Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Taman Baca Saja Belum Cukup Mengatasi Masalah Literasi

25 September 2018   23:54 Diperbarui: 26 September 2018   00:07 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu sebelum mengelola Pena dan Buku, aku berpikir permasalahan literasi bisa diselesaikan dengan fasilitas taman baca. Sekarang ketika ditanya kembali jawabanku berubah tidak lagi sama. Sebelumnya aku akan memperkenalkan dahulu dengan Pena dan Buku, aku menyebutnya dengan istilah ruang baca dan juga ruang belajar yang terletak di Pasar Klandasan Balikpapan. Bila kamu sedang singgah di Balikpapan, silakan mampir ke Pena dan Buku selain menikmati buku buku kamu juga bisa menikmati senja sore di Dermaga Klandasan. Iya betul sekali Pena dan buku hanya dalah hitungan langkah sudah berbatas laut. 

Sebagai pengelola Pena dan Buku, aku sering kali menerima donasi buku buku dari teman dan juga instansi.

Donasi terbanyak yang pernah kuterima berasal dari Iluni UI, ratusan buku buku anak yang penuh dengan gambar dan baru semuanya.

Anak anak senang sekali membacanya, mereka sampai berebutan meminjam buku.

Aku bersyukur sekali sekarang seluruh rak terisi penuh dengan buku. Padahal dulu awal membuka Pena hanya bermodal 70 buku, gabungan buku ku dengan Mba Yusna. Sekarang buku buku tersebut melesat di angka 1000. Alhamdulillah. 

Menatap buku buku yang memenuhi setiap sudut Pena, kemudian aku bertanya apakah tujuanku sudah tercapai? memenuhi rak buku Pena dengan buku buku, sampai ada buku buku yang tersusun di atas rak karena sudah tidak muat lagi. Apakah permasalahan literasi telah teratasi seiring membanjirnya donasi buku?

Aku selalu menyadari bahwa apa yang dipajang di rak buku ini adalah  benda benda mati. Pembacalah yang bisa menghidupkan nyawa dari setiap  buku.

Buku hanyalah kumpulan kalimat yang ingin dihidupkan oleh  penulisnya. Untuk membuatnya hidup, maka harus diterjemahkan dalam  bentuk pikiran, sikap dan tindakan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di Amerika Serika, tingkat literasi Indonesia menduduki peringkat kedua terbawah dari 61 negara , hanya satu tingkat dari Botswana.

Penelitian ini bukan mengukur kemampuan membaca di masyarakat, melainkan literasi dan   dan sumber sumber pendukung di suatu negara.

Tingkat literasi yang diteliti berdasarkan pada lima indicator yakni perpustakaan, surat kabar, input dan output pendidikan dan kemampuan mengoperasionalkan komputer. Literasi bukan lagi hanya kemampuan baca dan menulis, namun juga menyeluruh ke semua aspek.

Pendekatan multidimensi ini berbicara bahwa literasi mencerminkan sosial ekonomi dan kekuataan suatu negara di kancah global.

Penelitian ini menjelaskan bahwa masyarakat yang belum mempraktekkan budaya literasi sering kali jorok, kurang gizi, berpikir dangkal, berperilaku kasar dan melakukan pelanggaran  hak asasi manusia.  tautan masalah literasi

Di era sekarang literasi tidak bisa lagi diterjemahkan hanya kemampuan membaca dan menulis, lebih daripada itu literasi adalah kemampuan individu mengolah dan memahami informasi.

Literasi adalah keterampilan hidup yang harus dimiliki oleh masing masing individu, dalam hal kemampuan mengolah, menganalisa dan memahami informasi dari bahan bacaan.

Menurut UNESCO literasi adalah hal dasar manusia dan pondasi pembelajaran seumur hidup.

Melalui literasi manusia dapat meningkatkan pendapatan ekonomi, derajat kesehatan berinteraksi dengan dunia.

Budaya literasi sendiri adalah melakukan kebiasaan berpikir atau berpikir kritis. Untuk era saat ini, cara berpikir kritis adalah dengan bersikap skeptis terhadap informasi, apapun itu informasinya dan siapapun pembawa pesannya. Menalar kembali dengan cara mencari tahu, bisa menelusuri internet atau bertanya dengan pakar atau membaca buku. 

Dalam hal mengelola ruang baca, ketersediaan buku memang penting, namun menghidupkan ruang baca adalah kunci utama.

Persoalan liteasi ini tidak selesai hanya sampai membuka ruang baca lalu mengisinya dengan buku. Namun bagaimana menterjemahkan buku dalam kehidupan nyata itu tujuan akhirnya.

Suatu ketika ada seorang anak yang memberitahu bahwa ibunya kemarin membuat  bubur ayam dimana resepnya diambil dari buku resep di ruang  baca kami.

Lalu ada penjual gawai yang mendapat ide setelah membaca buku  tentang bisnis yang ada di ruang baca kami.

Atau bagaimana ratusan ide dan semangat bangkit setelah Selasar (forum diskusi rutin yang kami adakan di Pena dan Buku).

Suasana Selasar di Pena dan buku
Suasana Selasar di Pena dan buku
Aku mengutip kata kata dari para bapak ibu guru di Sokola Institut, bahwa literasi itu harus bermakna bagi kehidupan.

Tentang bagaimana anak anak Rimba tidak lagi dibohongi tengkulak saat jual beli hasil hutan karena sudah bisa baca tulis dan berhitung.

Dan begitu juga seharusnya kehadiran ruang baca, mampu  meningkatkan derajat kehidupan manusia bukan hanya sekedar gudang buku buku bekas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun