Pokoknya, hiburan seperti itu sudah termasuk mewah. Kalau dihitung peringkat, dia ada di kelas tiga setelah orkes Melayu atau Gambus dan layar tancep. Sementara yang paling bontot, muter lagu-lagu Mashabi doang pakai tape.
Film horor Amerika, dapat giliran diputar setelah lewat tengah malam pada hajatan itu. Sejak awal, kipas angin tak henti-hentinya gelengkan kepala sambil terus meniup mesin pemutar video.
"Biar engga panas," kata teknisinya.
Baru dua film selesai diputar, suasana tegang sebab keangkeran sudah merasuk ke pikiran pemirsa. Teknisi minta izin istirahat lantaran mesin pemutar sudah kepanasan.
Jamroni kebagian tugas nuang teh panas dengan rasa kurang gula juga kurang tua ke belasan gelas. Maklum saja, segala panganan ringan berkadar gula tinggi. Ada wajik, geplak, kue pepe, kue bugis dan lain-lain.
Beberapa orang lainnya, cuma duduk-duduk sambil asik bergunjing soal tempat-tempat angker yang dia tahu.
Aura seram masih terasa pasca dua judul film horor tadi. Sambil menggulung rokok lintingan, Habib Morgan sudah sejak sebelumnya membuka kisah soal siapa sebenarnya yang dimakamkan di samping pabrik tempe.
"Orang Belanda, dari Kota. Dulu termasuk benteng Batavia," kata Morgan.
"Pokoknya waktu ane masih kecil itu keramat (kuburan orang Belanda) udah ade," lanjutnya.
"Jadi dulu, itu Belande ngebelot dari kompeni. Dia belain orang Cina pas pemberontakan di Batavia. Kabur lewat pintu belakang rumah, terus masuk Glodok, terus masuk utan sampe sini. Di sini die ketemu orang kampung. Sampe akhirnye kawin sama orang sini. Die masuk Islam.
Dulu, baru die yang bisa bikin sistem pengairan supaya sawah-sawah yang sekarang jadi Kantor Camat kebagian aer. Jasenye gede," Morgan berhenti sejenak, nyeruput teh panas kemudian hisap kaung yang sudah dilinting.