"Ya sudah, kalau begitu kirimkan alamat rumahmu, nanti aku minta antar taxi saja."
"Jangan, aku tidak mau merepotkanmu," balas Gilang.
"Tidak apa-apa Gilang. Sebagai teman, apa salahnya aku datang menjengukmu," ujarku lagi. Tapi Gilang tetap bersekukuh tidak mau dijenguk. Akhirnya aku pulang ke kotaku tanpa hasil. Semula aku berharap bisa bersua di dunia nyata dengan Gilang.
Sejak saat itu, Gilang tidak pernah muncul lagi. Jangankan inbox, ataupun komen, like juga ngga ada. Hari-hari berlalu, aku menganggap Gilang sudah sirna. Ia sudah tidak mau lagi berteman denganku.
Akupun melanjutkan pertemanan dengan yang lain, termasuk Ardi, dengan status single parent sama seperti aku, anaknya tiga dan sudah dewasa semua. Karena letak tempat tinggal kami berdekatan, kami sering bertemu.
Aku dan Ardi satu profesi, hingga banyak hal yang dapat kami bincangkan bersama. Hingga pada suatu ketika...
"Rin, maukah kamu menjadi istriku?" tanya Ardi sambil memegang tanganku.
Aku diam tak berkutik. Kutatap wajah Ardi dalam-dalam. Dia memang pria yang baik, penuh tanggung jawab. Itu yang kurasakan selama bergaul tiga bulan dengannya. Akhirnya akupun menikah dengan Ardi. Dihari pernikahan kami tiba-tiba Gilang menelponku.
"Hai Rin, apa kabarmu? Kaget ya? Kamu pasti kangen berat dengan aku kan?" Gilang muncul dengan kekonyolannya yang kurindukan selama ini.
"Maaf Rin, aku baru pulang dari Singapura. Tiga bulan aku dirawat di sana. Aku tidak sempat memberi kabar kepadamu. Maafkan aku ya," kata Gilang lembut.
Aku tersentak seketika. Airmata merembes tak terbendung. Kututup telponnya, berhari-hari aku merenungkan peristiwa yang terjadi padaku. Gilang memang pernah cerita dia sering sakit kepala. Ternyata dia menderita kanker otak. Tapi aku harus melupakan Gilang, karena statusku sekarang adalah istri Ardi. Ku blokir nomor HP Gilang agar dia tidak bisa menelponku lagi. Begitu juga di facebook, nama Gilang ku  blokir. Aku tidak ingin membuat suamiku marah.