Mohon tunggu...
mahbub junaidi
mahbub junaidi Mohon Tunggu... -

pengangguran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Braaaang... Giliran Orang Susah Diinjak, Tapi Kalau Cukong Monggo

6 Januari 2014   20:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah perjuangan, perlu sinergi dari semua pihak untuk mencapai hasil terbaik. Tapi pada kenyataannya, lantaran keterbatasan materi untuk membeli amunisi dapur sendiri, dengan mudah semangatnya patah begitu saja.

"Ya kita lihat saja setelah ada efeknya waktu pembangunan itu selesai," begitu kata seorang tokoh yang sebenarnya punya kekuatan dan kekuasaan untuk mendesak pengambil kebijakan.

Lagi, aku harus bercerita tentang pembangunan Apartemen Nine Residence Kemang di wilayah Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.

Sekedar catatan, pembangunan tersebut belum mengantongi izin sesuai peraturan yang berlaku di negara ini. Dan aku sebagai pelaku yang kerap teriak memprotes aktifitas itu, kini harus berjalan sendiri dan mulai patah semangat menghadapinya lantaran penguasa setempat dari pihak Walikota, RT, RW, Lurah, Camat hingga Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) diam saja.

Entah apa alasannya, tapi menurut fakta dilapangan, mereka-mereka semua sepertinya tak sanggup memegang mandat yang diserahkan rakyat kepada mereka.

"Akan kami upayakan persoalan ini tidak merugikan pihak manapun," begitu kata petinggi-petinggi setempat. Padahal, ketika rakyat biasa yang membangun atau sekedar merenovasi rumah tanpa izin langsung dibongkar tanpa ampun. Minimal, harus menyerahkan uang suap ketika aparat berseragam cokelat datang sambil tolak pinggang.

Memang, pembangunan tersebut berlangsung tepat di depan rumahku yang ketika siang suara bisingnya terdengar liar dan saat malam juga tak kalah buasnya mengusik istirahat malam. Tapi ini, bukan cuma persoalan pribadi yang harus dibela mati-matian. Di sana, ada persoalan krisis air bersih, limbah, kemacetan arus lalu lintas dan perubahan kultur yang bukan tidak mungkin akan berubah drastis ke arah negatif jika tak diperjuangkan bersama.

Bayangkan, ketika orang asyik tidur dan bermimpi, segala organ tubuhnya harus terkejut akibat gema suara besi yang dijatuhkan dari ketinggian ke tempat yang jauh lebih rendah.

"Braaaangngng," kira-kira begitu suara besi jatuh itu, disusul dengung mesin crane pengangkut bahan cor-an yang tak kalah berisiknya, serta gaduhnya palu beradu dengan kayu atau besi juga.

Tinggallah hati dongkol harus berusaha menikmati gangguan itu lantaran pembangunan dikawal preman berseragam. Sementara pemerintah di garda terdepan, diam saja.

Jelas, peraturan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang sudah diberlakukan pemerintah sejak jauh-jauh hari tidak hanya mengatur persoalan dampaknya terhadap lingkungan sekitar baik itu air atau limbah. Dalam aturan ini, juga ditekankan untuk memperhatikan arus lalu lintas dan kultur masyarakat sekitar. Apakah sudah terpenuhi ? Hanya pengembang dan Tuhan-lah yang tahu.

Kalau izin tersebut belum terpenuhi, apakah dibenarkan untuk melaksanakan aktivitas pembangunan secara terus menerus selama 24 jam sehari ? Hanya pengembang dan pemerintah-lah yang betul-betul mengerti secara benar soal ini.

Asal tahu saja, di dalam kegiatan pembangunan, diperlukan pelibatan masyarakat sekitar. Atau dalam bahasa mudahnya yang sering kita dengar adalah 'izin gangguan'. Bukan konon atau isapan jempol, warga sekitar belum pernah sekalipun menyatakan kesetujuannya dan juga menyatakan tidak terganggu dengan adanya aktivitas itu. Tapi apa yang terjadi ?

Saat ini, setelah satu tahun pembangunan Apartemen Nine Residence Kemang berjalan, proposal Amdal yang pengembang ajukan ke pemerintah sedang dalam masa sidang untuk mendapatkan persetujuan. Yang artinya jika disetujui penguasa, proyek itu tidak akan membawa dampak negatif dalam bentuk apapun.

Memang, kami selaku warga RT 001 RW 05, Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran dan RT 001 RW 03, Kelurahan Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pernah diundang dalam rangka konsultasi publik tentang Amdal pada 28 Mei 2013 lalu. Di pertemuan itu, warga diminta mengisi daftar hadir dan diberi sekotak kecil makanan ringan yang di dalamnya juga ada amplop berisi selembar seratus ribuan.

Idealnya, sesuai peraturan, pelibatan masyarakat itu dilakukan jauh hari sebelum aktivotas digelar. Tapi, ini baru dikerjakan setelah 5 bulan proyek berjalan. Dan, pasca pertemuan yang di dalamnya terjadi dialog terkait proyek tersebut, digelar pertemuan lanjutan untuk memastikan bahwa seluruh saran, masukan dan pendapat warga ditampung dan ditindaklanjuti.

Pihak pengembang yang diwakili konsultan Amdal pun menjanjikan pertemuan lanjutan digelar. Tapi pada kenyataannya, janji tinggal janji dan kami cuma bisa dongkol menikmati bisingnya aktivitas pembangunan dihantui persoalan krisis air bersih dan limbah di masa mendatang.

Langkah prosedural memprotes pembangunan yang serampangan itu pun, akhirnya ditempuh. Mulai menyurati pengembang secara personal hingga menyampaikan surat keberatan ke Gubernur DKI Jakarta Jokowi pun sudah dilakukan. Tapi hasilnya, tidak ada tanggapan sama sekali.

Asal tahu saja, surat keberatan yang warga sampaikan ke Jokowi pun ditembuskan ke Walikota Jakarta Selatan, Camat Pancoran dan Mampang Pratapatan, Lurah serta LMK Duren Tiga dan Tegal Parang, Ketua RT 002 dan RT 001, serta Ketua RW 005 dan RW 03. Sebab, aktivitas pembangunan yang berada di lingkungan Kelurahan Duren Tiga itu, bisingnya juga mengganggu warga di RT 001 RW 03, Tegal Parang.

Pada Jumat (27/12) pukul 14.00 WIB, beberapa warga Duren Tiga yang pernah menyampaikan surat keberatannya ke pihak pengembang, diundang Camat Pancoran untuk membahas persoalan ini. Dalam undangan pertemuan tertanggal 23 Desember 2013 ber-kop surat Kecamatan Pancoran tersebut, juga diundang pimpinan Grup Lippo selaku pemilik bangunan dan PT Pembangunan Perumahan (PT PP) sebagai pelaksana. Tapi siapa yang hadir ?

Grup Lippo, mengutus orang bernama Erwin dan Mansur yang dalam pernyataannya bilang bahwa mereka adalah perwakilan perusahaan raksasa di Indonesia ini. Padahal jelas, Erwin cuma pengawas keamanan dan Mansur hanya anak seorang almarhum jawara setempat. Sementara itu, PT PP mengutus Briptu Rahmat, aparat Polisi yang sehari-hari bertugas di Polres Jakarta Selatan.

Dari segi pengetahuan, wakil-wakil dari pengembang tadi tidak cukup mumpuni dan menguasai persoalan. Coba bayangkan, ketika warga menanyakan izin Amdal, mereka malah keukeuh bahwa izin sudah dikantongi sambil menyodorkan dokumen izin kerja 24 jam yang dikeluarkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Apa ini benar ?

Kini, warga yang sudah melayangkan sikap keberatan secara prosedural hanya bisa menunggu ketegasan Pemprov DKI yang katanya akan menghentikan proyek tanpa Amdal. Sebab bukan apa-apa, ketika kami menyampaikan keluhan ke penguasa setempat, tidak ada jawaban memuaskan dan pernyataan yang menggugah semangat untuk terus melawan yang didapat.

Bukan rahasia lagi pameo 'bangun duluan izin belakangan' itu marak dipraktekan pengusaha. Sementara tanah Jakarta yang setiap tahun permukaannya turun 5 cm akan amblas dalam waktu dekat lantaran pembangunan dilakukan secara serampangan.

Rakyat Jakarta, tinggal menikmati akibatnya sambil memandangi rumahnya yang tenggelam ketika banjir melanda lantaran semua diam entah karena takut atau disumpal segepok duit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun