Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teman Gadis Kecil

27 Februari 2023   14:54 Diperbarui: 27 Februari 2023   14:57 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali aku bertemu dengannya ketika ia duduk menangis sesenggukan di depan pagar rumah. Ia masih berseragam putih merah waktu itu. Seragam putihnya basah bekas tangis dan ingus. Mulutnya berkata kata namun tidak keluar suara tersaingi isakan air matanya. Dia berulang kali berkata "Ampun Bunda". Hampir 1 jam dia duduk menangis di depan pagar. Aku ingin menghampirinya, namun aku takut tangisnya semakin kencang. Aku duduk bersimpuh agak jauh. Tanpa kusadari aku pun ikut menangis. 

"Ibu macam apa dia, tidak mendengar suara tangis anaknya" begitu kataku dalam hati. "Suatu saat aku akan membalaskan sedihmu nak" janjiku dalam hati yang tak mungkin terdengar olehnya.  Setelah satu jam, bundanya baru membuka kunci pagar untuknya. Gadis itu melangkah lesu masuk ke dalam rumah.  Wajahnya sembab.

Tiga hari setelahnya, pada suatu sore aku menemukan ia menangis di pos ronda di depan komplek. Aku sedang bermain bersama Bleki di tanah belakang pos ronda.  Suara tangisan gadis kecil itu menghentikan aktivitas kami. Aku masih ingat betul suara nya, tidak salah lagi ini gadis kecil yang kemarin menangis di depan rumahnya. 

"Sebentar Bleki, aku harus menghibur teman kecilku dulu" ujarku menghentikan aktivitas bermain kami.

"Ada apa Dogi ? " sahut Bleki penasaran

Aku tak menjawab pertanyaan Bleki. Aku segera berlari menghampiri gadis kecil yang masih menangis sesenggukan. Aku berdiri di hadapannya, kulihat baju seragam putih merah dan sepatunya penuh lumpur. Wajahnya menunduk, kedua tangannya menutup wajahnya yang penuh linangan air mata. Sepertinya dia habis bermain di sawah dekat sekolahnya.  Dan sepertinya dia takut pulang ke rumah, takut dimarahi oleh bundanya. 

Aku menyalak beberapa kali di hadapannya. Dia mendongakkan kepalanya

"Aku telat pulang karena bermain di sawah, seragamku kotor. Ibu marah dan menyuruhku pergi sambil melempar tas sekolahku" ceritanya kepadaku

Mendengar ceritanya, aku sedih sekali. Sekejam itukah ibu manusia sampai mengusir anaknya sendiri. Kuhampiri dia lalu kepalaku kubenturkan ke tangannya. Dia membalas dengan belaian halus di atas kepalaku. Aku merasakan ketulusan dan kelembutan hati melalui tangan mungilnya.

Sepanjang sore, aku dan Bleki menemaninya dengan duduk bersimpuh di sampingnya. Tangan kirinya bergantian membelai kepalaku dan Bleki. Sementara tangan kanannya sibuk mengelap air mata di pipinya

"Kalian baik sekali mau menemaniku" katanya kepada aku dan Bleki

"Tenang saja gadis kecil, aku akan menjadi penjagamu" kata Bleki yang juga iba mendengar ceritanya

Kemudian dia bercerita meski ibunya galak namun dia sayang sekali dengan ibunya. Kasihan Ibu, semua pekerjaan rumah dilakukan ibu sendiri. Ayah kerja di luar pulau, pulang 2 bulan sekali. Sementara adiknya masih bayi.  Memang aku yang salah tidak membantu ibu, malah suka pulang telat dari sekolah. Aku suka sekali bermain main di sawah, mengamati pak tani, melihat burung burung, bermain lumpur. 

"Tapi tetap saja, perlakuan ibumu ke kamu itu kejam, gadis kecil" sahut Bleki, yang tentu saja tidak dimenegerti oleh gadis kecil

"Kamu diusir dari rumah, kamu sering dipukul ibumu, bahkan pernah kamu diseret untuk mengambil ceceran nasi yang jatuh di lantai. Ibu macam apa itu" tambahku lagi.

Gadis kecil itu sudah tidak menangis lagi. Dia tersenyum menatap kami. "Kalian mau menjadi temanku?" tanyanya. "tapi aku tidak bisa memelihara kalian dan kalian tidak bisa tidur di rumahku. Bunda pasti marah"

Kami menjawab dengan gonggongan riang "tentu saja tidak apa gadis kecil, kami sudah punya Tuan kok" jawab kami dengan menggoyangkan ekor

Kami pun akhirnya berteman setelah itu, meskipun gadis kecil itu masih menangis terisak isak karena bentakan ibunya.Namun sekarang dia tidak sendirian, kami selalu bersamanya bila dia dihukum di luar pagar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun