Literasi dasar dan penerapannya
Miris mendengar cerita Kak Butet ketika ada seorang seorang murid bertanya "kami sudah bisa baca tulis hitung, tetapi kenapa hutan tetap habis". Dalam benak mereka ketika mereka sudah mahir baca tulis hitung, para pembalok liar pergi dari hutan mereka. Tetapi pada kenyataannya tidak.
Hal itulah yang mendorong kelima pendiri Sokola, Oceu Apristawijaya, Willy Marlupi, Butet Manurung, Dodi Rakhadian, Aditya Dipta Anindita untuk mendirikan Sokola. Â Sokola lahir 30 September 2003 saat kelima pendirinya masih bekerja pada komunitas Orang Rimba di Lembaga Konservasi WARSI, Jambi. Sokola saat ini sudah memiliki sekolah literasi di Jambi (2003), Makassar (2004), Flores (2006), Kajang (2007), Halmahera (2007), Asmat Papua (2013), Jember (2016). Juga mendirikan program pasca bencana di Aceh, Pariaman, Garut, Cianjur, Bantul dan Klaten, dan Yogyakarta.Â
Visi dari Sokola adalah : Masyarakat adat memiliki kemampuan menentukan nasibnya sendiri serta berdaulat atas wilayah dan sumber daya alamnya melalui proses proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat 2007 article 14 " Masyarakat adat memiliki hak untuk membentuk dan mengontrol sistem pendidikan mereka dan institusi institusi yang menyediakan pendidikan dalam bahasa mereka sendiri, dengan suatu cara yang cocok dengan budaya mereka tentang pengajaran dan pembelajaran". Apa yang dimaksud masyarakat adat ? mengacu pada web ini  "Indigenous peoples are inheritors and practitioners of unique cultures and ways of relating to people and the environment".
Dalam sesi Literasi Dasar, Kak Butet bercerita penolakan dari orang rimba ketika mereka pertama kali ditawari baca tulis. Mereka menolak karena menurut mereka pena adalah setan bermata runcing. Mereka yang saat itu tidak bisa membaca dan menulis ditipu dengan surat-surat perjanjian yang jelas jelas merugikan mereka. Tempat tinggal mereka semakin sempit dan kayu kayu di hutan berkurang. Beruntunglah kelima pendiri Sokola ini bermental tangguh dan pantang menyerah, dengan pendekatan pelan pelan masyarakat rimba menerima kegiatan baca tulis. Mereka bukannya tidak bisa baca tulis, mereka sebenarnya bisa namun definisi baca tulisnya berbeda. Â Mereka mampu membaca perubahan alam dan menuliskannya dalam gerak kehidupan mereka. Aku yakin orang kota tidak bisa baca tulis mereka. Di semua aktivitas kehidupan, mereka selalu terkait dengan alam, mereka pantang mengotori sungai, bertolak belakang bukan dengan sungai di kota kota besar yang dihuni oleh kaum bisa baca tulis sungainya kotor. Â
Demi tempat tinggal dan demi kehidupan komunitas mereka, mereka harus fight back. Dan senjatanya adalah literasi. Literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Literasi adalah kemampuan mengakses, memahami dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas membaca, melihat, menyimak, menulis dan atau berbicara. Kemampuan literasi adalah learning to think, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dahulu literasi hanya bermakna kemampuan membaca dan menulis, namun saat ini kemampuan tidak hanya sebatas baca tulis saja, namun juga kemampuan berkomunikasi dan berpikir mempersepsikan informasi baik melalui media dan visual. Menurut UNESCO literasi adalah hal dasar manusia dan pondasi pembelajaran seumur hidup. Literasi adalah instrument atau alat empowerment untuk memperbaiki kesehatan, pendapatan ekonomi dan berhubungan dengan dunia.
Hal hal yang harus disiapkan sebelum melakukan kegiatan literasi adalah; melakukan riset bahasa dengan cara menggali kekhususan fonetis (di asmat huruf B P D hampir sama bunyinya sehingga "bangku" menjadi "pangku"), kemudian penyesuaian bahasa lokal untuk materi ajar, membuat kamus sederhana lalu setiap kata dikelompokkan berdasarkan suku kata.
Di Sokola literasi dibagi menjadi dua yakni literasi dasar dan literasi terapan. Selama kegiatan berlangsung, guru menggunakan bahasa lokal begitu juga mengambil contoh contoh baca-tulis menggunakan bahasa lokal, Â karena tujuannnya kan baca tulis bukan belajar Bahasa Indonesia. Mahir baca tulis dengan bahasa ibu itulah akar cinta budaya, yang mampu menguatkan jati diri mereka. Aku sempat bingung, lalu bagaimana bila berhadapan dengan orang luar bila tidak tahu bahasa Indonesia ? pertanyaan bodohku ini langsung dijawab ketika aku bercakap cakap dengan pemuda rimba yang hadir di pelatihan, Merimbun dan Belempi yang mampu berkomunikasi dengan peserta.
