bahwa nilai UN ku akan keluar dengan hasil yang memuaskan. Lalu setelah bel berbunyi menandakan ujian akan segara dimulai, aku masuk kedalam ruang kelasku dan duduk di kursi sesuai absenku. Ujian berlangsung selama tiga hari berturut turut. Rasanya lama dan sengat melelahkan bagiku. Namun, dibalik itu semua ada rasa penasaran yang tertanam di hatiku untuk mengetahui hasil UN milikku.
   Hari ke satu, dua dan tiga akhirnya telah berhasil ku lalui dengan lancar. Aku hanya cukup berdoa dan bertawakkal kepada yang di atas. Aku benar benar ingin masuk kedalam sekolah negeri di Cipatat. Bu Iyet pun selaku wali kelas ikut mendukungku dan memberikan motivasi, membuatku semakin optimis dan semangat. Butuh beberapa minggu untuk aku mengetahui bagaimana hasil UN yang telah aku lalui.
   Di hari dimana sekolah sudah bebas bagi anak anak kelas 6, aku melewati ruang guru yang kebetulan Bu Iyet sedang duduk didepan kantor sembari menatapku. Aku yang menyadari hal tersebut bersikap sopan dan tidak lupa memberikan salam. Sampai pada saat aku ingin menaiki tangga menuju lantai dua sekolah, Bu Iyet menghentikannya dan berkata "Nay, kedua" sembari menunjukkan angka dua melalui jari tangannya. Aku yang melihat hanya tersenyum sopan dan kembali menaiki anak tangga hingga menuju ke lantai dua. Aku berjalan dengan perasaan bingung dengan maksud dari perkataan Bu Yeyet tadi.
   Ketika hari yang ditunggu tunggu tiba, pembagian hasil UN tengah berlangsung kala itu. Anak anak dipanggil satu persatu untuk mengambil hasil ujian. Tak lama giliranku yang dipanggil untuk mengambil amplop  yang isinya berupa hasil UN. Jantungku berdetak tidak karuan, tanganku dingin bagaikan es, serta keringat dingin tidak ada hentinya membasahi tubuhku. Saking takutnya aku sempat berfikir pesimis. Lalu kubuka amplop tersebut secara perlahan. Hingga setelah terbuka sempurna, aku mengambil kertas yang ada di dalamnya dan langsung membaca. Di surat tersebut tertera bahwa aku lulus sekolah dasar dan tanpa kuduga, nilai NEM ku 25,00 dengan nilai paling tinggi adalah matematika. Seketika aku langsung diam terpaku tak percaya, namun akhirnya aku mengucap Hamdallah serta rasa syukur kepada Allah SWT.
   Setelah pembagian hasil UN pun aku pulang kerumah dan memberitahu Ibuku mengenai hal tersebut. Betapa senangnya Ibuku saat melihat nilai ujianku. Air matanya terus berlarian keluar dari pipinya. Ia tidak menyangka jika aku akan bisa melewati masa masa sulit tersebut dengan hasil yang memuaskan.
   Beberapa minggu setelahnya, pembagian raport kelas 6 pun dilaksanakan. Ibuku mengambil raport ku kala itu. Ketika setelah pembagian raport, Bu Iyet memberitahukan mengenai ucapannya saat itu. Ternyata, maksud beliau mengatakan kedua itu ialah peringkat NEM satu angkatan. Aku pun yang mendengar hal tersebut dibuat mematung kembali. Sungguh, aku tidak percaya bahwa aku akan mendapati peringkat dua dengan hasil NEM tertinggi.
   "Tingkatkan ya, Innaya. Jangan sampai menurun. Semoga ada rezeki masuk SMP Negeri yang diinginkan. Selalu diberikan kemudahan dalam mencapai cita-cita" ucapnya sambil tersenyum hangat. Aku hanya mengangguk seraya menjawab "Aamiin bu, terima kasih atas jasa, serta dukungan ibu buat Innaya".
   Minggu berikutnya, aku mulai sibuk mengurus pendaftaran sekolah SMP bersama yang lainnya. Ada yang memilih masuk pesantren, masuk swasta, dan masuk negeri sepertiku. Kebetulan, aku mendaftar dibantu oleh Bu Lilis yang merupakan wali kelas 6A. Beliau ini yang mengurus pendaftaran anak anak yang ingin masuk sekolah negeri. Dengan bantuannya, aku dan Ibu tidak terlalu repot dalam mendaftar. Kesibukanku dalam mendaftar berlangsung selama seminggu hingga akhirnya data kami semua sudah masuk ke SMP nya dan tinggal menunggu keputusan pihak SMP mengenai diterima atau tidaknya siswa siswi.
   Ketakutan kembali melanda diriku. Aku takut jika nilai NEM ku kurang dari skor minimal di SMP. Hingga setelah sekian lama menunggu hasil dari pihak SMP, Bu Lilis memberitahuku dan anak anak lain yang juga sama mendaftar ke SMP negeri untuk datang kesekolah karena pengumuman penerimaan siswa siswi SMP negeri akan dibagikan. Akupun pergi kesekolah pada jam satu siang karena katanya surat penerimaannya akan diberikan sekitar jam dua siang. Kami semua menunggu hasil dari keputusan SMP. Terlihat teman-temanku yang lain juga cemas mengenai hal ini. Hal tersebut bisa aku lihat dari raut wajah mereka.
   Waktu yang ditunggu tunggu pun telah datang. Surat penerimaan SMP sudah ada ditangan Bu Lilis yang saat itu masuk kedalam ruangan kelas yang aku tempati bersama yang lain. Beliau membagikan satu persatu surat tersebut kepada kami. Aku beserta yang lain mulai membuka surat tersebut dan membaca hasilnya. Dan, Alhamdulillah aku diterima di SMP Negeri yang aku inginkan sejak dulu. Teman-temanku juga ada yang diterima, namun ada juga yang tidak. Jujur saja aku ikut merasakan kesedihan bagi teman temanku yang tidak diterima. Namun, sebisa mungkin aku mencoba menghiburnya.
   "Tidak apa apa, mungkin belum rezekinya. Tetep semangat ya, dimanapun kita bersekolah jangan pernah sampai menurunkan semangat belajar kita" ucapku sembari tersenyum kepada teman temanku. Teman temanku mengangguk dan ikut tersenyum walau terlihat jelas dari matanya yang sudah berkaca kaca menahan tangis.
   Dan pada akhirnya, aku bersekolah di SMP Negeri yang aku inginkan. Ibu dan bapak juga ikut bahagia atas hal ini. Setidaknya, aku bisa membahagiakan mereka walau tidak begitu besar. Dari kejadian tersebut, aku mencoba menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya dengan lebih semangat belajar dan menggunakan waktu secara teratur antara bermain, belajar dan istirahat. Dan Alhamdulillah dengan keinginan dan niat yang besar serta usaha, aku dapat menggapai mimpi yang aku inginkan. Disekolah baruku, aku juga banyak memiliki teman baru yang baik dan unik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H