Pertama kali aku bertemu dengannya ketika ia duduk menangis sesenggukan di depan pagar rumah. Ia masih berseragam putih merah waktu itu. Seragam putihnya basah bekas tangis dan ingus. Mulutnya berkata kata namun tidak keluar suara tersaingi isakan air matanya. Dia berulang kali berkata "Ampun Bunda". Hampir 1 jam dia duduk menangis di depan pagar. Aku ingin menghampirinya, namun aku takut tangisnya semakin kencang. Aku duduk bersimpuh agak jauh. Tanpa kusadari aku pun ikut menangis.Â
"Ibu macam apa dia, tidak mendengar suara tangis anaknya" begitu kataku dalam hati. "Suatu saat aku akan membalaskan sedihmu nak" janjiku dalam hati yang tak mungkin terdengar olehnya. Â Setelah satu jam, bundanya baru membuka kunci pagar untuknya. Gadis itu melangkah lesu masuk ke dalam rumah. Â Wajahnya sembab.
Tiga hari setelahnya, pada suatu sore aku menemukan ia menangis di pos ronda di depan komplek. Aku sedang bermain bersama Bleki di tanah belakang pos ronda. Â Suara tangisan gadis kecil itu menghentikan aktivitas kami. Aku masih ingat betul suara nya, tidak salah lagi ini gadis kecil yang kemarin menangis di depan rumahnya.Â
"Sebentar Bleki, aku harus menghibur teman kecilku dulu" ujarku menghentikan aktivitas bermain kami.
"Ada apa Dogi ? " sahut Bleki penasaran
Aku tak menjawab pertanyaan Bleki. Aku segera berlari menghampiri gadis kecil yang masih menangis sesenggukan. Aku berdiri di hadapannya, kulihat baju seragam putih merah dan sepatunya penuh lumpur. Wajahnya menunduk, kedua tangannya menutup wajahnya yang penuh linangan air mata. Sepertinya dia habis bermain di sawah dekat sekolahnya. Â Dan sepertinya dia takut pulang ke rumah, takut dimarahi oleh bundanya.Â
Aku menyalak beberapa kali di hadapannya. Dia mendongakkan kepalanya
"Aku telat pulang karena bermain di sawah, seragamku kotor. Ibu marah dan menyuruhku pergi sambil melempar tas sekolahku" ceritanya kepadaku
Mendengar ceritanya, aku sedih sekali. Sekejam itukah ibu manusia sampai mengusir anaknya sendiri. Kuhampiri dia lalu kepalaku kubenturkan ke tangannya. Dia membalas dengan belaian halus di atas kepalaku. Aku merasakan ketulusan dan kelembutan hati melalui tangan mungilnya.
Sepanjang sore, aku dan Bleki menemaninya dengan duduk bersimpuh di sampingnya. Tangan kirinya bergantian membelai kepalaku dan Bleki. Sementara tangan kanannya sibuk mengelap air mata di pipinya
"Kalian baik sekali mau menemaniku" katanya kepada aku dan Bleki
"Tenang saja gadis kecil, aku akan menjadi penjagamu" kata Bleki yang juga iba mendengar ceritanya
Kemudian dia bercerita meski ibunya galak namun dia sayang sekali dengan ibunya. Kasihan Ibu, semua pekerjaan rumah dilakukan ibu sendiri. Ayah kerja di luar pulau, pulang 2 bulan sekali. Sementara adiknya masih bayi. Â Memang aku yang salah tidak membantu ibu, malah suka pulang telat dari sekolah. Aku suka sekali bermain main di sawah, mengamati pak tani, melihat burung burung, bermain lumpur.Â
"Tapi tetap saja, perlakuan ibumu ke kamu itu kejam, gadis kecil" sahut Bleki, yang tentu saja tidak dimenegerti oleh gadis kecil
"Kamu diusir dari rumah, kamu sering dipukul ibumu, bahkan pernah kamu diseret untuk mengambil ceceran nasi yang jatuh di lantai. Ibu macam apa itu" tambahku lagi.
Gadis kecil itu sudah tidak menangis lagi. Dia tersenyum menatap kami. "Kalian mau menjadi temanku?" tanyanya. "tapi aku tidak bisa memelihara kalian dan kalian tidak bisa tidur di rumahku. Bunda pasti marah"
Kami menjawab dengan gonggongan riang "tentu saja tidak apa gadis kecil, kami sudah punya Tuan kok" jawab kami dengan menggoyangkan ekor
Kami pun akhirnya berteman setelah itu, meskipun gadis kecil itu masih menangis terisak isak karena bentakan ibunya.Namun sekarang dia tidak sendirian, kami selalu bersamanya bila dia dihukum di luar pagar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H