Tahap literasi dasar dimulai dengan ;
a. pengenalan huruf, cara memperkenalkan huruf dengan menggunakan benda yang menyerupai huruf, misal huruf Y seperti katapel
b. membaca suku kata (silabel) yang dibagi menjadi 15 kategori. Berbagai metode yang disampaikan kak Butet mulai dari : guru sebut-murid tunjuk (guru menyebutkan huruf A murid menunjuk huruf A), guru tulis-murid sebut (guru menuliskan huruf, lalu murid menyebutkan huruf yang guru tulis), guru sebut-murid tulis (guru menyebutkan huruf, lalu murid menuliskan huruf yang disebutkan guru)
c. Materi hitung dimulai dengan mengetahui angka, jumlah angka (satuan, puluhan, ratusan, ribuan), belajar satuan berat
Kemudian Literasi Terapan yang  terdiri dari :
1. Pelajaran wacana (pemahaman wacana buku, perjanjian dan surat kabar). Tugas guru adalah mencari bacaan yang berhubungan dengan kehidupan mereka misal di papua maka cari bacaan yang berhubungan dengan kondisi mereka saat ini. Selesai membaca mereka diminta menceritakan isi bacaan dan mereka menyimpulkan isi bacaan tersebut.
2. Dikte kata dan kalimat,
3. Menulis (apa yang didengar dan diucap itulah yang ditulis, misal "uang" ditulis "uwang" seiring pembelajaran barulah diperbaiki),
4. Praktek mulai dari belanja ke pasar, menulis surat, ketepatan dan kecepatan membaca, menuliskan kata/kalimat, menyanyi, bermain, menggambar, bercerita dan berpendapat. Anak anak juga diajari untuk memahami peta, belajar mengenai kesehatan, hukum, etika dan lain lain.
Dalam proses pembelajaran, bahasa yang dipakai adalah bahasa yang dipahami komunitas, jadi amat wajar bila melafalkan huruf atau menuliskan kalimat salah karena yang dipelajari hal baru bagi mereka. Oleh karenanya untuk mempermudah dalam belajar literasi mengenalkan huruf latin dikaitkan dengan simbol simbol local.
Diskusi seru ketika kami membahas apakah metode Sokola digunakan di sekolah formal ? karena memang pendidikan haruslah kontekstual dan keberpihakan. Yup, pendidikan dengan kurikulum yang dibuat oleh pusat tidak sesuai dengan kondisi di daerah. Murid begitu sering dijadikan kelinci percobaan kurikulum karena melulu program dan kurikulum yang dibuat berbasis murid di pusat.Â
Bila metode Sokola digunakan di sekolah formal akan memakan waktu yang lama dan tentu menghabiskan uang banyak, begitu jawaban Tim Sokola meniru jawaban pejabat di Departemen terkait. Karena sebelum melakukan kegiatan harus assessment dulu, kemudian live in dan kegiatan lainnya. Hmm...daripada uangnya assesment mending buat memperkaya diri sendiri ya bapak/ibu pejabat ?? Ada penjelasan dari Kak Dilla yang kuingat ketika kutanya bagaimana pendidikan di Finlandia. "Finlandia secara geografis saja berbeda dengan kita, warga finlandia bermukim di dataran yang sama. Tidak terpisah pisah seperti Indonesia.Â
Secara historis pun, daerah Indonesia berbeda beda. Jadi tidak bisa juga "plek" kita ambil metode Finlandia ke Indonesia" jelasnya. Iyap aku setuju, tidak semua metode  yang dipakai di Suku Anak Dalam bisa digunakan di Kampung Mamugu Batas Batu. Semua tergantung konteks daerah masing masing. Bagi murid murid di Sokola, literasilah jawabannya. Namun bagi komunitas pendidikan di daerah sub urban, literasi dunia digital dan kesehatan reproduksi itulah solusinya. Dan aku tidak habis pikir ketika ada pelajaran reproduksi wanita dan pria, lalu dikasih tahu foto organ reproduksinya eh malah dituntut hukuman pornografi. Seks bebas meningkat di kalangan remaja, tapi pendidikan reproduksi dilarang.Â
Ada cerita dari peserta yang domisili di Porong, beliau mengajarkan pelajaran di sekolah dengan nonton NDX AKA dan film film remaja di Youtube. Metode kekinian sekali bukan, karena beliau paham anak jaman now semakin dilarang semakin dilanggar. Beliau meminta para muridnya berpendapat setelah mendengar lagu tersebut, setelah mendengar pendapat mereka barulah beliau meluruskan mana yang salah. Anak jaman now ya harus diajar oleh guru jaman now juga kan.Â
Kembali ke masyarakat adat, menurut tim Sokola akar masalah pendidikan bagi masyarakat adat atau di pedalaman bukanlah kurang GURU namun lebih disebabkan karena kurikulum yang ada tidak relevan, guru juga tidak memiliki perspektif yang luas, tidak paham dengan budaya lokal dan rasa keberpihakan kepada masyarakat adat/pedalaman, dan responsive terhadap perubahan yang menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat adat/masyarakat di pedalamanÂ
Dalam hal ini, perlu sekali memahami banyak metode sebelum terjun ke komunitas baik itu masyarakat adat ataupun komunitas di daerah sub urban. Perlu sikap humility(rendah hati)Â agar kita bisa beradaptasi dengan baik dengan masyarakat. Seperti kata Bang Dodi "harus live in biar paham dengan komunitasnya", saat live in kita tidak mengintervensi nilai nilai local. Jangan sok judgemental, kalau pengetahuan masih berdasar asumsi.Â
Ada cerita dari Kak Butet yang bercerita kalau buku buku yang dikasih olehnya dibakar muridnya, karena akan menambah beban bila dibawa berpindah rumah. Kehidupan mereka masih nomaden. Namun tidak semua buku dibakar, buku mengenai adat mereka bawa kemana-mana. Coba kalau sudah mendahulukan emosi, sudah murka banget itu buku kok dibakar. Dan terakhir tapi selalu menjadi yang pertama "Belajar dulu baru mengajar" datanglah sebagai murid. Bukankah sejatinya kita yang belajar dari kehidupan mereka ? TAMAT
Semoga berguna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H